Lorem Ipsum

Selasa, 08 Februari 2011 | By: EurikA AlfianA

Inside The Gender Jihad

MODEL PENELITIAN GENDER
(Telaah Atas Pemikiran Amina Wadud Muhsin dalam “Inside The Gender Jihad: Women`s Reform In Islam”)
Abstract
Amina Wadud Muhsin adalah seorang wanita dan sekaligus sebagai cendikiawan yang terus memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender. Ia telah belajar di beberapa perguruan tinggi yang ada di luar negeri, di antaranya di- American University, Cairo University, dan Al-Azhar University. Aksi Amina Wadud untuk terus memperjuangkan hak-hak perempuan, berawal dari fenomena yang menunjukkan bahwa terjadinya marjinalisasi dan ketidakadilan peran perempuan dalam kehidupan sosial. Adanya budaya patriarki yang berpengaruh terhadap penafsiran para mufassir terhadap ayat-ayat al-qur’an yang berkaitan dengan perempuan sehingga penafsiran tersebut tidak terlepas dari unsur-unsur subjektifitas dan kondisi mufassir itu sendiri. Maka Amina Wadud melakukan reinterpretasi terhadap masalah tersebut dengan menggunakan metode hermeneutik, yaitu menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an secara kereati dan inovatif. Artinya, suatu teks tidak hanya direproduksi maknanya, tetapi juga perlu ada produksi makna baru yang seiring dengan kondisi budaya yang terjadi, sehingga teks itu selalu hidup dan selaras dengan perkembangan zaman (kontekstual).
Penelitian Amina Wadud ini memberikan kontribusi keilmuan yaitu memberikan pemahaman yang komprehenship tentang konsep keadilan sosial dan kesetaraan derajat manusia dan prinsip-prinsip dasar Islam.







I. Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebagai agama penyempurna dari ajaran (baca: agama) terdahulu maka Islam adalah sebagai agama terakhir, agama rahmatan lil alamin, tentunya Islam harus mampu menawarkan solusi-solusi atas setiap problaematika yang terjadi sejalan dengan satu tarikan nafas dunia. Kompleksitas persoalan dunia era kontemporer saat ini berbeda dengan permasalahan yang terjadi dimasa lalu, era modern dan selanjutnya era postmodern berdampak pada munculnya persoalan-persoalan baru yang tentunya menunggu pemecahan, jalan keluar dari berbagai aspek, dalam hal ini agama khususnya Islam yang ditempatkan sebagai pandangan hidup penganutnya sepatutnya juga harus mampu menjawab persoalan tersebut. Berkembangnya isu dunia seperti pluralisme agama, hukum internasional, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, isu gender ,HAM dan isu kontemporer lainya adalah bukti perkembangan dunia yang dinamis. Persoalan-persoalan tersebut muncul ke permukaan tanpa mampu diatasi dan dicarikan solusinya oleh umat islam secara baik apalagi dengan tuntas.
Dalam ajaran agama Islam konsep keadilan merupakan salah satu ajaran yang sangat bernilai, ajaran keadilan terhadap semua manusia seperti yang termaktub didalam kitab suci alquran QS. Al-Nahl 16 : 97 merupakan salah satu dari ajaran tentang keadilan, yang dalam hal ini tanpa memandang ras, agama dan suku. Konsep keadilan ini juga memandang sisi kesetaraan dalam kedudukan didunia bagi semua manusia, akan tetapi persoalan pada implementasi dan aplikasi dari nilai yang termaktub pada wahyu tersebut pada tataran praktis memiliki kesenjangan, salah satunya adalah pada persoalan gender, yang oleh para aktivis gender diera kontemporer ini merasa bahwa kedudukan perempuan telah termarjinalisasi karena adanya bias penafsiran ayat- ayat dalam wahyu (baca : Alqur`an).
Al-Qur`an yang dijadikan sebagai kitab suci umat Islam, di satu sisi diakui sebagai wahyu Tuhan yang tentu kebenarannya sangat mutlak. Namun, ketika teks-teks Al-Qur`an tersebut berhadapan dengan otonomi manusia (baca: mufassir) untuk menginterpretasinya, maka dalam konteks ini para mufassir dalam menafsirkan teks-teks Al-Qur`an tidak bisa terepas dari situasi sosio-cultural dan cara pandang mereka, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi subjektivitas dalam penafsiran mereka itu dan implikasi dari hal tersebut adalah relatifitas kebenaran.
Dalam kaitannya dengan penafsiran Al-Qur`an yang bersifat relatif sementara di sisi lain islam harus shalihun likulli zaman wa makan, Ketika proses pemahaman teks sesungguhnya bersifat interpretative(banyak pilihan makna dan penafsiran) ditutup (pintu ijtihad ditutup), maka seseorang maupun kelompok telah memasuki wilayah tindakan bersifat sewenang-wenang (despotic). Jika seorang pembaca (reder) mencoba menutup rapat-rapat teks itu dalam pangkuan makna tertentu atau memaksa tafsiran tunggal, maka tindakan itu beresiko tinggi untuk melanggar integritas pengarang (author) dan bahkan integritas teks itu sendiri. Maka Al-Qur`an harus selalu ditafsirkan seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman. dengan mempertimbangkan aspek-aspek yang lain, karena Al-Qur`an sangat kaya dengan makna dan interpretable.
Lebih jauh lagi, pandangan bahwa “islam misiogenis, pembenci wanita” adalah merupakan isu yang yang sering kali menjadi berita utama dan lebih penting dijadikan lensa yang dengannya banyak kalangan muslim dan non muslm mengamati dan mulai menilai Islam. Persepsi barat akan perempuan dalam Islam dibentuk oleh perempuan berkerudung, masyarakat yang terpisah menurut jenis kelamin, kekerasan terhadap perempuan dan penolakan akan hak asasi perempuan merupakan hal yang sebenarnya harus dijawab karena tidak sesuai dengan nilai-nilai etis moral universal dari Al-Qur`an sendiri.Inilah tentang secuil dari ganasnya gelombang lautan problamatika era kontemporer yang melanda biduk kapal umat Islam yang tentunya menunggu jawaban, respon dan solusi sehingga kejayaan Islam pada masa lalu bukan sebagai romanitsisme sejarah belaka.
Sepanjang sejarah dan dalam bentangan beragam masyarakat, studi peneliti dan amatan pemerhati gender, masih ada satu yang tetap berlaku dan menjadi kegelisahan kita semua : hubungan laki perempuan masih bias gender. Dan bias gender itu tersimpul dalam frase pendek; stereotip kelakilakian-keperempuanan, peran domestik-publik,, dan posisi dominasi-tersubordinasi. Dalam ketiga dikotomi ini perempuan selalu dikalahkan, dipinggirkan, mengalami kekerasan fisik dan simbolik dan semuanya terangkum dalam apa yang kita kenal dengan konstruksi budaya hubungan laki-perempuan yang bias gender. Praktik-praktik, Misogyni alias kekerasan laki-laki terhadap perempuan terus saja berlangsung dalam budaya, bahkan pada Negara yang sangat demokratis dan maju sekalipun.
Isu mengenai gender saat ini telah menjadi bagian yang selalu dikumandangkan oleh para aktifis gender. Mereka menyadari bahwa terjadi marjinalisasi terhadap kaum perempuan itu sendiri sebagai akibat dari penafasiran para mufassir secara patriarki. Oleh sebab itu, para aktifis gender yang dalam hal ini oleh Amina Wadud melakukan upaya untuk menafsirkan ulang teks-teks Al-Qur`an dalam rangka mencari solusi untuk menuju kesetaraan dan keadilan gender .
Adanya marjinalisasi terhadap kaum perempuan dalam sejarah dunia Islam tentu termasuk hal yang sangat menyedihkan , sementara di sisi lain al-quran sangat menghargai wanita, sebagai bentuk Islam sangat menghargai kaum wanita adalah adanya persamaan antara laki-laki dan perempuan .
Seiring dengan isu-isu gender yang dikumandangkan oleh para aktifis gender sebagaimana yang disebutkan di atas, maka seorang feminis muslim dari Amerika Serikat yang bernama Amina Wadud berupaya melakukan rekonstruksi metodologis dalam menafsirkan Al-Qur`an agar mendapatkan penafsiran yang memiliki objektif dan memiliki keadilan.





B. Pokok Masalah
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan tentang pemahaman fenomena gender yang terkait dengan perlakuan dan peran perempuan di tengah masyarakat dalam segala aspek kehidupannya. Usaha Amina Wadud adalah terobosan memecah ketidakadilan penafsiran tentang perempuan. Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender yaitu laki-laki dengan perempuan di kalangan umat Islam. Ketimpangan inilah yang membelenggu potensi yang dimiliki perempuan.
Dari hal diatas maka penulis mengajukan pokok permasalahan dalam meneliti model penafsiran Amina wadud adalah
1. Bagaimanakah latar belakang pemikiran Amina Wadud?
2. Bagaimanakah metodologi penafsiran Amina Wadud terhadap AlQur`an?

C. Metode dan Sistematika Penulisan
Kemudian Sistematika penulisan dalam paper ini dimulai dari Bagian I berupa latar belakang dan pada bagian ke II pemaparan latar belakang munculnya pemikiran dari Amina Wadud. Kemudian metode penafsiran dan dilanjutkan dengan sebuah tawaran teori penafsiran Selanjutnya pada bagian ke-III berisi biografi Amina wadud selanjutnya kesimpulan, analisa dan respon penulis akan metodologi penelitian yang dilakukan Amina Wadud dalam menafsirkan Alqur`an akan penulis paparkan di bagian terakhir (IV).








II. Metodologi Tafsir Gender
A. Latar Belakang Pemikiran
Ketika melihat keterpurukan kaum wanita di segala bidang, maka hal itu melatarbelakangi pemikiran Amina Wadud. Ia mulai mencari penyebab dari keterpurukan yang dihadapi oleh kaum perempuan itu. Amina Wadud menemukan bahwa dengan budaya patriarki, hasil penafsiran dan pemikiran oleh para ulama` telah memarginalkan kaum perempuan , sehingga ia merasa perlunya berjuang (jihad) untuk melakukan reinterpretasi terhadap ayat-ayat yang membahas tentang perempuan dengan menggunakan pendekatan hermeneutik dengan tujuan untuk membuat reformasi sosial terhadap perempuan . Kegelisahan Amina Wadud inilah yang melatarbelakangi ditulisnya buku “inside the gender jihad: Women`s reform in Islam”.
Berdasarkan pernyataan di atas, maka paling tidak ada dua hal yang menjadi kegelisahan akademik bagi Amina Wadud, yaitu pertama: terjadinya marginalisasi terhadap kaum perempuan dan kedua: terjadinya interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur’an yang ditafsirkan oleh pria (mufasir) berasarkan pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan.
Dari latar belakang pemikiran Amina Wadud di atas, yaitu terjadinya ketidak adilan gender sebagai pengaruh dari penafsiran Al-Qur`an yang dianggap bias patriarki, maka karyanya “inside the gender jihad: Women`s reform in Islam dan Qur`an and Women” sesungguhnya mencoba untuk melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap model penafsiran klasik yang syarat dengan bias patriarki.






