Lorem Ipsum

Selasa, 08 Februari 2011 | By: EurikA AlfianA

Inside The Gender Jihad

MODEL PENELITIAN GENDER
(Telaah Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam “Inside The Gender Jihad: Women`s Reform In Islam”)
Abstract
Amina Wadud Muhsin adalah seorang wanita dan sekaligus sebagai cendikiawan yang terus memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender. Ia telah belajar di beberapa perguruan tinggi yang ada di luar negeri, di antaranya di- American University, Cairo University, dan Al-Azhar University. Aksi Amina Wadud untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan, berawal dari fenomena yang menunjukkan bahwa terjadinya marjinalisasi dan ketidakadilan peran perempuan dalam kehidupan sosial. Adanya budaya patriarki yang berpengaruh terhadap penafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan perempuan sehingga penafsiran tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur subjektifitas dan kondisi mufassir itu sendiri. Maka Amina Wadud melakukan reinterpretasi terhadap masalah tersebut dengan menggunakan metode hermeneutik, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an secara kereati dan inovatif. Artinya, suatu teks tidak hanya direproduksi maknanya, tetapi juga perlu ada produksi makna baru yang seiring dengan kondisi budaya yang terjadi, sehingga teks itu selalu hidup dan selaras dengan perkembangan zaman (kontekstual).
Penelitian Amina Wadud ini memberikan kontribusi keilmuan yaitu memberikan pemahaman yang komprehenship tentang konsep keadilan sosial dan kesetaraan derajat manusia dan prinsip-prinsip dasar Islam.