B. Metode Penafsiran Amina Wadud
Pada dasarnya Amina Wadud sebelum melakukan penelitian juga menelaah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya; karya-karya Fazlur Rahman dan Khaled Abou El Fadl serta mengambil beberapa tokoh lainya untuk memperkuat metodologi dalam menganalisis persoalan gender ini.
A. Fazlur Rahman telah banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran Amina Wadud dalam penafsiran, terutama metode penafsiran yang holistik yang menekankan telaah aspek normatif dari ajaran Islam. Teori holistik menawarkan metode pemahaman al-Qur’an yang menyatu (coherent) disebut sebagai metode hermeneutik (hermeneutik theory). Wadud mengadopsi metode Rahman metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penafsir .
B. Khaled Abou El Fadl, menawarkan konsep outoritas penafsiran (fatwa), dia berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena merasa ini dari Tuhan, otoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam .
Pemikiran Amina Wadud dalam menafsirkan Al-Qur`an banyak dipengaruhi oleh pemikiran “neo-modernisme” Fazlur Rahman, terutama yang berkenaan dengan corak penafsiran Al-Qur`an yang digunakan Amina Wadud yaitu metode penafsiran holistik dengan menekankan telaah aspek normative dari ajaran Al-Qur`an .
Pentingnya memahami Al-Qur`an secara satu kesatuan disebabkan karena Al-Qur`an sendiri diwahyukan berdasarkan tuntutan kondisi dan situasi yang terjadi . Oleh sebab itu, Amina Wadud berharap, dengan menggunakan metode holistik ini akan diperoleh interpretasi Al-Qur`an yang mempunyai makna dan kandungan yang selalu relevan dengan konteks modern.
Dalam rangka menemukan prinsip umum Al-Qur`an untuk kontekstualisasi berdasarkan kondisi saat ini, maka Amina Wadud mengadopsi metode Fazlur Rahman yaitu double movement. Oleh sebab itu, langkah yang dilakukan adalah memulai dengan kasus konkrit dalam Al-Qur`an untuk menemukan prinsip yang umum yang kemudian dapat dijadikan sebagai acuan untuk menentukan prinsip keadilan dan kesetaraan.
Di samping itu, Amina Wadud juga menitikberatkan pemahaman pada susunan bahasa Al-Qur`an yang memiliki makna ganda . Metode ini bertujuan untuk mengetahui maksud teks disertai dengan keadaan dan latar belakang mufassir ketika menafsirkan Al-Qur`an yang berkaitan dengan perempuan.
Dalam kaitannya dengan penafsiran mufassir, Amina Wadud melakukan keritikan terhadap metode tafsir yang dilakukan oleh para mufassir. Amina Wadud mengemukakan bahwa tidak ada metode penafsiran yang benar-benar objektif, melainkan suatu penafsiran sering mencerminkan pilihan-pilihan yang tidak lepas dari unsur-unsur subjektif dari mufasir itu sendiri . Oleh sebab itu, agar suatu penafsiran menjadi objektif, maka menurut Amina Wadud, seorang penafsir harus kembali kepada prinsip-prinsip dasar al-quran sebagai kerangka paradigmanya dan kemudian melakukan kreasi penafsiran sesuai dengan tuntutan zamannya .
Dengan demikian, bagi Amina Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama, perspektif yang lebih demokratis mengenai hak dan kewajiban individu baik laki-laki maupun perempuan dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur’an tentang keadilan sosial, pengahargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menadi prinsip utama sebuah “relasi fungsional” yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu sebagai khalifah fi al-ardi.
Lalu pembacaan yang kemudian Amina wadud gunakan ketika menafsirkan ayat sehingga diharapkan terciptanya sebuah penafsiran kontekstual ialah dengan menggunakan pendekatan Hermeneutik, Amina Wadud mengadopsi teori Fazlur Rahman yaitu double movement . Dalam kaitannya dengan metode hermeneutik, maka penafsir harus selalu menghubungkan suatu teks dengan tiga aspek, yaitu1). Dalam konteks apa teks itu muncul; 2). Apa yang dikatakan oleh teks tersebut dan 3). Bagaimana keseluruhan teks sebagai weltanchauung atau pandangan hidup . Selain menggunakan hermeneutik gerakan ganda, Wadud juga menggunakan metode tafsir al-Qur’an bil al-Qur’an untuk menganalisa semua ayat-ayat yang memberikan petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki.
Sebagai langkah dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an, maka ayat tersebut harus dianalisa dalam beberapa hal, yaitu 1). Berdasarkan konteksnya (in its context); 2) konteks pembahasan topik yang sama dalam Al-Qur`an (in the context of discussion on similar topic in the qur`an); 3) berdasarkan bahasa yang sama dan struktur sintaksis yang digunakan (in the light of similar language and syintactial structures used elsewhere in the qur`an); 4) . berdasarkan sikap yang benar-benar berpegang teguh pada prinsip-prinsip Al-Qur`an (in the light of overriding qur`anic principles) dan 5). Berdasarkan Al-Qur`an sebagai pandangan hidup (world-view) . Dan yang terpenting bagi Amina Wadud adalah prinsip umum Al-Qur’an menjadi landasannya dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini, yaitu adanya relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial.









C. Tori Penafsiran Amina Wadud
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai ayat-ayat keadilan gender dalam Al-Qur`an serta beberapa kontroversi hak dan peran wanita yang kerap kali ditafsirkan sebagai bentuk superioritas pria atas perempuan. Penerapan model hermeneutik yang ditawarkan Amina Wadud berpijak pada asal-usul manusia (the origin of humankind) dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.
Surat Al-A`raf (7): 27 menerangkan penciptaan manusia dimulai dengan asal-usul bapak pertama. Sebagaimana yang diungkapkan pada ayat tersebut:
   •      •                      
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang yang tidak beriman”.
Amina Wadud menjelaskan bahwa kita menganggap ibu bapak kita yang pertama serupa dengan kita, akan tetapi pembahasan di sini lebih menekankan tentang proses penciptaan mereka, yaitu semua manusia setelah penciptaan kedua makhluk ini, maka manusia diciptakan dalam rahim ibunya .



Kemudian mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan, Amina Wadud menariknya ke akar teologis permasalahan, yaitu pada asal usul penciptaan manusia sebagaimana yang dijelaskan pada surat al-nisa (4): 1 dan surat al-rum (30) : 21.
Surat al-nisa` (4): 21 berbunyi
 ••                 •       •    
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”.
Kemudian surat al-rum:21 berbunyi
            ••   •     
“dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Yang perlu dikritisi dari ayat di atas menurut Amina Wadud adalah ketika para mufassir menfsirkan kata nafs wahidah, kata min dan zawj. Istilah nafs ini menunjukkan asal manusia secara umum yang secara tehnis tidak berarti maskulin atau feminin tetapi hal itu berarti ruh atau diri . Kedua ayat di atas oleh mufasir sering difahami sebagai penciptaan adam dan hawa, padahal kedua ayat di atas menunjukkan unsur-usur pokok kisah asal usul manusia versi Al-Qur`an. Karena tidak ada kejelasan dalam Al-Qur`an mengenai kata nafs itu sendiri, apakah adam atau hawa. Sebab, bila dilihat dari akar katanya kata nafs itu adalah muannats, lalu mengapa para mufassr tradisional ditafsirkan “adam” . Dengan demikian, maka kata nafs wahidah oleh mufasir tradisional ditafsirkan dengan tubuh adam.
Menurut Amina Wadud, kata nafs tersebut menunjukkan bahwa seluruh ummat manusia berasal dari asal usul yang sama. Dalam Al-Qur`an Allah tidak pernah memulai penciptaan manusia dengan nafs dalam arti adam, dalam artian asal usul penciptaan manusia menurut versi Al-Qur`an tidak pernah dinyatakan dalam istilah jenis kelamin. Oleh sebab itu, Amina Wadud menegaskan bahwa istilah nafs sesungguhnya berkaitan dengan esensi manusia baik pria maupun wanita yang merupakan faktor penentu fundamental keberadaannya dan bukan jenis kelamin .
Demikian pula dengan kata zawj, kata tersebut bersifat netral, karena secara konseptual kebahasaan tidak menunjukkan bentuk muannats atau mudzakkar. Kata zawj yang jamaknya azwaj juga digunakan untuk menyebutkan tanaman dan hewan . Sebagai contoh kata zawj yang digunakan untuk menunjukkan tanaman yaitu pada surat al-Rahman (55): 52
    
“di dalam kedua syurga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasangan”.
Sementara kata zawj yang menunjukkan hewan terdapat pada surat Hud (11): 40
•                          
“hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman: "Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina), dan keluargamu kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman." dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sediki”.
Berdasarkan kedua ayat di atas maka kata zawj adakalanya digunakan untuk menyebut tanaman dan adakalanya digunakan untuk menyebut hewan. Lalu yang menjadi masalahnya adalah kenapa para mufasir tradisional menafsirkan kata zawj dengan “isteri”?. Menurut Amina Wadud para mufasir menafsirkan hal itu karena bersandar pada Bible .




















III. Biografi
Meskipun pemikirannya banyak dimuat di beberapa media, lebih-lebih semenjak terjadinya ‘jum`at bersejarah, dimana ia bertindak sebagai imam sekaligus khathib shalat jum’at di ruangan Synod House di Gereja Katedral Saint John The Divine di kawasan Manhattan, New York, Amerika Serikat, 18 Maret 2005 lalu, namun tidak banyak diketahui secara rinci mengenai riwayat hidup tokoh ini. Dari beberapa literatur dan situs, penulis menemukan bahwa ia dilahirkan pada tahun 1952, di Amerika. Nama orang tuanya tidak diketahui, namun ia adalah seorang anak pendeta yang taat. Ia mengakui bahwa ia tidak begitu dekat dengan ayahnya dan ayahnya tidak banyak mempengaruhi pandangannya. Hidayah dan ketertarikannya terhadap Islam, khususnya dalam masalah konsep keadilan dalam Islam, mengantarkannya untuk mengucapkan dua kalimah syahadah pada hari yang ia namakan Thanksgiving day, tahun 1972.
Belum diketahui jenjang pendidikan yang ia lalui hingga mengantarkannya menjadi seorang professor studi Islam di Departemen Studi Islam dan Filsafat Universitas Commonwealth di Richmond, Virginia. Namun dalam beberapa literature, ia merupakan seorang yang aktif di berbagai organisasi perempuan di Amerika, berbagai diskusi tentang perempuan, serta gigih menyuarakan keadilan Islam terhadap laki-laki dan perempuan di berbagai diskusi ilmiah pada beberapa daerah maupun Negara. Ia mendirikan organisasi Sister Islam di Malaysia.
Dalam bukunya, Inside The Gender Jihad, ia menulis bahwa ia telah menjadi the single parent lebih dari 30 tahun bagi empat orang anaknya. Hal ini, menurutnya, merupakan awal jihadnya dalam memperjuangkan hak-hak keadilan bagi para wanita Islam .






IV. Penutup
A. Kesimpulan
Amina Wadud mengharapkan penafsiran yang menuju perubahan yaitu dari penafsran yang konservatif kea rah penafsiran reformis sehingga terwujudnya tatanan sosial masyarakat Islam yang tidak didominasi patriarki, tidak membdakan antara laki-laki dan perempuan dan tidak praduga-praduga sosial yang tidak dapat dipertanggung jawabkan.
Metodologi hermeneutik yang ditawarkan oleh Amina Wadud nampaknya relative baik untuk diterapkan dalam rangka mengembangkan wacana tafsr yang sensitif gender. Spririt ini tidak hanya ditujukan kepada reformasi wanita muslim, tetapi juga mengajak kaum laki-laki untkuk menyadari bahwa Islam sendiri tidak pernah menyebutkan adanya superioritas antara laki-laki dan perempuan.
Yang menarik untuk dicermati adalah bahwa pemikiran Amina Wadud untuk membongkar pemikiran lama yang disebabkan oleh bias patriarki melalui rekonstruksi metodologi tafsirnya. Di samping itu, pandangan Amina Wadud tentang relasi fungsional adalah sebuah relasi gender yang dibentuk melalui pembagian peran secara simbang antara laki-laki dan perempuan. Tujuan dari relasi tersebut adalah untuk menjaga keseimbangan manusia dalam menjalankan misi khalifah di muka bumi.

B. Analisia
Pada permasalahan gender penulis melihat bahwa Amina Wadud dalam reinterpretasi nash alquran disebabkan kenyataan yang terjadi didunia islam yang terlihat memarjinalkan perempuan, yang pada dasarnya apabila merujuk kepada nilai-nilai etis alquran bahwa posisi perempuan tidaklah berbeda dengan kaum laki-laki dalam hal peran walaupun ada perbedaan pada fungsi dan pisikologi antara laki-laki dan perempuan, dalam melihat mindstream umat islam atas wanita yang termarjinalisasi inilah Amina Wadud ingin mengubah pandangan itu kepada pandangan holistik yang alquran gambarkan
Pandangan tentang marginalisi perempuan menurut Amina Wadud terjadi karena beberapa persoalan, yang pertama : pada penafsir, dimana adanya bias patriarki dalam menafsirkan ayat-ayat alquran yang dilakukan oleh ulama terdahulu, seorang penafsir seringkali terjebak pada prejudice-prejudicenya, culture background yang melatarbelakangi para mufassir, sehingga pada hal ini penafsir harusah memiliki pre understanding yang apabila itu tidak ada maka akan menyebabkan teks menjadi bisu atau mati. yang kedua : adalah penafsiran ayat-ayat aquran yang bersifat atomistik, yang pada dasarnya menurut amina wadud bahwa ketika penafsir menginginkan sebuah hasil dari pembacaan yang komprehensif-holistik dalam menafsirkan ayat-ayat haruslah melalui telaah atas ayat-ayat yang lain didalam alquran.
Lebih jauh penulis melihat bahwa terjadinya bias patriarki dalam penafsiran yang ingin diretas oleh Amina Wadud juga timbul atas perlakuan-perlakuan laki-laki kepada wanita yang superior yang terjadi dikalangan umat islam yang disebabkan karena taklid buta yang bermuara pada sakralisai hasil pemikiran. Minimnya kesadaran akan upaya dalam memahami hasi pemikiran para ulama terdahulu yang terikat dengan sosio-cultural dimana teks berhadapan dengan persoalan budaya para ulama merupakan hal yang sangatlah langka dalam kesadaran umat islam sehingga sakralisasi teks seakan menjadi penyakit menahun yang susah untuk dihilangkan dari langit pemikiran dunia Islam dewasa ini
Dalam melihat dan merespons problem diatas Amina Wadud berperang melawan hegemoni pemikiran klasik yang sedang menjalar, yang bukan hanya bisa dilakukan melalui jalur akademik yang pernah digeluti, sehingga Amina Wadud meretas pemikiran atas marjinalisasi peran perempuan dengan ekstrim, Menjadi imam dan berkhatib di depan sekurang-kurangnya 100 jamaah pria pada shalat jumat di sebuah masjid di New York City.
Mengimami shalat jumat yang dilakukan oleh Amina Wadud merupakan satu momen dalam perjuangan Amina Wadud selama bertahun-tahun demi kesetaraan dan hak-hak perempuan, yang ia sebut sebagai “Jihad Jender”. Perjuangannya adalah untuk membebaskan perempuan dari tradisi dalam Islam yang selama ini memandang perempuan dibawah laki-laki., dan juga menyanggah penggunaan islam sebagai pembenaran ketidaksetaraan kaum perempuan, yang menurut amina Wadud telah meningkat sejak dia mulai muallaf beberapa dekade yang lalu.





C. Respon
Dalam melihat penelitian yang Amina Wadud lakukan Penulis sangatlah memberikan apresiasi yang luar biasa atas penelitian yang ia lakukan dengan memunculkan sebuah langkah kemudian mendapatkan hasil dari penafsiran itu yang dapat mengungkapkan nilai universal dari wahyu.
Hal penting juga yang penulis ambil dari pemikiran Amina Wadud diatas aalah bahwa perlu adanya pergeseran pradigma penafsiran yang selama ini membungkam peran dari salah satu jenis kelamin manusia ini, yang sesungguhnya akan mengakibatkan aleniasi dari peran manusia secara umum yaitu khalifah di muka bumi, yang apabila pembagian peran hasil dari penafsiran ini terus menyelimuti langit pemikiran umat islam maka keseimbangan fungsi dan tugas manusia pun akan tidak maksimal.
Dengan demikian penafsiran nash-nash alqur`an yang bercorak tekstual dan bias gender perlu dirubah kearah penafsiran kontekstual sehingga nilai-nilai moral yang tersimpan dalam alqur`an mengejawantah pada aplikasi peran wanita didunia, egaliter, kemanusian dan nilai keadilan yang selama ini sering kali ditekankan dalam Alquran benar-benar menjadi ruh dari setiap penafsiran dan pandangan umat Islam masa kini dan masa depan Islam.
Dan tentunya dalam menelaah pemikiran Amina wadud yang penulis lakukan setidaknya sebagai langkah awal dari sebuah kesadaran penulis akan sebuah gagasan, pemikiran dari seorang aktivis gender (Baca: Amina Wadud) yang penulis anggap telah memberikan pencerahan penafsiran berlandaskan wahyu sehingga membawa nilai kesetaran gender, kesamaan dan nilai keadilan, akan tetapi pada saat itu juga penulis pun harus menyadari bahwa hasil pemikiran dari Amina wadud diatas juga merupakan sebuah kebenaran yang relative, yang masih biasa tereduksi seiring perkembangan dan kompleksitas problematika manusia dimuka bumi. Sejalan dengan teori Thomas Khun “Paradigm Shift” yang penulis tafsirkan dengan bebas menyatakan bahwa teori lama akan tereduksi apabila munculnya teori baru. ini pun dapat berlaku pada teori dan hasil dari pemkiran Amina Wadud diatas.Wallahu A`lam bi Shawab.[]
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

Epistemologi Integrasi-Interkoneksi

EPISTEMOLOGI KEILMUAN INTEGRATIF - INTERKONEKTIF M. AMIN ABDULLAH
DAN RELEVANSINYA BAGI ILMU PENDIDIKAN (ISLAM)

A.Pendahuluan
Sebuah kenyataan yang kita alami bersama bahwa disana ada sebagian masyarakat, bahkan sebagian besar masyarakat yang memahami secara kurang tepat hubungan antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, dimana dipahami seakan ada jarak diantara keduanya yang tidak bisa di satukan dalam cara atau metode tertentu.Dimana kemudian dipahami bahwa Agama hanya mengurusi wilayah-wilayah ketuhanan, kenabian, aqidah, fikih, tafsir, hadis dan semisalnya. Yang pada gilirannya ilmu pengetahuan diletakan dalam bangunan lain di luar bangunan ilmu-ilmu Agama.Kemudian dimasukan kedalamnya misalnya ilmu biologi, fisika, matematika, kedokteran dan sejenisnya.Hal ini pun berlanjut dengan didukung pula kebijakan pendidikan pemerintah yang dikotomik.
Kenyataan diatas mengusik M. Amin Abdullah, untuk meluruskan, membenahi, mendobrak pemahaman diatas melalui bukunya Islamic Studies; Pendekatan Integratif-Interkonektif sebagai upaya dekonstruksi atau merombak ulang untuk kemudian ditata kembali frame berpikir masyarakat dalam melihat agama dalam relasinya dengan ilmu pengetahuan.
Ide dasarnya adalah, bahwa untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan Agama, keilmuan sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain. Kerjasama, saling membutuhkan, saling koreksi,dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Sebab, ketika bangunan-bangunan keilmuan itu saling membelakangi,tidak ada tegur sapa dan komunikasi maka hasilnya adalah kemunduran, akan tercipta misalnya seorang ilmuwan yang tak berakhlak dan merusak atau seorang Kyai yang tidak tahu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akhirnya gampang dibodohi.
B. Tentang M. Amin Abdullah
Beliau adalah Prof. Dr. Muhammad Amin Abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan Program Sarjana Muda (Bakalaureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD) 1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan Program Sarjana pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, mulai tahun 1985 mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki (1990). Mengikuti Program Post-Doctoral di McGill University, Kanada (1997-1998).
Disertasinya, The Idea of University of Ethical Norms in Ghazali and Kant, diterbitkan di Turki (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992). Karya-karya ilmiah lainnya yang diterbitkan, antara lain: Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). Dinamika Islam Kultural : Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (Bandung, Mizan, 2000); Antara al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002) serta Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005). Sedangkan karya terjemahan yang diterbitkan adalah Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (Jakarta: Rajawali, 1985); Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (Jakarta: Rajawali, 1989).
Bapak tiga anak ini kini adalah dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya, Universitas Islam Indonesia, Program Magister pada UIN Sunan Kalijaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat dan Program Studi Sastra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat Asisten Direktur Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Tahun 1998-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) di almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari 1999 mendapat kehormatan menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat. Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor IAIN/UIN Sunan Kalijaga. Tahun 2005-2010 sebagai Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta untuk Periode kedua.
Dalam organisasi kemasyarakatan, dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta, 1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Wakil Ketua (2000-2005).
Tulisan-tulisannya dapat dijumpai di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa jurnal keilmuan keislaman yang lain. Di samping itu, dia aktif mengikuti seminar di dalam dan luar negeri. Seminar internasional yang diikuti, antara lain: “Kependudukan dalam Dunia Islam”, Badan Kependudukan Universitas Al-Azhar, Kairo, Juli 1992; tentang “Dakwah Islamiyah”, Pemerintah Republik Turki, Oktober 1993; Lokakarya Program Majelis Agama ASEAN (MABIM), Pemerintah Malaysia, di Langkawi, Januari 1994; “Islam and 21st Century”, Universitas Leiden, Belanda, Juni 1996; “Qur’anic Exegesis in the Eve of 21st Century”, Universitas Leiden, Juni 1998, ”Islam and Civil Society : Messages from Southeast Asia“, Tokyo Jepang, 1999; “al-Ta’rikh al- Islamy wa azamah al-huwaiyah”, Tripoli, Libia, 2000; “International anti-corruption conference”, Seol, Korea Selatan, 2003; Persiapan Seminar “New Horizon in Islamic Thought”, London, Agustus, 2003; “Gender issues in Islam”, Kuala Lumpur, Malaysia, 2003; “Dakwah and Dissemination of Islamic Religious Authority in Contemporarry Indonesia, Leiden, Belanda, 2003.
C. Kritik M. Amin Abdullah Terhadap Perkembangan Keilmuan Islam
Tidak ragu lagi,satu hal yang disepakati bersama bahwa inti ajaran Islam adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW, yang juga merupakan dasar bagi keilmuan Islam,karena al-Qur’an dan as-Sunnah di yakini mengandung kebenaran mutlak yang bersifat transedental, universal dan eternal. Inti ajaran Islam ini berlaku sama di manapun ummat muslim berada dan kapanpun, mereka tidak akan pernah bisa lepas dari dua sumber tadi.Masalahnya kemudian adalah tingkat pemahaman, interpretasi, penghayatan, dan pelaksanaan norma-norma yang terkandung pada keduanya tidak sama antara satu tempat dengan tempat lainnya, antara satu zaman dengan zaman lainnya.Berbagai kondisi, suasana, budaya, bahasa dan factor sosio kultur lainnya mempengaruhi, yang dari perbedaan pemahaman ini sering melahirkan ketegangan-ketegangan antara ummat Islam itu sendiri.Disamping itu M. Amin Abdullah menyoroti pula problem keilmuan Islam “Klasik”,dalam mengurai berbagai persoalan empirik yang melekat dalam realitas kehidupan masyarakat modern seperti kemiskinan, lingkungan hidup, kebodohan, keterbelakangan, penindasan dan lain-lain, yang dirasakan kurang mendapat porsi kepedulian yang menggigit dari pemikiran teologi para ulama dan para pemikir Islam .
Dalam hal ini Amin Abdullah melihat setidaknya ada tiga hal yang harus dibenahi terkait masalah sebagaimana di atas, yaitu metode tafsir al-Qur’an, metode pemaknaan hadis dan pengkajian pemikiran keislaman.
Pertama, pembaharuan pemikiran terhadap tafsir al-Quran , bagi Amin Abdullah penafsiran al-Qur’an yang bersifat lexiografis, kata perkata, kalimat per kalimat, ayat dengan ayat, tanpa mempedulikan konteks sosial, politik, dan budaya ketika ayat itu turun dan bagaimana konteks sosial, ekonomi, politik, budaya pada era sekarang adalah pola dan metode penafsiran yang cocok untuk sebuah kitab suci yang di anggap sebagai corpus”tertutup,ahistoris.Yang kemudian di istilahkan sebagai tafsir “re-productive”dan kurang bersifat “productive”. Meski ummat Islam mempunyai ‘ulum al-Qur’an yang didalamnya ada studi asbab al-nuzul, yang jelas-jelas menerangkan adanya hubungan kausalitas yang positif antara pesan-pesan atau norma-norma dengan peristiwa-peristiwa sosial ekonomi politik dan budaya yang mengitarinya namun, menurut Amin Abdullah, eksplorasi terhadap asbab al-nuzul masih dirasa kurang. Sedangkan corak penafsiran al-Quran yang bersifat “productive” lebih menonjolkan perlunya memproduksi makna baru yang sesuai dengan tingkat tantangan perubahan dan perkembangan konteks social ekonomi, politik dan budaya yang melingkupi kehidupan ummat Islam kontemporer tanpa meninggalkan misi utama makna moral dan pandangan hidup al-Qur’an.
Kedua, pembaharuan pemikiran terhadap pemaknaan Al-Hadis, menurut Amin Abdullah telah terjadi proses pembakuan dan pembekuan terhadap pemahaman dan pemaknaan al-Sunnah ( hadis), telah terjadi perubahan yang begitu mendasar dalam studi hadis dari tradisi lisan yang longgar, hidup dan fleksibel menjadi tradisi tertulis beku dan baku.Sebuah pandangan yang beliau nukil dari Fazlur Rahman dalam bukunya”Concept Sunnah, Ijtihad and Ijma’ in the Early Periode”.Jadi problemnya hampir sama dengan problem yang terjadi dalam menafsirkan al-Qur’an.Bagi Amin Abdullah hadis-hadis yang menyangkut persoalan politik sosial ekonomi dan budaya merupakan celah untuk dapat dilakukan kajian yang mendalam dan sekaligus perlunya pembaruan penafsiran, pemahaman, dan pemaknaan terhadap khasanah literature hadis, sebagai konsekuensi dari berbedanya setting sosial ekonomi budaya dan politik waktu munculnya hadis dengan kondisi sekarang. Berbeda dengan hal-hal yang terkait dengan persoalan ibadah murni seperti shalat puasa, haji, zakat dan semisalnya barangkali hadis-hadis tersebut adalah unik dan khas.
Ketiga, pembaruan pemikiran keislaman, Kalam, Fikih, Tassawuf, dan Filsafat. Empat kajian bidang pemikiran keislaman diatas adalah hasil dari beragam corak pemahaman ummat atas dua sumber utama Islam yaitu, al-Qur’an dan al-Hadis.Yang di latar belakangi oleh, tradisi berpikir, dan pengaruh sosiologis para penggiatnya yang bermacam-macam,selanjutnya munculah ragam kajian keislaman yang empat diatas. Dimana Kalam lebih menekankan aspek pembelaan dan pembenaran aqidah sektarian sepihak sehingga coraknya lebih bersifat tegas, keras, agresif, defensive dan apologis lengket dengan teks-teks (dalil al-Qur’an dan Sunnah). Fikih lebih mengatur sitem peribadatan kepada Allah Ta’ala seperti sholat, zakat, puasa, haji yang seringkali juga merambah ranah lain dengan istilah fikih muammalat seperti, wakaf, jual beli ( ekonomi), peradilan atau tata Negara sekalipun.Sedang filsafat lebih menekankan aspek logika dalam pemikiran keislaman, berangkat dari premis-premis logis yang ada dibalik teks, mencari makna, subtansi dari pesan pesan dalam teks. Sedangkan tasawuf lebih menekankan pada aspek esoteric atau kedalaman spritualitas bathiniah. Bagi sufi kalam dan fikih terlalu kering untuk menjangkau dahaga ruhiyah mereka. Keempat kluster keilmuan di atas mengalami ketegangan dalam hubungan di antara ke-empatnya, bahkan terjadi pergesekan akademik dan rivalitas dimana pergesekan dan rivalitas ini mengerucut menjadi 2 kutub, kluster fikih dan kalam ( aqidah ) di satu pihak,versus tasawuf dan filsafat dipihak lain, yang menurut Amin Abdullah yang pertama bersifat final, closed Sistem, stationery, dan eksklusif dan kutub kedua bersifat open ended ,open system ,on going proces dan inklusif. Bahkan pada saat tertentu, pertentangan antara keduanya sedemikian keras sehingga seolah-olah keempat kluster tersebut tidak berasal dari poros dan sumber yang sama.
Dari paparan diatas di tangkap kritik dan kegelisahan Amin Abdullah,bahwa Amin Abdullah menyoroti sebuah problem yang diderita keilmuan Islam, yaitu tidak sinkronnya studi Islam dengan pendekatan ilmu-ilmu social,ekonomi,politik budaya dan lain-lain,isi normative Islam mati-matian lebih ditonjolkan ketimbang sisi historisnya.Pada gilirannya kajian itu tidak mujarab dalam mengurai berbagai persoalan empirik yang melekat dalam realitas kehidupan masyarakat modern seperti kemiskinan ,lingkungan hidup, kebodohan , keterbelakangn, penindasan dan lain-lain,dan dirasakan kurang mendapat porsi kepedulian yang menggigit dari pemikiran teologi para ulama dan para pemikir Islam . Kurang komprehensif begitu kira-kira istilahnya seperti juga yang digelisahkan Mohammed Arkoun.
D. Sistem dan Metode Ilmu Yang Ditawarkan M. Amin Abdullah
Islam dan ummat Islam sebagai faktor utama penyebab kemajuan peradaban manusia adalah sebuah kenyataan sejarah, meski juga keterbelakangan dan kelemahan yang melanda ummat Islam dewasa ini juga tidak bisa kita pungkiri.Upaya membangkitkan kembali peradaban Islam dipenuhi dengan berbagai wacana.Amin Abdullah menyorotinya dari segi keilmuan keagamaan dimana ia melihat tradisi keilmuan Islam tidak kunjung memberi pencerahan, ia berpendapat perlu adanya reformasi dalam metode pengkajian Islam.Amin melihat bahwasannya kemandulan Islam lebih disebabkan oleh tercerainya teks-teks keislaman dengan konteks sosial diamana corak yang populer digunakan dalam pengkajian Islam adalah corak yang dikotomis dan tekstualis, oleh karena itu corak pengkajian seperti ini harus di rubah dengan corak pengkajian yang integrated, komprehensif melibatkan multidisiplin keilmuan.
Jadi nuansanya adalah reintegrasi keilmuan atau penyatuan kembali atau yang dapat pula diartikan upaya menerima masukan dari berbagai sisi keilmuan, menerima keberadaan entitas lain dari ilmu yang sebenarnya berkaitan erat dengan ilmu keislaman lalu mengintegrasikannya menjadi formula yang efektif mengurai benang kusut berbagai masalah kekinian.
E. Bangunan Epistemologis Keilmuan Interkonektif-Integratif M. Amin Abdullah
Pola dikotomis keilmuan yang memisahkan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama adalah kenyataan yang terus ada dan berjalan sampai sekarang, di banyak benak masyarakat awam atau intelektual sekalipun.Diatas telah di singgung pemikiran integrasi dari Amin Abdullah dalam mengurai kenyataan pahit ini.Inti dari epistemologi ini adalah ide dan usaha dalam memunculkan dialog sekaligus kerjasama antar berbagai disiplin ilmu umum dan agama diamana bisa dicirikan dari model ini adalah dikedepankannya metode interdisipliner, interkonektifitas. Menurut Amin Abdullah gagasan ini adalah kelanjutan apa yang pernah dikembangkan Kuntowijoyo, yang kemudian oleh Amin Abdullah dikembangkan lebih lanjut dalam konteks studi keislaman di IAIN dan upaya pengembangannya lebih lanjut secara integrative dimasa depan.
Agama dalam arti luas merupakan wahyu Tuhan , yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan , diri sendiri, dan lingkungan hidup baik fisik social maupun budaya secara global, Seperangkat aturan-aturan,nilai-nilai umum dan prinsip-prinsip dasar inilah yang sebenarnya disebut syari’at. Kitab suci al-Alqur’an merupakan petunjuk etika, moral, akhlak, kebijaksanaan dan dapat menjadi teologi ilmu serta grand theory ilmu.Sebagai sumber pengetahuan disamping pengetahuan yang di eksplorasi manusia.Perpaduan antara keduanya disebut teaoantroposentris.sehingga pemisahan keduanya,dalam bingkai sekularisme misalnya,sudah tidak sesuai lagi dengan semangat zaman kalau tidak bisa dikatakan sudah ketinggalan zaman.Peradaban kedepan atau peradaban pasca modern perlu ada perubahan.Yaitu rujuknya kembali agama dengan sector-sektor kehidupan lain,termasuk agama dan ilmu , yang sejak zaman hiruk pikuk renaissance Eropa terceraikan.
Ilmu yang lahir dari induk agama menjadi ilmu yang obyektif,dalam arti bahwa ilmu tersebut tidak diarasakan oleh penganut agama lain sebagai norma, tetapi sebagi gejala keilmuan yang obyektif, yang diterima oleh seorang atheis sekalipun.Maka objektifikasi ilmu adalah ilmu dari orang beriman untuk seluruh manusia.contoh objektifikasi ilmu antara lain : ilmu optik dan aljabar tanpa harus dikaitkan dengan budaya Islam era Al-Haitsami dan Al-Khawarizmi atau khasiat madu tanpa harus ia tahu bahwa dalam al-Qur’an terdapat ilmu tentang khasiat madu.Akhirnya ilmu yang lahir dari teori teaoantroposentris,terintegrasi antara etika agama dan eksplorasi manusia ( terhadap alam dan lingkungannya )obyektif,independen,dan tidak memihak suatu kepentinagn tertentu,bermanfaat untuk seluruh ummat manusia apapun backgroundnya.Bukan seperti ilmu-ilmu sekuler yang mengklaim sebagai value free ternyata penuh muatan kepentingan( kepentingan dominasi ekonomi, militer,dominasi kepentingan budaya barat dan lain-lain). Sebuah posisi tengah antara sekularisme dan fundamentalisme negative (tradisionalis) agama yang jumud.Pola dan hasil kerja integralistik dengan basis moralitas keagamaan ini bisa kita jumpai misalnya dalam ilmu ekonomi syariah,ekonomi bersandar wahyu yang jauh lebih komprehensif dalam meliput elemen- elemen penting bagi kemaslahatan manusia daripada system sekuler, mampu memberikan semua elemen yang diperlukan bagi kebahagian manusia menurut tuntunan persaudaraan dan keadilan sosio ekonomi.
Kedepan pola kerja integralistik dengan basis moralitas keagamaan ini dituntut mengurai ilmu-ilmu yang lebih luas seperti psikologi,sosiologi,politik, kesehatan,lingkungan dan seterusnya.
Gambar dibawah ini mengilustrasikan pola kerja keilmuan teaoantroposentris- integralistik.( Skema jaring laba-laba )