I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebagai agama penyempurna dari ajaran (baca: agama) terdahulu maka Islam adalah sebagai agama terakhir, agama rahmatan lil alamin, tentunya Islam harus mampu menawarkan solusi-solusi atas setiap problaematika yang terjadi sejalan dengan satu tarikan nafas dunia. Kompleksitas persoalan dunia era kontemporer saat ini berbeda dengan permasalahan yang terjadi dimasa lalu, era modern dan selanjutnya era postmodern berdampak pada munculnya persoalan-persoalan baru yang tentunya menunggu pemecahan, jalan keluar dari berbagai aspek, dalam hal ini agama khususnya Islam yang ditempatkan sebagai pandangan hidup penganutnya sepatutnya juga harus mampu menjawab persoalan tersebut. Berkembangnya isu dunia seperti pluralisme agama, hukum internasional, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, isu gender ,HAM dan isu kontemporer lainya adalah bukti perkembangan dunia yang dinamis. Persoalan-persoalan tersebut muncul ke permukaan tanpa mampu diatasi dan dicarikan solusinya oleh umat islam secara baik apalagi dengan tuntas.
Dalam ajaran agama Islam konsep keadilan merupakan salah satu ajaran yang sangat bernilai, ajaran keadilan terhadap semua manusia seperti yang termaktub didalam kitab suci alquran QS. Al-Nahl 16 : 97 merupakan salah satu dari ajaran tentang keadilan, yang dalam hal ini tanpa memandang ras, agama dan suku. Konsep keadilan ini juga memandang sisi kesetaraan dalam kedudukan didunia bagi semua manusia, akan tetapi persoalan pada implementasi dan aplikasi dari nilai yang termaktub pada wahyu tersebut pada tataran praktis memiliki kesenjangan, salah satunya adalah pada persoalan gender, yang oleh para aktivis gender diera kontemporer ini merasa bahwa kedudukan perempuan telah termarjinalisasi karena adanya bias penafsiran ayat- ayat dalam wahyu (baca : Alqur`an).
Al-Qur`an yang dijadikan sebagai kitab suci umat Islam, di satu sisi diakui sebagai wahyu Tuhan yang tentu kebenarannya sangat mutlak. Namun, ketika teks-teks Al-Qur`an tersebut berhadapan dengan otonomi manusia (baca: mufassir) untuk menginterpretasinya, maka dalam konteks ini para mufassir dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur`an tidak bisa terepas dari situasi sosio-cultural dan cara pandang mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi subjektivitas dalam penafsiran mereka itu dan implikasi dari hal tersebut adalah relatifitas kebenaran.
Dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Qur`an yang bersifat relatif sementara di sisi lain islam harus shalihun likulli zaman wa makan, Ketika proses pemahaman teks sesungguhnya bersifat interpretative(banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad ditutup), maka seseorang maupun kelompok telah memasuki wilayah tindakan bersifat sewenang-wenang (despotic). Jika seorang pembaca (reder) mencoba menutup rapat-rapat teks itu dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan itu beresiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang (author) dan bahkan integritas teks itu sendiri. Maka Al-Qur`an harus selalu ditafsirkan seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang lain, karena Al-Qur`an sangat kaya dengan makna dan interpretable.
Lebih jauh lagi, pandangan bahwa “islam misiogenis, pembenci wanita” adalah merupakan isu yang yang sering kali menjadi berita utama dan lebih penting dijadikan lensa yang dengannya banyak kalangan muslim dan non muslm mengamati dan mulai menilai Islam. Persepsi barat akan perempuan dalam Islam dibentuk oleh perempuan berkerudung, masyarakat yang terpisah menurut jenis kelamin, kekerasan terhadap perempuan dan penolakan akan hak asasi perempuan merupakan hal yang sebenarnya harus dijawab karena tidak sesuai dengan nilai-nilai etis moral universal dari Al-Qur`an sendiri.Inilah tentang secuil dari ganasnya gelombang lautan problamatika era kontemporer yang melanda biduk kapal umat Islam yang tentunya menunggu jawaban, respon dan solusi sehingga kejayaan Islam pada masa lalu bukan sebagai romanitsisme sejarah belaka.
Sepanjang sejarah dan dalam bentangan beragam masyarakat, studi peneliti dan amatan pemerhati gender, masih ada satu yang tetap berlaku dan menjadi kegelisahan kita semua : hubungan laki perempuan masih bias gender. Dan bias gender itu tersimpul dalam frase pendek; stereotip kelakilakian-keperempuanan, peran domestik-publik,, dan posisi dominasi-tersubordinasi. Dalam ketiga dikotomi ini perempuan selalu dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan simbolik dan semuanya terangkum dalam apa yang kita kenal dengan konstruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias gender. Praktik-praktik, Misogyni alias kekerasan laki-laki terhadap perempuan terus saja berlangsung dalam budaya, bahkan pada Negara yang sangat demokratis dan maju sekalipun.
Isu mengenai gender saat ini telah menjadi bagian yang selalu dikumandangkan oleh para aktifis gender. Mereka menyadari bahwa terjadi marjinalisasi terhadap kaum perempuan itu sendiri sebagai akibat dari penafasiran para mufassir secara patriarki. Oleh sebab itu, para aktifis gender yang dalam hal ini oleh Amina Wadud melakukan upaya untuk menafsirkan ulang teks-teks Al-Qur`an dalam rangka mencari solusi untuk menuju kesetaraan dan keadilan gender .
Adanya marjinalisasi terhadap kaum perempuan dalam sejarah dunia Islam tentu termasuk hal yang sangat menyedihkan , sementara di sisi lain al-quran sangat menghargai wanita, sebagai bentuk Islam sangat menghargai kaum wanita adalah adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan .
Seiring dengan isu-isu gender yang dikumandangkan oleh para aktifis gender sebagaimana yang disebutkan di atas, maka seorang feminis muslim dari Amerika Serikat yang bernama Amina Wadud berupaya melakukan rekonstruksi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur`an agar mendapatkan penafsiran yang memiliki objektif dan memiliki keadilan.