Skema tersebut menunjukan bahwa inti (hard core) keilmuan adalah al-Qur’an dan al-Sunnah sedangkan beberapa term yang mengitarinya adalah kawasan yang disebut sabuk pengaman.Inti adalah sesuatu yang final,tidak dapat dirubah-rubah.Sedangkan wilayah sabuk pengaman masih ada kemungkinan untuk terus di tajdid dan dikuatkan.
Amin Abdullah menilai bahwa kondisi sekarang ini menunjukan bahwa radius daya jangkau keilmuan dan lebih-lebih pendidikan agama di Perguruan Tinggi Agama, khususnya IAIN dan STAIN di seluruh tanah air,hanya berfokus pada lingkar 1 dan jalur lingkar lapis 2 ( Kalam. Falsafah,Tasawuf,Hadis,Tarikh,Fiqh,Tafsir).
Untuk menjangkau lingkar yang lebih luar lagi, khususnya dalam kasus IAIN dan STAIN, pengembangan ide / proyek ini ( reintegrasi epistemology keilmuan agama dan umum) perlu lebih dikuatkan, dialog dan kerjasama antar disiplin ilmu umum dan agama makin dieratkan.Pendekatan interdisciplinary dikedepankan,interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan dikembangkan terus menerus. Yang kemudian di ejawantahkan salah satunya dengan perubahan dan metamorfosa IAIN menjadi UIN. Contoh konkritnya adalah ketika fakultas syariah misalnya,juga dimasuki mata kuliah ilmu-ilmu social, filsafat ilmu, dan budaya dengan harapan alumninya bisa survive ketika mereka berhadapan dengan realitas social kemasyarakatan dan keagamaan yang begitu kompleks. Begitu juga fakultas Tarbiyah, Dakwah, Adab dan Ushuludin. Penyusunan mata kuliah, silabi atau kurikulum dengan nafas dan etos reintegrasi epistemologi keilmuan, perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut: hadarah al-nash (penyangga budaya teks bayani), hadharah al-ilm (teknik,komunikasi,ilmu empirik) dan hadarah al-falsafah (etik). Hadarah al-nash tidak lagi bisa berdiri sendiri terlepas dari hadaral al-ilm dan hadarah al-falsafah.begitu pula sebaliknya.Tiga entitas ini tidak boleh lepas satu dari yang lain.Jika hadarah al-ilm misalnya ,tidak berhubungan dan menyapa 2 entitas yang lain maka ujungnya akan berpaling dari realitas dan cenderung tidak berpihak kepadal akhlak dan moralitas, dan begitu seterusnya. Untuk memperjelas, simak skema perjalanan epistemology dari single entity ke arah integrasi-interkoneksi dibawah ini.
Skema Single Entity


Entitas hadarah al-nash dalam lingkaran tersebut bisa saja terganti dengan hadarah al-ilm atau hadarah al-falsafah, tergantung karakter berfikir individu, karakter itu tentu dipengaruhi oleh beberapa hal yang melatarbelakanginya. Pola single entity masih menganggap bahwa keilmuan tunggal mampu mengatasi berbagai macam persoalan tanpa bantuan ilmu-ilmu yang lain . Sebuah simbol keangkuhan ilmu pengetahuan tidak ideal untuk IAIN apalagi UIN.
Skema Isolated Entities




Tampak dalam skema diatas kelihatannya peradaban manusia ini telah semakin maju karena adanya ketiga entitas keilmuan tersebut. Namun oleh masyarakat ketiganya dipisahkan sehingga berdampak pada munculnya permasalahan sosial kontemporer.


Skema Interconected Entities






Skema tersebutlah yang dicita-citakan Amin Abdullah, yang merupakan proyek keilmuan yang diemban oleh visi dan misi perubahan IAIN ke UIN.Tampak dalam skema diatas masing masing rumpun ilmu sadar akan kterbatasan-keterbatsan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama,bertegur sapa dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri.
Proyek integrasi-interkoneksi merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini yang dikarenakan terpisahnya ilmu umum dan ilmu agama dimana dipahami seakan ada jarak diantara keduanya yang tidak bisa di satukan dalam cara atau metode tertentu. Proyek integrasi-interkoneksi merupakan jawaban untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan Agama, keilmuan sosial, humaniora, kealaman dan sebagainya, tidaklah dibenarkan bersikap single entity. Masing-masing harus saling bertegur sapa antara satu sama lain.Kerjasama,saling membutuhkan,saling koreksi,dan saling keterhubungan antar disiplin keilmuan akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan dan memecahkan persoalan yang dihadapinya.
F. Relevansinya bagi Ilmu-ilmu Pendidikan (Islam)
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan,terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini,pertama apakah sumber-sumber pengetahuan itu dan bagaiman kita mengetahui,kedua apakah sifat dasar pengetahuan itu, adakah dunia yang diluar pikiran kita kalaw ada dapatkah kita menetahuinya?,ketiga apakah pengetahuan kita benar(valid)?bagaiman kita membedakan yang benar dan yang salah?
Dengan melihat pemikiran M. Amin Abdullah, kita bisa menguak dan mengungkap relevansi yang sangat erat pemikiran ini dengan ilmu pendidikan Islam sebagai berikut:
1.Peserta didik dididik untuk mempunyai dan menumbuhkan iman yang kuat, ibadah yang mantap serta akhlak yang mulia, karena dalam epistemology ini hard core keilmuan adalah al-Qur’an dan as-Sunnah apapun bidang studi yang ia tempuh dan dalami.
2.Dengan epistemology ini maka pendidikan ilmu pengetahuan tidak bercorak sekularistik, dimana ilmu-ilmu teknik misalnya dipelajari terpisah, tercerabut dari nafas agama.
3.Mendidik siswa/mahasiswa untuk menganalisis suatu persoalan secara integral dan komprehensif.
4.Dalam aplikasinya epistemology ini berkait dengan metode pengajaran, yang dimaksud metode disini adalah metodologi yang digunakan dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan,perlunya metodologi pengajaran yang menarik, interkoneksi dengan metode pembelajaran global dan memberi makna yang dalam bagi pembelajaran,khususnya dalam ruang pendidikan.
4.Mengarahkan metodologi pembelajaran menjadi menarik dan dialogis yaitu interkoneksi anatara pendidik dan peserta didik.
5.Epistemologi ini menjadikan bangunan kurikulum menjadi kaya dan komprehensif. Misalnya di Fakultas Tarbiyah mahasiswa juga mempelajari psikologi, sosiologi atau anthropologi dan di Fakultas Sains mahasiswa juga belajar Tauhid,etika, akhlak Islam dan seterusnya.
6.Dengan pemikiran ini maka jadilah IAIN yang dulu hanya mempunyai lima Fakultas Keagamaan,bermetamorfosa menjadi UIN dengan membuka Fakultas Sains Teknologi dan Fakultas Sosial Humaniora.

G. Penutup
Proyek Epistemologi Keilmuan Interkonektif-Integratif M. Amin Abdullah adalah sebuah jalan keluar, yang memungkinkan para sarjana muslim bisa memandang agamanya lebih mendalam dan menyeluruh, dengan bebagai disiplin ilmu yang ia gunakan untuk memandang Islam yang pada gilirannya mereka bisa mengurai dan memberikan solusi berbagai problematika ummat Islam kontemporer.Disana akan tercipta misalnya seorang ilmuwan yang beriman,berakhlak dan membangun atau seorang Kyai yang melek perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang akhirnya tidak mudah dibodohi.


Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pendekatan Integratif- Interkonektif, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2006)
________________, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2004)
________________,Studi Agama Normativitas atau Historisistas?, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2004)
_____________dkk,Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneks i(Sebuah Antologi), (Yogyakarta: Suka Press, 2007)
Nata, Abudin,Filsafat Pendidikan Islam,(Jakarta:Gaya Media Pratama, 2005)
Arkoun, Muhammad, Islam Kontemporer,terj.Ruslani (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005)
Chapar, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi,( Jakarta: GIP, 2000)
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
Rabu, 12 Januari 2011 | By: EurikA AlfianA

Epistemologi Muh Syahrur

Al-Qur’an sebagai teks sangat terbuka terhadap beragam pemaknaan dan penafsiran. Bagi sebagian mufasirin menafsirkan al-Qur’an berarti mengikuti makna literal dari bahasa al-Qur’an, sebagian lagi menafsirkannya dengan mengorek lebih jauh makna semantik dan hermeneutis dari ayat tersebut dengan mengaitkan konteks yang mengitari al-Qur’an pada abad ke 7.
Muhammad Shahrur adalah seorang mufasir kelahiran Syria pantas digolongkan sebagai penafsir yang berhaluan kedua. Beberapa karyanya mengundang kontroversi di dunia Islam, sehingga di beberapa negara Islam, kitab karangannya dilarang beredar. Beberapa kalangan yang antipati terhadapnya mengatakan bahwa karya Shahrur: Al-Kitab wa al-Qur’an Qira’ah al-Mu’ashirah lebih berbahaya dari karya sastra Salman Rusydi The Satanic Verses. Sebaliknya, bagi kalangan yang memujanya tak canggung menyejajarkan Shahrur dengan filosof Imanuel Kant dan disebut sebagai Martin Luthernya umat Islam. Sayang sekali, karena pemikirannya yang melenceng dari mainstream, ia dikenai tuduhan sebagai agen zionis yang akan
menghancurkan Islam. Hal itu lazim terjadi sebagai hadiah umat untuk penafsir yang ‘mau berbeda’.
Cerita yang sama juga menimpa tokoh-tokoh mujadid lainnya, seperti Fazlurrahman yang terusir dari tanah ibunya Pakistan, karena perkara halal-haram riba bank; Nasr Abu Zaid juga mendapat timpukan bertubi-tubi, bahkan ancaman nyawa yang mengkhawatirkan, karena penafsirannya dan menjadikan al-Qur’an sedemikian profan. Masih banyak tokoh yang mengalami nasib serupa termasuk:Nawal El Sadawi, Talisma Nasrin, Ulil Absar Abdallah,Farid Esack, Abed Al-Jabiri. Shahrur masih tergolong cukup beruntung dinegerinya sendiri yang masih memafhumi isi pikirannya. Dibanding para pendahulunya yang terusir dari negerinya sendiri dan terpaksa melarikan diri hijrah ke ‘negara sekular’. Hal ini tidak terlepas dari kancah perkembangan pemikiran keagamaan di Syiria—tempat di mana Shahrur dilahirkan—adalah sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim. Seperti umumnya yang dialami negara-negara Timur Tengah, Syria juga pernah menghadapi problema modernitas, khususnya benturan keagamaan dengan gerakan modernisasi Barat. Problema ini muncul karena di samping Syria pernah diinvasi oleh Perancis, juga dampak dari gerakan modernisasi Turki, hal mana Syria pernah menjadi region dari dinasti Usmaniyyah (di Turki).
Problema ini pada gilirannya, memunculkan tokoh-tokoh semisal Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Thahir al-Jaza`iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria. Reformasi al-Qasimi—bekas muridMuhammad `Abduh (1849-1905; tokoh pembaharu di Mesir)—berorientasi pada pembentengan umat Islam dari kecenderungan Tanzimat yang sekuler dan penggugahan intelektual Islam dari ortodoksi. Untuk itu, umat Islam harus dapat meramu rasionalitas, kemajuan, dan modernitas dalam bingkai agama. Dalam hal ini, al-Qasimi mencanangkan untuk menemukan kembali makna Islam yang orisinal dalam al-Qur`an dan al-Sunnah sembari menekankan ijtihad.
Gagasan al-Qasimi ini selanjutnya diteruskan oleh Thahir al-Jaza`iri beserta teman-temannya, dan kali ini gagasannya lebih mengarah kepada upaya pemajuan di bidang pendidikan. Dari situlah kemudian akan terlihat bahwa iklim berintelektual di Syria, setingkat lebih “maju” ketimbang negara-negara Muslim Arab lainnya yang masih memberlakukan hukum Islam positif secara kaku, terutama dalam hal kebebasan berekspresi. Angin segar bagi tumbuhnya suatu imperium pemikiran di negara Syria, lebih nyata dan menjanjikan ketimbang di negara-negara Arab lainnya. Sehingga lantaran itu pulalah mengapa orang-orang `liberal` seperti Shahrur dapat dengan leluasa `bernafas` di Syria setelah menelorkan ide-ide kreatifnya yang bagi banyak negara Muslim lainnya menjadi sangat forbidden, unlawful.
Muhammad Shahrur lahir di Damaskus, Syria, pada 11 Maret 1938. Sekolah dasar dan menengahnya ditempuh di kota kelahirannya pada lembaga pendidikan `Abd al-Rahman al-Kawakibi, hingga tamat pada 1957. Pada 1957 itu juga ia memperoleh beasiswa pemerintah untuk studi ilmu teknik di Moskow, dan berhasil menyelesaikannya pada 1964. Tahun berikutnya, ia bekerja sebagai dosen pada fakultas teknik Universitas Damaskus. Kemudian oleh fihak universitas, ia dikirim ke Irlandia untuk studi `pascasarjana` dalam spesialisasi mekanika tanah dan teknik fondasi pada Ireland National University. Gelar Master of Science diperoleh pada 1969, dan gelar Doktor pada 1972. Shahrur, hingga sekarang, masih tetap tercatat sebagai tenaga edukatif pada fakultas teknik sipil Universitas Damaskus tersebut dalam bidang mekanika tanah dan geologi.
Namun, Shahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara mendalam masalah-masalah keislaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun! Di bidang spesialisasinya sendiri, Shahrur sebetulnya juga termasuk menonjol, khususnya di negaranya sendiri, sebab pada 1972, bersama rekan-rekannya, ia membuka biro konsultasi teknik Dar al-Istisyarat al-Handasiyah di Damaskus, dan kemudian pada 1982-1983 kembali fihak universitas mengirimnya ke luar negeri sebagai tenaga ahli pada Al-Saud Consult, Saudi Arabia.
Shahrur juga menguasai bahasa Inggris dan Rusia. Namun, secara garis besar, karya-karya Shahrur diantaranya Al-Handasah al-Asasiyyah (3 Volume) dan Al-Handasah al-Turabiyyah 2. Bidang keislaman (semuanya diterbitkan olehAl-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus): Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994),Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), danMasyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
Di samping itu, Shahrur juga kerap menyumbangkan buah-pikirannya lewat artikel-artikel dalam seminar atau media publikasi, seperti “The Divine Text and Pluralism in Muslim Societies”, dalam, Muslim Politics Report, 14 (1997), dan “Islam and the 1995 Beijing World Conference on Woman”, dalam, Kuwaiti Newspaper, dan kemudian dipublikasikan juga dalam, Charles Kurzman (ed.), Liberal Islam: A Sourcebook (New York & Oxford: Oxford University Press, 1998).
Shahrur, dalam menelorkan ide-idenya, khususnya terkait dengan masalah keislaman, latar belakang sosiologis yang mengitarinya. Ide-idenya muncul setelah secara sadar mengamati perkembangan dalam tradisi ilmu-ilmu keislaman kontemporer. Didasarkan atas teori bahwa kebenaran ilmiah sifatnya tentatif, Shahrur lalu mencoba mengelaborasi kelemahan-kelemahan dunia Islam dewasa ini. Menurutnya, pemikiran Islam kontemporer memiliki problema-problema:pertama, Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad. Kedua, Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya. Ketiga, Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat. Keempat,Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. Kelima, Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, Tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.
Di tempat lain, Shahrur mengatakan, kajian-kajian keislaman yang ada sering melupakan dimensi universalitasnya (shalih li kull zaman wa makan). Indikasinya, konstruksi fiqh selalu berada pada posisi keberpihakan; bahwa saya sajalah yang paling benar. Formulasi fiqh seperti ini menghalangi umat Islam sendiri dari prinsip dasar syariah, yaitu keberadaan Muhammad sebagai Rasul untuk semua manusia, dan risalahnya tetap layak dan relevan untuk segala zaman dan tempat. Karakter fiqh yang sering dilupakan ini menurut Shahrur adalah hanifiyyah (elastisitas, perubahan). Celakanya, “kesalahan” ini dilegalkan dengan klaim “pintu ijtihad telah tertutup dalam teks yang qath`i dan sharih”. Bagi Shahrur:
Andaikata Islam itu cocok dan relevan untuk segala tempat dan waktu, niscaya setiap orang harus mengakui bahwa al-Kitab (al-Qur`an dalam pengertian umum, pen. itu diturunkan kepada kita yang lahir pada paruh kedua abad ke-20 ini, dan seolah-olah Nabi saw baru saja meninggal dan telah menyampaikannya pada kita.
Karena itulah Shahrur sangat bersikeras bahwa tiap-tiap generasi mampu memberikan interpretasi al-Qur`an yang memancar dari realitas yang muncul dan sesuai dengan kondisi di mana mereka hidup. Hasil interpretasi al-Qur`an generasi awal tidaklah mengikat masyarakat Muslim modern. Bahkan lebih jauh, kesalahan utama fiqh Islam dan tafsir al-Qur`an konvensional sekarang ini bersumber dari kesalahan metodologi yang tidak memperhatikan karakteristik dan fleksibilitas pengertian teks-teks Kitab Suci, sehingga membebani punggung umat dan tidak sesuai lagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan serta situasi dan kondisi abad ke-20.
Shahrur yakin bahwa Muslim modern, karena kemajuan budaya dan ilmu pengetahuan mempunyai perangkat pemahaman metodologis yang lebih baik dibandingkan para pendahulunya (abad ke-7 M) dalam memahami pesan-pesan Allah (al-Qur`an) yang disampaikan kepada Rasul-Nya. Sebagai konsekuensi dari keyakinan ini, Shahrur, ketika menerapkan model pembacaan al-Qur`annya, memilih kamus Maqayis al-Lughah-nya Ibn Faris—pakar ilmu modern (linguistik)—sebagai referensi utama dalam mencari perbedaan makna kata-kata yang dikajinya.
Sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru dalam Hermeneutika Shahrur, ungkap Nasr Abu Zaid dalam pengantar buku Hermeneutika al-Qur’an, (terjemahan dariAl-Kitab wa al-Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah) karena memang secara semantis hermenetis metodologi pembacaan Shahrur telah ditemukan oleh pendahulunya, tetapi bagi saya ada sesuatu yang baru dalam pembacaan teks ala Shahrur. Misalnya dalam mengkritisi matan hadis beliau tidak sungkan-sungkan menggunakan ilmu statistik, fisika, matematika. Ia telah keluar dari pembacaan ala konvensional yang telah terumus dalam jarh wa ta’dil atau koridor ulum al-hadis.
Pendirian shahrur tentang epistimologi pengetahuan seperti dalam ungkapannya… sesungguhnya sumber pengetahuan manusia adalah alam materi yang berada di luar eksistensi manusia itu sendiri. Artinya, pengetahuan yang sesungguhnya tidak bersifat khayalan, tidak merupakan abstraksi dari gambaran-gambaran purbasangka, tetapi hal-hal yang sesuai dengan realitas, sebab wujud segala sesuatu yang berada di luar kesadaran manusia itu adalah kunci kebenarannya.
Karena kebenaran dalam pandangan Shahrur adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik yang berada di luar eksistensi manusia, maka pengetahuan manusia tidaklah independen sebagaimana yang ada dalam persepsi pikiran yang tidak sesuai dengan realitas. Menurut Shahrur, pemahaman seperti ini memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Nahl: 78. Dengan landasan ini pula, maka kajian filsafat Islam kontemporer harus didasarkan pada pengetahuan rasional ilmiah sebagai hasil dari cerapan inderawi (empiris; pendengaran dan penglihatan) manusia dalam rangka memperoleh pengetahuan teoretis murni (al-ma`rifah al-nadzriyyah al-mujarradah). Shahrur tidak mengakui keunggulan pengetahuan intuitif (isyraqiyyah-ilhamiyyah) yang dianut oleh ahl al-kasyf atau ahl Allah, sebab realitas obyektif bagi Shahrur, adalah kebenaran yang sesuai dengan realitas empirik.
Dengan demikian, pengetahuan yang dihasilkan manusia, berawal dari proses berpikir yang dibatasi oleh cerapan inderawi, lalu meningkat pada pikiran yang abstrak. Titik pengetahuan manusia adalah alam inderawi yang tidak lain adalah alam material yang kemudian meluas hingga mencakup apa saja yang diketahui oleh manusia melalui akalnya. Konsepsi Shahrur tentang ini pada gilirannya berimplikasi pada keyakinan bahwa al-Qur`an tidak bertentangan dengan filsafat yang merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Allah sangat menjunjung kedudukan akal manusia, dan karenanya tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal, serta tidak ada pertentangan antara wahyu dan realitas. Dari sini pun Shahrur meyakini bahwa semua yang terkandung dalam wahyu itu menerima pemahaman yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan manusia.
Adapun terhadap alam syahadah atau alam ghaib, pada dasarnya adalah bersifat materi. Alam syahadah adalah materi yang mampu diketahui manusia melalui inderanya dan kemudian mentransformasikannya ke dalam nalar rasionalitasnya, sedang alam ghaib adalah alam materi yang belum mampu diketahui manusia karena tingkat perkembangan keilmuan yang belum mampu menggapainya. Singkatnya, pengetahuan dalam pandangan Shahrur hanya dapat diperoleh jika didasarkan atas materialitas, realitas empirik, dan bukan melalui tradisi mistik. Maka dari sini dapat disimpulkan bahwa epistemologi pengetahuan Shahrur dapat digolongkan ke dalam materialisme-empiris.
Sketsa epistemologis di atas mengesankan bahwa betapa Shahrur sebagai seorang saintis, tipikal keilmuannya yang mengedepankan sifat-sifat empirik, rasional, dan ilmiah sangat kental mewarnai landasan metodologisnya. Hal ini pulalah yang kemudian menjadi pijakan teoretiknya dalam mengkaji teks suci al-Qur`an. Metode dan pendekatan yang digunakan Shahrur dalam mengkaji al-Qur`an secara umum didasarkan atas teori-teori yang terdapat dalam filsafat bahasa (linguistik). Tentu saja, ini berawal dari pertemuan Shahrur dengan Ja`far Dik al-Bab yang kemudian memperkenalkan formulasi lingusitik Abu `Ali al-Farisi. Dalam formulasi ini, terangkum dua dasar teoretis dari dua soko-guru utama: Pertama, Teori linguistik Ibn Jinni dalam Khashaish-nya, dan Kedua, Teori linguistik Imam Jurjani dalam Dala`il al-I`jaz. Linguistik Ibn Jinni didasarkan atas teori-teori: a. Adanya struktur bahasa atau kalimat, termasuk suara sebagai sumber bahasa, b. Bahasa tidak tercipta dalam satu waktu melainkan berkembang secara evolutif, c. Bahasa senantiasa mengikuti sistematika atau aturan strukturnya, dan d. Perpautan antara bahasa, suara, dengan kondisi psikologis penggunanya. Sedang teori-teori linguistik dari Imam Jurjani, antara lain: a. Struktur bahasa dan fungsi transmisinya, dan b. Keterkaitan antara bahasa dengan pemikiran.
Bila kedua akumulasi teori ini dikombinasikan, hasilnya adalah: a. Bahasa mempunyai struktur, b. Bahasa merupakan penampakan fenomena sosial, dan c. Keterkaitan antara bahasa dan pemikiran. Tetapi, formulasi linguistik seperti ini semata belum cukup bagi Shahrur untuk menopang pemikirannya dalam mengkaji teks-teks al-Qur`an. Karena itu, sebagaimana juga memperoleh dukungan dari Mu`jam Maqayis al-Lughah-nya al-Farisi, yang notabene adalah teori yang berasal dari al-Farisi sendiri yang diajarkan oleh gurunya Tsa`lab, Shahrur menemukan asumsi dasarnya yaitu bahwa dalam bahasa Arab tidak ditemukan adanya sinonim (muradif). Dari situlah kemudian Shahrur membuat pembatasan kaedah dasar-dasar metodologi linguistiknya:
Pertama, dalam bahasa tidak ada sinonim, bahkan boleh jadi dalam satu kata memiliki makna yang banyak. Apa yang yang selama ini diyakini sebagai sinonim tidak lebih dari sebuah kepalsuan atau muslihat (khud`ah). Kedua, Kata adalah ekspresi dari makna, Ketiga, Yang paling penting dari bahasa adalah makna. Keempat, Bahasa apa pun tidak akan dapat dipahami bila tidak ditemukan adanya kesesuaian bahasa itu dengan rasio dan realitas obyektif.
Dengan dasar metodologis seperti ini, Shahrur lalu mengkaji makna-makna yang terkandung dalam teks (ayat-ayat) al-Qur`an melalui metode yang disebutnya dengan tartil. Perangkat metode ini menurutnya, memperoleh justifikasi dari Q.S. al-Muzammil: 4 (…Dan bacalah al-Qur`an itu secara tartil). Berbeda dari ulama pada umumnya yang menafsirkan tartil dengan membaca (tilawah), tartil, yang berasal dari akar kata al-ratl yang artinya “barisan pada urutan tertentu”, ditafsirkan Shahrur dengan “mengambil ayat-ayat yang berkaitan dengan satu topik dan mengurutkan sebagiannya di belakang sebagian yang lain”. Metode ini bagi Shahrur, perlu dilakukan sebab banyak topik tertentu seperti penciptaan alam, penciptaan manusia, dan kisah para Nabi, disebutkan dalam al-Qur`an secara berserakan di berbagai surat. Maka agar memperoleh gambaran komprehensif dan afirmatif tentang suatu topik, ayat-ayat berserakan itu harus dipertemukan.
Selanjutnya, dalam mempertemukan ayat-ayat yang mungkin berserakan itu, dengan didasarkan bahwa kata adalah ekspresi dari makna, dan yang terpenting dari suatu bahasa adalah maknanya, maka Shahrur menggunakan pendekatan semantik dengan analisa paradigmatis dan sintagmatis. Semantik adalah “ilmu yang berhubungan dengan fenomena Makna dalam pengertian yang paling luas dari kata. Sedemikian luas, hingga hampir apa saja yang mungkin dianggap mempunyai makna dapat dinyatakan sebagai obyek semantik”. Makna dalam pengertian ini dilengkapi dengan persoalan-persoalan penting para pemikir dari berbagai latar belakang keilmuan seperti sosiologi, antropologi, psikologi, logika simbolik, matematik, rekayasa elektronik, dan lain-lain. Di samping itu sebagai studi makna, semantik senantiasa berkembang. Semantik Shahrur, dalam kaitan ini, tentu saja ditopang dan dikembangkan sesuai dengan minat, kecenderungan, dan latar belakang keilmuannya sendiri.
Adapun analisa paradigmatis yang dimaksud ialah suatu analisa pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep (makna) suatu simbol (kata) dengan cara mengaitkannya dengan konsep-konsep dari simbol-simbol lain yang mendekati dan yang berlawanan. Sedangkan analisa sintagmatis adalah analisa yang bertujuan untuk menentukan mana makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, di mana setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Dalam meramu semantik dengan dua model analisanya ini Shahrur kerap kali menggunakan metafora dan analogi yang diambilnya dari bidang keahlian dasarnya, ilmu teknik dan sains, terutama sekali adalah penggunaan analisa matematik (al-tahlili al-riyadhi) dan fisika.
Dengan kerangka metodologis Shahrur tersebut di atas, Shahrur memformulasikan teori baru dalam membaca al-Qur`an. Sebelumnya perlu dikemukakan dahulu konsepsinya tentang peristilahan di seputar al-Qur`an itu sendiri. Al-Qur`an, pada umumnya didefinisikan sebagai “Kalam Allah yang bermukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, ditulis dalam mushaf-mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah”. Al-Qur`an dipahami memiliki beberapa nama yang sesuai dengan `watak` yang dibawakannya. Umpamanya, disebut al-Qur`an lantaran ia adalah bacaan yang mulia; dinamakan al-Furqan karena fungsinya adalah sebagai pembeda (benar-salah, kafir-mukmin, dll.); dan disebut al-Kitab karena merupakan kumpulan huruf-huruf yang memuat banyak hal (kisah, berita, hukum, dan lainnya). Terhadap formulasi-formulasi seperti ini, Shahrur mempunyai konsepsi yang sama sekali berbeda.
Bagi Shahrur, term al-Qur`an, al-Kitab, al-Furqan, al-Zikr, dan istilah lainnya memiliki arti sendiri-sendiri. Mushaf Usmani yang selama ini populer dengan sebutan al-Qur`an, oleh Shahrur disebut dengan al-Kitab. Term al-Kitab berasal dari akar kataba, artinya mengumpulkan beberapa hal satu sama lain dengan tujuan untuk memperoleh satu makna yang berfaedah atau untuk memperoleh satu topik tertentu guna mendapatkan satu pemahaman yang sempurna. Bila muncul dalam bentuk ma`rifah (al-Kitab), berarti “kumpulan dari berbagai topik yang diwahyukan Allah kepada Muhammad saw dalam bentuk teks (nash), dan ayat-ayat mushaf yang tersusun dalam kumpulan itu dari awal surah al-Fatihah hingga akhir surah al-Nas. Sedangkan al-Qur`an hanya merupakan bagian dari mushaf, yang merupakan kumpulan sistem peraturan obyektif bagi eksistensi dan realitas perilaku dan peristiwa-peristiwa kemanusiaan. Adapun al-Zikr adalah proses terjadinya al-Qur`an (dari Lauh Mahfudz) ke bentuk bahasa manusia yang diucapkan dalam bahasa Arab, sedang al-Furqan adalah Sepuluh Perintah (The Ten Commandments). Definisi-defenisi seperti ini diperoleh setelah Shahrur melakukan kajian semantik dengan analisa paradigmo-sintagmatisnya.