B. Pokok Masalah
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan tentang pemahaman fenomena gender yang terkait dengan perlakuan dan peran perempuan di tengah masyarakat dalam segala aspek kehidupannya. Usaha Amina Wadud adalah terobosan memecah ketidakadilan penafsiran tentang perempuan. Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender yaitu laki-laki dengan perempuan di kalangan umat Islam. Ketimpangan inilah yang membelenggu potensi yang dimiliki perempuan.
Dari hal diatas maka penulis mengajukan pokok permasalahan dalam meneliti model penafsiran Amina wadud adalah
1. Bagaimanakah latar belakang pemikiran Amina Wadud?
2. Bagaimanakah metodologi penafsiran Amina Wadud terhadap AlQur`an?

C. Metode dan Sistematika Penulisan
Kemudian Sistematika penulisan dalam paper ini dimulai dari Bagian I berupa latar belakang dan pada bagian ke II pemaparan latar belakang munculnya pemikiran dari Amina Wadud. Kemudian metode penafsiran dan dilanjutkan dengan sebuah tawaran teori penafsiran Selanjutnya pada bagian ke-III berisi biografi Amina wadud selanjutnya kesimpulan, analisa dan respon penulis akan metodologi penelitian yang dilakukan Amina Wadud dalam menafsirkan Alqur`an akan penulis paparkan di bagian terakhir (IV).








II. Metodologi Tafsir Gender
A. Latar Belakang Pemikiran
Ketika melihat keterpurukan kaum wanita di segala bidang, maka hal itu melatarbelakangi pemikiran Amina Wadud. Ia mulai mencari penyebab dari keterpurukan yang dihadapi oleh kaum perempuan itu. Amina Wadud menemukan bahwa dengan budaya patriarki, hasil penafsiran dan pemikiran oleh para ulama` telah memarginalkan kaum perempuan , sehingga ia merasa perlunya berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang membahas tentang perempuan dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dengan tujuan untuk membuat reformasi sosial terhadap perempuan . Kegelisahan Amina Wadud inilah yang melatarbelakangi ditulisnya buku “inside the gender jihad: Women`s reform in Islam”.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka paling tidak ada dua hal yang menjadi kegelisahan akademik bagi Amina Wadud, yaitu pertama: terjadinya marginalisasi terhadap kaum perempuan dan kedua: terjadinya interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur’an yang ditafsirkan oleh pria (mufasir) berasarkan pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan.
Dari latar belakang pemikiran Amina Wadud di atas, yaitu terjadinya ketidak adilan gender sebagai pengaruh dari penafsiran Al-Qur`an yang dianggap bias patriarki, maka karyanya “inside the gender jihad: Women`s reform in Islam dan Qur`an and Women” sesungguhnya mencoba untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang syarat dengan bias patriarki.