Dalam membaca al-Qur`an (al-Qur`an dalam pengertian umum) tersebut, Shahrur membedakan antara realitas obyektif (al-haqiqah al-maudhu`i) dan realitas subyektif (al-haqiqah al-dzatiyyah). Realitas obyektif adalah hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia sehingga harus diterima begitu saja tanpa bisa dibantah dan dirubah, sedangkan realitas subyektif adalah hal-hal yang bersifat memberikan alternasi-alternasi. Dalam kaitan ini, Shahrur membedakan antara al-Qur`an dan umm al-Kitab. Al-Qur`an berusaha untuk membedakan yang haq dan bathil sedangkan umm al-Kitab berusaha untuk membedakan antara yang halal dan yang haram. Dengan demikian, al-Qur`an bersifat obyektif, sedangkan umm al-Kitab bersifat subyektif.
Al-Qur`an dalam pemahaman Shahrur direpresentasikan oleh al-nubuwwah, sementara umm al-Kitab direpresentasikan oleh al-risalah. Konsep al-nubuwwah, dengan demikian, berusaha untuk membedakan antara yang haq dan yang bathil, sedangkan al-risalah berupaya untuk membedakan antara yang halal dan yang haram, sebab ia hanyalah merupakan norma-norma perilaku yang boleh dikerjakan atau juga ditinggalkan.
Shahrur dalam hal ini sangat dipengaruhi oleh epistemologi pengetahuannya yang realistik-empirik; bahwa realitas obyektif dan seluruh tatanannya merupakan realitas yang berada di luar kesadaran dan kemampuan manusia. Matahari adalah realitas, diterima atau pun tidak, diketahui atau pun tidak, sehingga dikatakan bahwa realitas matahari adalah sesuatu yang haq. Demikian pula halnya dengan kematian, hari kiamat, dan kebangkitan, dan hal-hal obyektif lainnya. Al-Qur`an juga adalah realitas obyektif yang berada di luar kesadaran manusia. Ada pun cara untuk mengetahui realitas obyektif ini menurut Shahrur, adalah dengan mengikuti kaidah-kaidah pembahasan ilmiah obyektif, terutama, filsafat, kosmologi, fisika, kimia, biologi, sejarah, dan ilmu-ilmu obyektif serta ilmu alam yang lain. Sementara al-risalah, bagi Shahrur, adalah bersifat subyektif, dalam arti bahwa manusia masih berhak dan mampu untuk melakukan pilihan. Umpamanya, perintah agar melakukan shalat, zakat, dan haji, masih memunculkan kemungkinan untuk memilihnya, bisa diterima atau malah dilanggar. Sehingga demikian ini tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang haq, yang berarti ia bersifat subyektif. Dalam kerangka teoretik seperti itulah Shahrur lalu membedakan kedudukan antara Muhammad sebagai seorang nabi yang membawa konsep nubuwwah dan Muhammad sebagai musyarri` yang membawa konsep risalah.
Konsekwensi dari metodologi dan cara pembacaan al-Qur’an model Shahrur telah membuahkan teori batas (hudud). Terma hudud ini sangat berarti untuk memberikan jalan kepada kebuntuan perkembangan Ushul Fiqih. Ia menjelaskan bahwa dalam hukum tuhan terdapat batas-batas yang telah di tetapkan, yakni antara batas minimal dan batas maksimum(al-hadd al-a`lâ). Artinya, hukum-hukum Allah diposisikan bersifat elastis, sepanjang tetap berada di antara batas minimum dan maksimum yang telah ditentukan. Wilayah ijitihad manusia, menurut Syahrur berada di antara batas minimum dan maksimum itu tadi. Elastisitas dan fleksibilitas hukum Allah tadi dapat digambarkan seperti posisi pemain bola yang bebas bermain bola, asalkan tetap berada pada garis-garis lapangan yang telah ada. Pendek kata, selagi seorang muslim masih berada dalam wilayah hudûd-u-lLâh(ketentuan Allah antara batas minimum dan maksimum tadi), maka dia tidak dapat dianggap keluar dari hukum Allah. Contohnya: ketentuan potong tangan bagi pencuri (Q.S. al-Mâ’idah: 38).
Menurut Syahrur, potong tangan merupakan sanksi maksimum (al-hadd al-a`lâ) bagi seorang pencuri. Batas minimumnya adalah dimaafkan (Q.S. al-Mâ’idah: 34). Dari sini Syahrur berkesimpulan, seorang hakim dapat melakukan ijtihad dengan memperhatikan kondisi objektif si pencuri. Sang hakim tidak perlu serta merta harus memberi sanksi potong tangan dengan dalih menegakkan syariat, tapi dapat berijtihad di antara batasan maksimum dan minimum tadi, misalnya dengan sanksi penjara. Kalau kasus yang dihadapi adalah pejabat yang korup, sanksi dipecat dari jabatannya juga masih berada dalam dua batasan tadi. Syahrur beralasan, esensi sebuah sanksi hukum adalah membuat jera (kapok) si pelanggar hukum. Oleh sebab itu, negara atau pemerintahan yang tidak atau belum menerapkan sanksi potong tangan, rajam, qisas, dan beberapa sanksi hukum yang tertera di dalam Alquran maupun hadis, tidak bisa diklaim sebagai negara atau pemerintahan yang kafir sebagaimana tuduhan kalangan fundamentalis.
Dalam kasus pakaian perempuan (libâs al-mar’ah), Syahrur berpendapat bahwa batas minimum pakaian perempuan adalahsatr al-juyûb (Q.S al-Nur: 31) atau menutup bagian dada (payudara), kemaluan, dan tidak bertelanjang bulat. Batas maksimumnya adalah menutup sekujur anggota tubuh, kecuali dua telapak tangan dan wajah. Dengan pendekatan ini, perempuan yang tidak memakai jilbab pada umumnya (termasuk model “jilbab gaul” yang kini sedang ngetren) sesungguhnya telah memenuhi ketentuan Allah, sebab masih berada pada wilayah di antara batas minimum dan maksimum tadi. Sebaliknya, perempuan yang menutup sekujur tubuhnya (termasuk wajah, dengan cadar misalnya) dianggap telah keluar dari hudûd-u-lLâh (batasan-batasan Allah), karena melebihi batas maksimum yang ditentukan Alquran. Artinya, perempuan yang mengenakan cadar dan menutup sekujur tubuhnya –dengan pendekatan ini– malah sudah “tidak islami”.
Ketiga, dengan teori limitnya, Syahrur telah melakukan dekonstruksi dan rekonstruksi terhadap metodologi ijtihad hukum, utamanya terhadap ayat-ayat hudûd yang selama ini diklaim sebagai ayat-ayat muhkamât yang bersifat pasti dan hanya mengandung penafsiran tunggal. Bagi Syahrur, ayat-ayat muhkamât juga dapat dipahami secara dinamis dan memiliki alternatif penafsiran, sebab Alquran diturunkan untuk merespon persoalan manusia dan berlaku sepanjang masa. Semua ayat Alquran tidak saja dapat dipahami, bahkan bagi Syahrur dapat dipahami secara pluralistik, sebab makna suatu ayat itu dapat berkembang, tidak harus sesuai dengan makna (pengertian) ketika ayat itu turun. Walhasil, penafsiran suatu ayat sesungguhnya bersifat relatif dan nisbi, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan kata lain, melalui teori limit, Syahrur ingin melakukan pembacaan ayat-ayat muhkamât secara produktif dan prospektif (qirâ’ah muntijah), bukan pembacaan repetitif dan restrospektif (qirâ’ah mutakarrirah).
Keempat, dengan teori limit, Syahrur ingin membuktikan bahwa ajaran Islam benar-benar merupakan ajaran yang relevan untuk tiap ruang dan waktu. Syahrur berasumsi, kelebihan risalah Islam adalah bahwa di dalamnya terkandung dua aspek gerak, yaitu gerak konstan (istiqâmah) serta gerak dinamis dan lentur (hanîfiiyah). Nah, sifat kelenturan Islam ini berada dalam bingkai teori limit yang oleh Syahrur dipahami sebagai the bounds or restrictions that God has placed on mans freedom of action (batasan yang telah ditempatkan Tuhan pada wilayah kebebasan manusia).
Kerangka analisis teori limit yang berbasis dua karakter utama ajaran Islam ini (aspek yang konstan dan yang lentur) akan membuat Islam tetap survive sepanjang zaman. Dua hal yang beroposisi secara biner itu kemudian melahirkan gerak dialektik (al-harakah al-jadaliyah) dalam pengetahuan dan ilmu-ilmu sosial. Dari situlah diharapkan lahir paradigma baru dalam pembuatan legislasi hukum Islam(tasyrî’), sehingga memungkinkan terciptanya dialektika dan perkembangan sistem hukum Islam secara terus-menerus.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO
Sabtu, 08 Januari 2011 | By: EurikA AlfianA
Metode Penelitian Gender Amina Wadud (Inside The Gender Jihad)
Pendahuluan
Amina Wadud ialah seorang wanita, feminis, dan cendekiawan yang penuh kontroversi. Beliau memperoleh Ijazah Doktor Falsafah dari Universiti Michigan dan tekun mempelajari Bahasa Arab di Universiti Amerika (American University), Universiti Kaherah, dan Universiti Al-Azhar di Kaherah, Mesir. Amina Wadud sebagai Profesor Madya Studi Islam (Associate Professor of Islamic Studies) di Universiti Commonwealth Virginia (Virginia Commonwealth University, VCU) di Richmond, Virginia, Amerika Serikat.
Kegalauan pemikiran Amina Wadud timbul karena fenomena marjinalisasi dan ketidakadilan peran perempuan dalam kehidupan sosial dan kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan. Timbulnya budaya patriarki, struktur sosial masyarakat, sehingga mempengaruhi penafsiran dari ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan. Kegalauan Amina Wadud juga belum berhenti dalam penafsiran, tetapi juga prakteknya, pengalamannya dalam studi di Barat (Amerika Serikat). Amina wadud tertantang dalam penelitian dan mengajar di Amerika Serikat.
Amina Wadud menelaah kajian gender dengan menggunakan metode untuk pemahaman yang komprehenship dari ayat-ayat al-Qur’an tentang perempuan, menetralisir kesubjektifisan penafsiran dan sekaligus kewaspadaan penafsiran, siapa yang menafsirkan dan bagaimana penafsirannya. Terinpirasi dari metode hermeneutik dan penafsiran tematik Fazlur Rahman, analsis historis dari Fatimah Mernisi, kajian fenomenologinya Laila Ahmad, Martin Buber, Abou El Fadl, dan beberapa pemikir lainnya, Amina Wadud menyajikan analisa filologi, hermenetik dan beberapa pemetakan pemikiran tafsir disertai dengan kontektualisasi ayat. Wadud menganalisis teks ayat-ayat al-Qur’an, dengan memusatkan pada susunan bahasa (semantik) al-Qur’an yang bermakna ganda dengan tujuan mengambarkan maksud teks secara komprehensip tentang perempuan. Prinsip umum (universalitas) al-Qur’an, keadilan, kesetaraan martabat manusia menjadi landasan Wadud dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini.
Amina Wadud dalam kajiannya dengan mengungkapkan masalah ketimpangan pemaknaan atau penafsiran ayat-ayat perempuan dan produk fiqh. Dilanjutkan dengan penjelasan fenomena relasi fungsional laki-laki dan perempuan dengan budaya partiarki yang berpengaruh pada penafsiran. Kemudian dalam mengkaji atau menganalisis dan memahami sebuah ayat-ayat tentang perempuan, dengan kontek turunnya ayat (histories) yang ada dalam rangka mencari pemahaman yang tepat (komprehenship).