B. Metode Penafsiran Amina Wadud
Pada dasarnya Amina Wadud sebelum melakukan penelitian juga menelaah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya; karya-karya Fazlur Rahman dan Khaled Abou El Fadl serta mengambil beberapa tokoh lainya untuk memperkuat metodologi dalam menganalisis persoalan gender ini.
A. Fazlur Rahman telah banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran Amina Wadud dalam penafsiran, terutama metode penafsiran yang holistik yang menekankan telaah aspek normatif dari ajaran Islam. Teori holistik menawarkan metode pemahaman al-Qur’an yang menyatu (coherent) disebut sebagai metode hermeneutik (hermeneutik theory). Wadud mengadopsi metode Rahman metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penafsir .
B. Khaled Abou El Fadl, menawarkan konsep outoritas penafsiran (fatwa), dia berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena merasa ini dari Tuhan, otoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam .
Pemikiran Amina Wadud dalam menafsirkan Al-Qur`an banyak dipengaruhi oleh pemikiran “neo-modernisme” Fazlur Rahman, terutama yang berkenaan dengan corak penafsiran Al-Qur`an yang digunakan Amina Wadud yaitu metode penafsiran holistik dengan menekankan telaah aspek normative dari ajaran Al-Qur`an .
Pentingnya memahami Al-Qur`an secara satu kesatuan disebabkan karena Al-Qur`an sendiri diwahyukan berdasarkan tuntutan kondisi dan situasi yang terjadi . Oleh sebab itu, Amina Wadud berharap, dengan menggunakan metode holistik ini akan diperoleh interpretasi Al-Qur`an yang mempunyai makna dan kandungan yang selalu relevan dengan konteks modern.
Dalam rangka menemukan prinsip umum Al-Qur`an untuk kontekstualisasi berdasarkan kondisi saat ini, maka Amina Wadud mengadopsi metode Fazlur Rahman yaitu double movement. Oleh sebab itu, langkah yang dilakukan adalah memulai dengan kasus konkrit dalam Al-Qur`an untuk menemukan prinsip yang umum yang kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Di samping itu, Amina Wadud juga menitikberatkan pemahaman pada susunan bahasa Al-Qur`an yang memiliki makna ganda . Metode ini bertujuan untuk mengetahui maksud teks disertai dengan keadaan dan latar belakang mufassir ketika menafsirkan Al-Qur`an yang berkaitan dengan perempuan.
Dalam kaitannya dengan penafsiran mufassir, Amina Wadud melakukan keritikan terhadap metode tafsir yang dilakukan oleh para mufassir. Amina Wadud mengemukakan bahwa tidak ada metode penafsiran yang benar-benar objektif, melainkan suatu penafsiran sering mencerminkan pilihan-pilihan yang tidak lepas dari unsur-unsur subjektif dari mufasir itu sendiri . Oleh sebab itu, agar suatu penafsiran menjadi objektif, maka menurut Amina Wadud, seorang penafsir harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar al-quran sebagai kerangka paradigmanya dan kemudian melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan zamannya .
Dengan demikian, bagi Amina Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama, perspektif yang lebih demokratis mengenai hak dan kewajiban individu baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur’an tentang keadilan sosial, pengahargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menadi prinsip utama sebuah “relasi fungsional” yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu sebagai khalifah fi al-ardi.
Lalu pembacaan yang kemudian Amina wadud gunakan ketika menafsirkan ayat sehingga diharapkan terciptanya sebuah penafsiran kontekstual ialah dengan menggunakan pendekatan Hermeneutik, Amina Wadud mengadopsi teori Fazlur Rahman yaitu double movement . Dalam kaitannya dengan metode hermeneutik, maka penafsir harus selalu menghubungkan suatu teks dengan tiga aspek, yaitu1). Dalam konteks apa teks itu muncul; 2). Apa yang dikatakan oleh teks tersebut dan 3). Bagaimana keseluruhan teks sebagai weltanchauung atau pandangan hidup . Selain menggunakan hermeneutik gerakan ganda, Wadud juga menggunakan metode tafsir al-Qur’an bil al-Qur’an untuk menganalisa semua ayat-ayat yang memberikan petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki.
Sebagai langkah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, maka ayat tersebut harus dianalisa dalam beberapa hal, yaitu 1). Berdasarkan konteksnya (in its context); 2) konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur`an (in the context of discussion on similar topic in the qur`an); 3) berdasarkan bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan (in the light of similar language and syintactial structures used elsewhere in the qur`an); 4) . berdasarkan sikap yang benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur`an (in the light of overriding qur`anic principles) dan 5). Berdasarkan Al-Qur`an sebagai pandangan hidup (world-view) . Dan yang terpenting bagi Amina Wadud adalah prinsip umum Al-Qur’an menjadi landasannya dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini, yaitu adanya relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial.









C. Tori Penafsiran Amina Wadud
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai ayat-ayat keadilan gender dalam Al-Qur`an serta beberapa kontroversi hak dan peran wanita yang kerap kali ditafsirkan sebagai bentuk superioritas pria atas perempuan. Penerapan model hermeneutik yang ditawarkan Amina Wadud berpijak pada asal-usul manusia (the origin of humankind) dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Surat Al-A`raf (7): 27 menerangkan penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul bapak pertama. Sebagaimana yang diungkapkan pada ayat tersebut:
   •      •                      
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”.
Amina Wadud menjelaskan bahwa kita menganggap ibu bapak kita yang pertama serupa dengan kita, akan tetapi pembahasan di sini lebih menekankan tentang proses penciptaan mereka, yaitu semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, maka manusia diciptakan dalam rahim ibunya .



Kemudian mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menariknya ke akar teologis permasalahan, yaitu pada asal usul penciptaan manusia sebagaimana yang dijelaskan pada surat al-nisa (4): 1 dan surat al-rum (30) : 21.
Surat al-nisa` (4): 21 berbunyi
 ••                 •       •    
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Kemudian surat al-rum:21 berbunyi
            ••   •     
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Yang perlu dikritisi dari ayat di atas menurut Amina Wadud adalah ketika para mufassir menfsirkan kata nafs wahidah, kata min dan zawj. Istilah nafs ini menunjukkan asal manusia secara umum yang secara tehnis tidak berarti maskulin atau feminin tetapi hal itu berarti ruh atau diri . Kedua ayat di atas oleh mufasir sering difahami sebagai penciptaan adam dan hawa, padahal kedua ayat di atas menunjukkan unsur-usur pokok kisah asal usul manusia versi Al-Qur`an. Karena tidak ada kejelasan dalam Al-Qur`an mengenai kata nafs itu sendiri, apakah adam atau hawa. Sebab, bila dilihat dari akar katanya kata nafs itu adalah muannats, lalu mengapa para mufassr tradisional ditafsirkan “adam” . Dengan demikian, maka kata nafs wahidah oleh mufasir tradisional ditafsirkan dengan tubuh adam.
Menurut Amina Wadud, kata nafs tersebut menunjukkan bahwa seluruh ummat manusia berasal dari asal usul yang sama. Dalam Al-Qur`an Allah tidak pernah memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti adam, dalam artian asal usul penciptaan manusia menurut versi Al-Qur`an tidak pernah dinyatakan dalam istilah jenis kelamin. Oleh sebab itu, Amina Wadud menegaskan bahwa istilah nafs sesungguhnya berkaitan dengan esensi manusia baik pria maupun wanita yang merupakan faktor penentu fundamental keberadaannya dan bukan jenis kelamin .
Demikian pula dengan kata zawj, kata tersebut bersifat netral, karena secara konseptual kebahasaan tidak menunjukkan bentuk muannats atau mudzakkar. Kata zawj yang jamaknya azwaj juga digunakan untuk menyebutkan tanaman dan hewan . Sebagai contoh kata zawj yang digunakan untuk menunjukkan tanaman yaitu pada surat al-Rahman (55): 52
    
“di dalam kedua syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan”.
Sementara kata zawj yang menunjukkan hewan terdapat pada surat Hud (11): 40
•                          
“hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sediki”.
Berdasarkan kedua ayat di atas maka kata zawj adakalanya digunakan untuk menyebut tanaman dan adakalanya digunakan untuk menyebut hewan. Lalu yang menjadi masalahnya adalah kenapa para mufasir tradisional menafsirkan kata zawj dengan “isteri”?. Menurut Amina Wadud para mufasir menafsirkan hal itu karena bersandar pada Bible .




















III. Biografi
Meskipun pemikirannya banyak dimuat di beberapa media, lebih-lebih semenjak terjadinya ‘jum`at bersejarah, dimana ia bertindak sebagai imam sekaligus khathib shalat jum’at di ruangan Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat, 18 Maret 2005 lalu, namun tidak banyak diketahui secara rinci mengenai riwayat hidup tokoh ini. Dari beberapa literatur dan situs, penulis menemukan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1952, di Amerika. Nama orang tuanya tidak diketahui, namun ia adalah seorang anak pendeta yang taat. Ia mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari yang ia namakan Thanksgiving day, tahun 1972.
Belum diketahui jenjang pendidikan yang ia lalui hingga mengantarkannya menjadi seorang professor studi Islam di Departemen Studi Islam dan Filsafat Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia. Namun dalam beberapa literature, ia merupakan seorang yang aktif di berbagai organisasi perempuan di Amerika, berbagai diskusi tentang perempuan, serta gigih menyuarakan keadilan Islam terhadap laki-laki dan perempuan di berbagai diskusi ilmiah pada beberapa daerah maupun Negara. Ia mendirikan organisasi Sister Islam di Malaysia.
Dalam bukunya, Inside The Gender Jihad, ia menulis bahwa ia telah menjadi the single parent lebih dari 30 tahun bagi empat orang anaknya. Hal ini, menurutnya, merupakan awal jihadnya dalam memperjuangkan hak-hak keadilan bagi para wanita Islam .






IV. Penutup
A. Kesimpulan
Amina Wadud mengharapkan penafsiran yang menuju perubahan yaitu dari penafsran yang konservatif kea rah penafsiran reformis sehingga terwujudnya tatanan sosial masyarakat Islam yang tidak didominasi patriarki, tidak membdakan antara laki-laki dan perempuan dan tidak praduga-praduga sosial yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Metodologi hermeneutik yang ditawarkan oleh Amina Wadud nampaknya relative baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan wacana tafsr yang sensitif gender. Spririt ini tidak hanya ditujukan kepada reformasi wanita muslim, tetapi juga mengajak kaum laki-laki untkuk menyadari bahwa Islam sendiri tidak pernah menyebutkan adanya superioritas antara laki-laki dan perempuan.
Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pemikiran Amina Wadud untuk membongkar pemikiran lama yang disebabkan oleh bias patriarki melalui rekonstruksi metodologi tafsirnya. Di samping itu, pandangan Amina Wadud tentang relasi fungsional adalah sebuah relasi gender yang dibentuk melalui pembagian peran secara simbang antara laki-laki dan perempuan. Tujuan dari relasi tersebut adalah untuk menjaga keseimbangan manusia dalam menjalankan misi khalifah di muka bumi.

B. Analisia
Pada permasalahan gender penulis melihat bahwa Amina Wadud dalam reinterpretasi nash alquran disebabkan kenyataan yang terjadi didunia islam yang terlihat memarjinalkan perempuan, yang pada dasarnya apabila merujuk kepada nilai-nilai etis alquran bahwa posisi perempuan tidaklah berbeda dengan kaum laki-laki dalam hal peran walaupun ada perbedaan pada fungsi dan pisikologi antara laki-laki dan perempuan, dalam melihat mindstream umat islam atas wanita yang termarjinalisasi inilah Amina Wadud ingin mengubah pandangan itu kepada pandangan holistik yang alquran gambarkan
Pandangan tentang marginalisi perempuan menurut Amina Wadud terjadi karena beberapa persoalan, yang pertama : pada penafsir, dimana adanya bias patriarki dalam menafsirkan ayat-ayat alquran yang dilakukan oleh ulama terdahulu, seorang penafsir seringkali terjebak pada prejudice-prejudicenya, culture background yang melatarbelakangi para mufassir, sehingga pada hal ini penafsir harusah memiliki pre understanding yang apabila itu tidak ada maka akan menyebabkan teks menjadi bisu atau mati. yang kedua : adalah penafsiran ayat-ayat aquran yang bersifat atomistik, yang pada dasarnya menurut amina wadud bahwa ketika penafsir menginginkan sebuah hasil dari pembacaan yang komprehensif-holistik dalam menafsirkan ayat-ayat haruslah melalui telaah atas ayat-ayat yang lain didalam alquran.
Lebih jauh penulis melihat bahwa terjadinya bias patriarki dalam penafsiran yang ingin diretas oleh Amina Wadud juga timbul atas perlakuan-perlakuan laki-laki kepada wanita yang superior yang terjadi dikalangan umat islam yang disebabkan karena taklid buta yang bermuara pada sakralisai hasil pemikiran. Minimnya kesadaran akan upaya dalam memahami hasi pemikiran para ulama terdahulu yang terikat dengan sosio-cultural dimana teks berhadapan dengan persoalan budaya para ulama merupakan hal yang sangatlah langka dalam kesadaran umat islam sehingga sakralisasi teks seakan menjadi penyakit menahun yang susah untuk dihilangkan dari langit pemikiran dunia Islam dewasa ini
Dalam melihat dan merespons problem diatas Amina Wadud berperang melawan hegemoni pemikiran klasik yang sedang menjalar, yang bukan hanya bisa dilakukan melalui jalur akademik yang pernah digeluti, sehingga Amina Wadud meretas pemikiran atas marjinalisasi peran perempuan dengan ekstrim, Menjadi imam dan berkhatib di depan sekurang-kurangnya 100 jamaah pria pada shalat jumat di sebuah masjid di New York City.
Mengimami shalat jumat yang dilakukan oleh Amina Wadud merupakan satu momen dalam perjuangan Amina Wadud selama bertahun-tahun demi kesetaraan dan hak-hak perempuan, yang ia sebut sebagai “Jihad Jender”. Perjuangannya adalah untuk membebaskan perempuan dari tradisi dalam Islam yang selama ini memandang perempuan dibawah laki-laki., dan juga menyanggah penggunaan islam sebagai pembenaran ketidaksetaraan kaum perempuan, yang menurut amina Wadud telah meningkat sejak dia mulai muallaf beberapa dekade yang lalu.





C. Respon
Dalam melihat penelitian yang Amina Wadud lakukan Penulis sangatlah memberikan apresiasi yang luar biasa atas penelitian yang ia lakukan dengan memunculkan sebuah langkah kemudian mendapatkan hasil dari penafsiran itu yang dapat mengungkapkan nilai universal dari wahyu.
Hal penting juga yang penulis ambil dari pemikiran Amina Wadud diatas aalah bahwa perlu adanya pergeseran pradigma penafsiran yang selama ini membungkam peran dari salah satu jenis kelamin manusia ini, yang sesungguhnya akan mengakibatkan aleniasi dari peran manusia secara umum yaitu khalifah di muka bumi, yang apabila pembagian peran hasil dari penafsiran ini terus menyelimuti langit pemikiran umat islam maka keseimbangan fungsi dan tugas manusia pun akan tidak maksimal.
Dengan demikian penafsiran nash-nash alqur`an yang bercorak tekstual dan bias gender perlu dirubah kearah penafsiran kontekstual sehingga nilai-nilai moral yang tersimpan dalam alqur`an mengejawantah pada aplikasi peran wanita didunia, egaliter, kemanusian dan nilai keadilan yang selama ini sering kali ditekankan dalam Alquran benar-benar menjadi ruh dari setiap penafsiran dan pandangan umat Islam masa kini dan masa depan Islam.
Dan tentunya dalam menelaah pemikiran Amina wadud yang penulis lakukan setidaknya sebagai langkah awal dari sebuah kesadaran penulis akan sebuah gagasan, pemikiran dari seorang aktivis gender (Baca: Amina Wadud) yang penulis anggap telah memberikan pencerahan penafsiran berlandaskan wahyu sehingga membawa nilai kesetaran gender, kesamaan dan nilai keadilan, akan tetapi pada saat itu juga penulis pun harus menyadari bahwa hasil pemikiran dari Amina wadud diatas juga merupakan sebuah kebenaran yang relative, yang masih biasa tereduksi seiring perkembangan dan kompleksitas problematika manusia dimuka bumi. Sejalan dengan teori Thomas Khun “Paradigm Shift” yang penulis tafsirkan dengan bebas menyatakan bahwa teori lama akan tereduksi apabila munculnya teori baru. ini pun dapat berlaku pada teori dan hasil dari pemkiran Amina Wadud diatas.Wallahu A`lam bi Shawab.[]