Problematika (Kegelisahan Akademik)
1. Fenomena termarjinalisasinya perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Interpretasi tentang perempuan dalam al-Qur’an yang ditafsirkan oleh pria (mufasir) beserta pengalaman dan latar belakang sosial mereka yang dinilai telah menyudutkan perempuan dalam perannya ditengah publik dan dirasa tidak ada keadilan paradigma.
3. Model penafsiran dari para mufasir, selanjutnya kepada produk fiqh, term-term dan perlakuan yang tidak adil terhadap perempuan. Banyak ayat-ayat yang ditafsirkan tidak mengandung prinsip ke universalitas Islam dan konsep keadilan/ kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu perhatian Amina Wadud sangat tinggi dalam hal terminologi atau pendefinisian suatu objek.
4. Amina wadud juga mempunyai kegelisahan tentang tantangan dalam belajar dan mengajar dalam kajian wanita muslim, kegelisahan amina wadud tercermin dengan pengalamannya meneliti dan mengajar di akademi U.S (Amerika). Daerah Amerika utara tempat terbesar dalam kajian gender termasuk wanita dan agama.
Al-Qur’an sebagai pedoman universal, tidak pernah terikat ruang dan waktu, latar belakang daerah ataupun jenis kelamin yang selanjutnya bernilai abadi dan tidak membedakan jenis kelamin, untuk itu Wadud berusaha menghadirkan pandangan ayat-ayat yang netral tentang gender.
Amina wadud ingin membangkitkan peran perempuan dalam kesetaraan dalam relasi gender, dengan berprinsip pada keadilan sosial dan kesetaraan gender. Realitas dalam Islam menunjukan kenapa peran perempuan terbelakang dari pada laki-laki (patriarki). Dia juga ingin menyelamatkan perempuan dari konservatifme Islam. Menurut Amina Wadud banyak hal yang menyebabkan penafsiran miring tentang perempuan; kultur masyarakat, kesalahan paradigma, latar belakang para penafsir yang kebanyakan dari laki-laki, oleh karena itu ayat tentang perempuan hendaklah ditafsirkan oleh perempuan sendiri berdasarkan persepsi, pengalaman dan pemikiran mereka.
Pentingnya Topik Penelitian
Topik penelitian ini penting untuk menjelaskan tentang pemahaman fenomena gender yang terkait dengan perlakuan dan peran perempuan di tengah masyarakat dalam segala aspek kehidupannya. Usaha Amina Wadud adalah terobosan memecah ketidakadilan penafsiran tentang perempuan. Upaya ini penting untuk menghilangkan ketimpangan relasi gender, laki-laki dengan perempuan dikalangan umat Islam. Ketimpangan inilah yang membelenggu potensi yang luar biasa yang dimiliki perempuan.
Penelitian ini menjadi unik karena Amina Wadud sendiri merasa punya keterbatasan pengertahuan tafsir al-Qur’an yang menyangkut perempuan. Ia menyadari bahwa ketertarikan para intelektual Islam terhadap persoalan perempuan bukan hal yang baru, hanya saja ia berupaya untuk menjawab persoalan tentang perempuan dengan bersumber pada al-Qur’an an sich ternyata nyaris tidak dilakukan oleh intelektual Islam sejak 14 abad yang lalu. Apalagi di era kritik pasca modern saat ini ketika setiap landasan ilmu pengetahuan ditantang untuk bergerak melampaui nilai-nilai tertentu diperlukan suatu pemahaman terhadap politik wacana gender dalam kontek Islam secara global.
Hasil Penelitian Terdahulu
AminaWadud menelaah penelitian-penelitian terdahulu, diantaranya; karya-karya Fazlur Rahman, Fatimah Mernisi, Leila Ahmad, Martin Buber, Khaled Abou El Fadl, Majid Fakhry dan mengabil beberapa tokoh yang lainya untuk memperkuat metodologi dalam menganalisis problem ini.
1. Fazlur Rahman telah banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran Amina Wadud dalam penafsiran, terutama metode penafsiran yang holistik yang menekankan telaah aspek normatif dari ajaran Islam. Teori holistik menawarkan metode pemahaman al-Qur’an yang menyatu (coherent) disebut sebagai metode hermeneutik (hermeneutik theory). Wadud mengadopsi metode Rahman metode tematik ayat yang bertujuan untuk mengurangi subjektifitas penafsir.
2. Khaled Abou El Fadl, menawarkan konsep outoritas penafsiran (fatwa), dia berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena merasa ini dari Tuhan, outoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam.
3. Fatimah Mernisi, yang telah menawarkan pengkajian tentang ayat-ayat al-Qur’an yang lebih difokuskan pada aspek kultur-historis, dari sinilah dianalisa bagaimana kontek ayat tersebut turun dan bagaimana kondisi, kultur masyarakat pada suatu daerah yang selanjutnya akan berbeda penafsirannya dari daerah satu dengan yang lainya, misalnya nalar orang Arab dengan pengaruh budaya yang ada akan berpengaruh pada praktek ritual dalam ibadah (Islam). Tema kajiannya adalah tentang feminisme.
4. Leila Ahmad, menyajikan hal yang hampir sama dengan Fatimah Mernisi, focus perhatian Leila Ahmad pada fenomena kelompok pemahaman muslim, selanjutnya tertarik pada fenomena ritual dan culture masyarakat yang berpengaruh pada perlakuan pada peran perempuan. Ada perbedaan nalar pemahaman keberagamaan dari masing-masing daerah karena latar belakang budayanya, misalnya Islam di Timur Tengah dengan Islam di Barat sangat berbeda penerapannya, hal ini di karenakan adanya interaksi Islam dengan budaya lokal.
5. Marten Buber dengan I-Thou dan I-It. Dalam meneliti sebuah agama tidak bisa menggunakan metode ilmu-ilmu alam untuk mendapatkan kebenaran ataupun objektivitas. Ada sistem kepercayaan yang harus dilihat secara menyeluruh (I-Thou), relasi tuhan-individu dan masyarakat adalah suatu sistem yang harus dikaji secara holistik, kajian terhadap agama tidak sekedar terfokus pada simbol, kitab suci, lembaga keagamaan, hal itu tidak akan membawa seorang peneliti kepada pemahaman tentang suatu agama, itulah I-Thou. Tahap I-It di dalam kajian agama hanya menghasilkan kumpulan data mengenai aspek luar dari agama, agama hanya sebagai objek (I-It).
6. Majid Fakhry dengan teori etiknya. Dia mendasarkan segala permasalahan kepada pesan moral dari al-Qur’an. Walau pendefinisian etika dari masing individu dengan latar belakang budaya akan berbeda, tetapi ada prinsip dasar tentang itu, yaitu kesatuan nilai moral yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini bisa kita lihat pada konsep taqwa, amar ma’ruf nahi mungkar, keadilan dan lain sebagainya.
7. Shulamit Reinharz. Patokan masih ortodox, penelitian dalam praktek dalam pluralitas. “Women’s way of Knowing” or “ Feminist way of doing research” and “Colective Voices”.
8. Azza Karam. Menggambarkan tentang kontradiksi antara wanita sekuler dan aktivis islam. Melihat sisi kultural.
9. Nikki keddie. Adanya hubungan strata antara Sekuler dan strategi islam dan ideologi.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan Amina Wadud adalah dengan menggunakan pendekatan linguistik-Hermeneutik, dengan analisa filologi atau content analysis secara holistik. Lebih lengkapnya, Wadud menggunakan teori double movement dan pendekatan Tematik dari Fazlur Rahman untuk menjelaskan ayat-ayat tentang perempuan. Selain menggunakan hermeneutik gerakan ganda, Wadud juga menggunakan metode tafsir al-Qur’an bil al-Qur’an untuk menganalisa semua ayat-ayat yang memberikan petunjuk khusus bagi perempuan, baik yang disebutkan secara terpisah ataupun disebutkan bersamaan dengan laki-laki. Ayat-ayat yang ada dianalisis pada; konteknya, di dalam kontek pembahasan topik yang sama dengan al-Qur’an, tatanan bahasa yang sama dari stuktur sintaksis yang digunakan di seluruh bagaian ayat, sikap yang benar adalah yang berpegang teguh pada prinsip-prinsip universalitas al-Qur’an (Islam).
Wadud menganalisis teks ayat-ayat al-Qur’an, dengan memusatkan pada susunan bahasa al-Qur’an yang bermakna ganda. Prinsip umum al-Qur’an menjadi landasan Wadud dalam rangka mendapatkan pandangan hidup yang cocok bagi perempuan modern saat ini adalah membangun relasi fungsional antara laki-laki dan perempuan dalam interaksi sosial. Wadud membahas juga mengenai konsep diri manusia dan stuktur budaya dominan dari suatu masyarakat, budaya patriarki sebagai suatu struktur dominan yang sangat berpengaruh terhadap konstruksi relasi gender di masyarakat.
Dalam membangun relasi fungsional dalam kehidupan masyarakat, Wadud mengembangkan konsep diri (potensi individu) demi kemajuan hidup manusia. Kesetaraan individu merupakan kunci dalam mencapai kemajuan tersebut. Hanya saja budaya sebagai struktur dominan justru melahirkan relasi gender yang jauh dari spirit egalitarianisme.
Bagi Wadud ada beberapa aspek penting dalam menentukan relasi gender dalam kehidupan sosial. Yakni pertama, perspektif yang lebih demokratis mengenai hak dan kewajiban individu baik laki-laki ataupun perempuan di dalam masyarakat. Kedua, dalam pembagian peran tersebut hendaknya tidak keluar dari prinsip umum al-Qur’an tentang keadilan sosial, pengahargaan atau martabat manusia, persamaan hak di hadapan Allah, dan keharmonisan dengan alam. Ketiga, relasi gender hendaknya secara gradual turut membentuk etika dan moralitas bagi manusia. Ketiga aspek relasi gender ini menadi prinsip utama sebuah ‘relasi fungsional’ yang tujuannya tidak lain adalah merealisasikan misi penciptaan manusia di dunia, yaitu khalifah fi al-ardi.
Aminan Wadud, memberikan kewaspadaan kita akan problem semantik “(basic meaning and relation meaning) “, tentang term-term yang ada, definisi, atau intepretasi. Selanjutnya dia mempertanyakan siapa yang berhak mempunyai otoritas intepretasi terhadap makna gender?. Abou El Fadl memberikan gambaran bahwa akan beragam arti/definisi dari suatu objek, perlu diperhatikan adanya faktor politik, budaya, latar belakang keluarga, pendidikan dan lain sebagainya yang mempengaruhi seseorang dalam menginterpretasikan suatu objek kajian. Fadl berpendapat tidak ada yang berhak mengklaim bahwa interpretasinya itulah yang paling benar dan paten tidak bisa dirubah karena ini dari Tuhan, outoritas intepretasi yang paling benar adalah dari Allah, bukan dari para ulama’, penafsir yang seolah-olah itulah dari Tuhan dan itulah Islam. Dari sinilah Wadud ingin membongkar paradigma syari’ah dan fiqh yang dinilai menyudutkan perempuan. Wadud optimis semangat universalitas al-Qur’an/Islam dapat merubahnya
Dalam rangka mengeluarkan perempuan dari kekangan endrosentrisme (nilai dominan yang didasarkan pada norma dan cara pandang laki-laki), Wadud melanjutkan pemikiran yang memfokuskan kajian lebih ke aspek kultur, tidak sama antara Islam dengan Arab. Harus bisa dpiisahkan antara budaya Arab dan konsep ajaran Islam, Islam tidak sama dengan Arab. Penafsiran terhadap relasi laki-laki dan perempuan banyak dipengaruhi oleh tradisi masyarakat dan celakanya hal itu dikira bahwa itulah Islam. Islam punya pedoman hidup yang bernilai Universal, jangan melihat Islam secara partikular sesuai dengan nalar masin-masing suku atau bangsa. Laila Ahmad menambahkan dalam pemahaman terhadap Islam, kita harus melihat dan memetakan bagaimana kultur berintraksi dengan agama, yang berakibat pemahaman yang berbeda pula.
Menurut Wadud, Islam adalah pilihan untuk menyerah kepada Allah (engaged surender), kita punya kesadaran untuk mengikutinya, manusia bersifat aktif untuk memilih, mengikutinya atau membangkang atau yang lainnya. Kesadaran untuk mengikuti kehendak (Abdullah), bagaimana kita mengikuti syari’ah (kehendak Tuhan), sedangkan syariah adalah produk penafsiran, maka kita harus hati-hati memahaminya. Outoritas untuk memilih adalah kesadaran penuh diri untuk menjalankan pesan-pesan moral secara universal dalam Islam, dan semuanya berkewajiban untuk itu jika mereka mengakui bahwa mereka adalah Islam.
Semangat kesetaraan menurut Wadud, tercermin pada paradigma Tauhid yaitu martabat laki-laki dan perempuan adalah sama dimata Tuhan. Tauhid membuka prinsip kesetaraan yang harmonis pada gender, tidak ada kepentingan politik di dalamnya. semua berkesempatan menjadi hamba Allah yang menjalankan perintah-Nya, hambanya yang bertaqwa. Ukuran taqwa lebih bersifat astraks, penuh pesan moral, karena tanpa membedakan gender, tidak menggunakan ukuran yang bersifat duniawi, kebangsaan, kekayaan, ataupun pada konteks sejarah kecuali pada aspek kualitas tindakan dan sikap hidup manusia, semua bisa menjadi hamba yang bertaqwa dengan syarat menjalankan perintah Allah dalam segala lini kehidupan. Dalam prakteknya term ini menjadi kacau pada relasi laki-laki dan perempuan, laki-laki lebih tinggi derajatnya, posisi perempuan selalu dirugikan, kepentingan selalu ada di balik interpretasi.
Semangat gender Wadud, berprinsip pada teori etika, moral dan keadilan. Peran masing-masing individu dalam masyarakat mengindikasikan kelebihan masing-masing dari laki-laki dan perempuan. Prinsip inilah yang diterangkan oleh al-Qur’an sebagai konsekuenbsi dari potensi kebebasan yang dimiliki manusia dalam mengatur kehidupan mereka (khalifah). Khalifah tidak identik dengan kekuasaan laki-laki atas perempuan tetapi khalifah ini lebih diartikan sebagai wali, penganti dalam artian sosok seorang khalifah harus memiliki sifat dan karakter seperti yang di wakilinya, yaitu Tuhan. Khalifah membawa amanah yang mulia, sebagai agen moral, agen perubahan dalam rangka mencari ridho Allah.
Kesimpulan dari tawaran Wadud adalah; kekuatan atau outoritas penafsiran pada term (objek), siapa penafsirnya, dan bagaimana latarbelakangnya. kesalahan penafsiran pada term gender, keadilan, kesetaraan martabat, tauhid, dan khalifah yang harus di kaji ulang. Islam punya prinsip-prinsip univeral tentang moral, keadilan, dan kesetaraan gender. Prinsip ini yang harus diperhatikan.
Selanjutnya dalam pengalaman Amina Wadud dalam mengajar dan obsevasi di dalam dunia akademik di Amerika Serikat, kebanyakan penelitian agama dan wanita tidak terlepas pada metode Fenomenologi untuk pengujian atau kajian agama di kelas-kelas, dengan beranekaragam keyakinan, praktek, sejarah dan arus zaman sekarang.
Amina Wadud melakukan observasi dengan merujuk pada Azza Karam dan Nikki keddie dalam penelitian agama dan wanita di barat tidak bisa dilepaskan pada worldview pandangan hidup antara sekuler dan aktivis islam, serta terhadap ideologi.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian yang dilakukan Amina Wadud adalah berkaitan intepretasi di kalangan umat Islam (khususnya) memandang relasi atau kedudukan perempuan dan laki-laki. Ia menjawab problem yang berkaitan tentang perempuan dengan bersumber pada al-Qur’an dengan menawarkan cara/ metode dan pendekatan dalam memahami sebuah teks (al-Qur’an). Fokus perhatian Wadud adalah otoritas penafsiran pada prinsip feminisme, keadilan gender, ayat-ayat tentang keadilan sosial dan kesederajatan manusia dan beberapa faktor yang menyebabkan marjinalisasi peran perempuan
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO