Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Arah Baru Studi Al- Qur`an

MENENTUKAN ARAH BARU STUDI ‘ULÛM AL-QUR`ÂN

February 8, 2010

Mukadimah
‘Ulûm al-Qur`ân (selanjutnya: Ulumul Qur`an) merupakan turâts karya para ulama klasik yang lahir sebagai upaya mereka membangun kaidah dan rumusan baku bagi siapa saja yang akan berusaha menangkap makna ayat-ayat al-Qur`an lewat sebuah upaya tafsir. Di antara kaidah dan rumusan dalam Ulumul Qur`an yang dimaksudkan membantu dan memandu kegiatan tafsir al-Qur`an adalah ilmu Asbâb al-Nuzûl, Nâsikh-Mansûkh, Qirâ`ât, Mubhamât, Muhkam-Mutasyabih, Makiyah-Madaniyah dan banyak lagi. Sejatinya, peletak dasar ilmu-ilmu ini adalah Nabi Saw. Nabi-lah yang mengajarkan isi kandungan al-Qur`an, menerangkan ahruf sab’ah yang dengannya al-Qur`an turun, menjelaskan kepada para sahabat makna ayat yang masih global (mujmal), mengkhsususkan ayat yang masih umum, membatasi ayat yang masih belum dibatasi, menerangkan ayat yang masih samar, dan seterusnya.
Setelah Nabi, para sahabat adalah orang yang paling tahu tentang al-Qur`an dan ilmu-ilmunya. Mereka “menyaksikan” wahyu; bagaimana wahyu turun kepada Nabi dan bagaimana keadaan Nabi ketika turun kepadanya wahyu. Mereka tahu mana ayat Makiyah, mana Madaniyah, ayat yang pertama turun, ayat yang terakhir turun; tahu kapan dan di mana saja ayat turun, mana ayat yang turun ketika Nabi berada di tempat, mana ayat yang turun ketika beliau dalam perjalanan, mana ayat yang turun siang hari, mana yang turun malam hari, mana yang turun di musim panas, mana yang turun musim dingin. Mereka juga tahu orang-orang yang tentang mereka ayat turun, atau kejadian-kejadian yang “menyebabkan” ayat turun, dan hal-hal lain terkait sejarah nuzûl dan sabab nuzûl al-Qur`an.
Hanya saja di masa Nabi ilmu-ilmu ini belum dikodifikasi karena beberapa sebab, di antaranya:
1. Adanya larangan Nabi untuk menulis selain al-Qur`an: “Janganlah kalian menuliskan (sesuatu) dariku selain al-Qur`an. Barangsiapa menuliskan dariku selain al-Qur`an, maka hapuslah” (HR Tirmidzi).
2. Ilmu-ilmu ini terpateri kuat dalam hati para sahabat, aman dari kehilangan akibat lupa atau lainnya karena mereka dikaruniai Allah hafalan yang kuat, pemahaman yang tajam dan penalaran yang mumpuni. Kenyataan ini menjadikan mereka tidak memerlukan catatan dan pembukuan.
3. Kebanyakan orang waktu itu ummî (buta huruf) dan alat tulis belum mudah didapat sehingga sulit bagi mereka mengikat hafalan dengan tulisan. Maka cukuplah bagi mereka menuliskan al-Qur`an saja.
Pasca para sahabat, para tâbi’în menyampaikan ilmu-ilmu al-Qur`an ini kepada generasi berikutnya yakni atbâ` al-tâbi’în. Semua itu disampaikan dengan jalan periwayatan di mana orang-orang generasi terdahulu (salaf) menyampaikannya secara lisan kepada generasi berikutnya (khalaf). Demikian, sampai kemudian datang generasi ulama yang mulai giat menulis dan berinisiatif memilah-milah berbagai riwayat ke dalam tema-tema tertentu. Ketika itu Ulumul Qur`an pun mendapat perhatian ulama dan dikodifikasi bersama bermacam ilmu lainnya. Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan topik tertentu dari Ulumul Qur`an ditulis dalam buku tersendiri. Ada yang menulis tentang Nâsikh-Mansûkh di mana penulisnya mengumpulkan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan topik ini. Ada yang menulis tentang Amtsal al-Qur`ân dengan mengumpulkan semua matsal (perumpamaan) yang Allah tampilkan dalam al-Qur`an. Ada yang menulis tentang majâz al-Qur`an dengan mendata semua macam majâz yang terdapat dalam al-Qur`an, dan begitu seterusnya.
Penulisan dan kodifikasi Ulumul Qur`an terlihat jelas pada abad 3 Hijrah dan sesudahnya. ‘Ali bin al-Madînî (w. 234 H) dan al-Wâhidî menulis tentang Asbâb al-Nuzûl. Abû al-Qâsim al-Suhaylî (w. 581H) dan Badruddîn Muhammad al-Kinânî (w. 733) menulis tentang Mubhamât al-Qur`ân. Abû ‘Ubayd al-Sijistânî (w. 330 H) dan al-Râghib al-Ashfahânî menulis tentang Gharîb al-Qur`ân. Abû ‘Amr al-Dânî (w. 444 H) menulis tentang Qirâ`ah Sab’ah. Al-Hasan bin al-Fadhl dan Abû ‘Ubayd al-Qâsim (w. 284 H) menulis tentang Amtsal al-Qur`ân. Abû Dâwud al-Sijistânî ((w. 275 H) dan Abû Ja’far al-Nahâs menulis tentang Nâsikh-Mansûkh. Al-Khathâbî (w. 385 H), al-Rumânî, ‘Abd al-Qâhir al-Jurjânî dan Abû Bakar al-Bâqilânî (w. 403 H) menulis tentang I’jâz al-Qur`ân. Dan banyak lagi. Penulis kitab Ulumul Qur`an terbesar dari kalangan mutaqaddimin adalah Badruddîn al-Zarkasyî (w. 794 H) dengan karyanya al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, dan Jalâluddîn al-Suyûthî (w. 911 H) dengan kitabnya al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân. Sedang dari kalangan muta`akhirîn adalah Muhammad al-Zarqânî dengan karyanya Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qur`ân.

Ulumul Qur`an sebagai Turâts
Sebelum membahas lebih jauh tentang Ulumul Qur`an, ada baiknya ditegaskan lebih dulu apa itu turâts. Dalam al-Turâts wa al-Tajdîd, Hassan Hanafi mengatakan bahwa turats adalah segala yang sampai kepada kita dari masa lalu dalam sebuah peradaban. Bagi Hanafi, turâts bukan sekadar persoalan terkait warisan masa lampau tapi juga menyangkut kehidupan sekarang dengan segala aspeknya. Dalam proyek al-Turâts wa al-Tajdîd, turâts merupakan starting point (nuqthah al-bidâyah), sedang tajdîd tidak lain dari upaya reinterpretasi turâts sejalan dengan kebutuhan kekinian. Bagaimana pun, yang terdahulu (turâts) mendahului yang baru (tajdîd), ashâlah merupakan pondasi mu’âshirah, dan sarana menyampaikan pada tujuan. Dalam hal ini, turâts adalah sarana sedang tajdîd adalah tujuannya, yaitu berperan aktif mengembangkan realita (kehidupan masyarakat), memecahkan berbagai persoalannya, menghadapi bermacam tantangannya, dan membukakan segala jalan yang mendukung bagi pengembangan tersebut. Sesungguhnya nilai turâts terletak pada kemampuannya menawarkan teori ilmiah dalam menafsirkan realita dan upaya pengembangannya. Ia bukan museum pemikiran yang kita banggakan dan kita pandang dengan rasa kagum. Sesungguhnya ia adalah teori bagi sebuah praksis, pengarah perilaku dan perbendaharaan suatu kaum yang dapat dieksplorasi dan difungsikan dalam upaya menata kembali pola hubungan manusia dengan semesta.
Turâts bukan sekadar kumpulan manuskrip kuno yang ditulis di zaman yang belum ada percetakan. Ia juga bukan sebuah wujud independen yang dibela begitu rupa seolah mengandung kebenaran-kebenaran teoritis yang ada dengan sendirinya. Ia bukan pula sebuah wujud formal yang terpisah dari sebuah realita di mana ia tumbuh di dalamnya. Melainkan ia adalah ungkapan tentang realita dimana ia sendiri merupakan bagian dari realita itu. Apa yang disebut Asbâb al-Nuzûl oleh ulama terdahulu hakikatnya adalah bahwa realita mendahului pemikiran. Dan apa yang disebut Nâsikh-Mansûkh menunjukkan bahwa pemikiran itu dibatasi oleh realita serta sejalan dengan tuntutannya. Keadaan realita memengaruhi kondisi pemikiran. Turâts, dengan demikian, tidak terpisah dari realita yang hidup, berubah dan berganti. Ia adalah sekumpulan penafsiran yang diberikan setiap generasi sejalan dengan tuntutannya masing-masing. Turâts bukan sekumpulan ajaran teoritis-statis yang tidak mengenal perubahan, melainkan sekumpulan aksi dari sebuah teori dalam bingkai ruang, kondisi kesejarahan, dan masyarakat tertentu yang memiliki pandangan tertentu.
Dalam pemetaan Hassan Hanafi, Ulumul Qur`an bersama ilmu hadits, tafsir, sîrah dan fikih, termasuk kelompok al-‘ulûm al-naqliyah. Al-‘Ulûm al-naqliyah sendiri merupakan satu dari dari tujuh turâts klasik yang, menurut Hanafi, harus dilakukan pembacaan dan pemaknaan ulang terhadapnya dalam bingkai proyek peradaban bertajuk al-Turats wa al-Tajdîd.

Menyikapi Turâts Ulumul Qur`an
Kisi-kisi umum yang diberikan Hanafi di atas bertalian dengan bagaimana memahami dan menyikapi turâts dengan sendirinya dapat diberlakukan terhadap Ulumul Qur`an, sebab ia secara nyata merupakan bagian dari turâts. Dalam tataran yang lebih operasional sikap terhadap turâts Ulumul Qur`an dapat diwujudkan dalam langkah-langkah berikut:
1. Mengapresiasi
Bagaimana pun turâts merupakan karya besar para ulama klasik umat ini. Di zamannya, karya-karya yang kelak dinamai turâts itu merupakan produk dari kegiatan intelektual sebagai respon para penulisnya terhadap realita yang mereka hadapi dengan segala dinamika dan tuntutannya. Dalam hal ini tidak terkecuali karya-karya dalam bidang Ulumul Qur`an. Ia merupakan respon positif terhadap kegiatan menafsirkan al-Qur`an. Para ulama Ulumul Qur`an sadar bahwa al-Qur`an merupakan Kitab Suci umat Islam yang memiliki posisi sentral dalam kehidupan mereka serta memiliki sejumlah karakteristik, di antaranya al-Qur`an adalah Kitab Ilahi, kitab yang terpelihara (kitâb mahfûzh), kitab yang mengandung mukjizat (kitâb mu’jiz), kitab yang mengandung seluruh ajaran agama (kitâb al-dîn kulih), kitab suci sepanjang zaman (kitâb al-zaman kulih), dan kitab bagi kemanusiaan (kitâb al-insâniyah). Dengan karakteristik seperti itu maka kegiatan menafsirkan al-Qur`an meniscayakan tersedianya seperangkat piranti berupa rambu-rambu dan aturan (ma’âlim wa dhawâbith) sehingga kegiatan tersebut sanggup menggali tujuan, makna, pesan, dan rahasia al-Qur`an dengan sejumlah karakteristiknya itu. Nah, Ulumul Qur`an tidak lain merupakan upaya ulama terdahulu dalam merespon keniscayaan tersebut. Hingga di sini, apresiasi dan penghargaan yang wajar terhadap upaya tersebut merupakan tindakan yang bijak dan dewasa.
2. Mewarisi
Langkah lanjut setelah memberikan apresiasi terhadap turâts klasik adalah mewarisinya. Penting dicatat, mewarisi di sini sama sekali bukan berarti mentaqlidnya secara mentah-mentah, melainkan menerimanya dengan sikap terbuka dan berkesadaran. Sikap terbuka menafikan sikap antipati, sedang sikap berkesadaran mendorong lahirnya objektifitas. Sebagai pewaris, wajar jika merasa bangga dengan warisannya dan dengan para pendahulu pemberi warisan itu. Namun sampai di sini beberapa hal penting dikemukakan:
a. Warisan turâts itu umumnya ditulis 1000 tahun yang lalu dalam, seperti kata Hassan Hanafi, bingkai ruang, kondisi kesejarahan, dan masyarakat tertentu yang memiliki pandangan tertentu pula. Kesadaran akan kenyataan ini melahirkan kesadaran baru bahwa kita, sebagai pewaris sah turâts, hidup dalam bingkai ruang, kondisi kesejarahan, dan seting sosial yang berbeda dengan ruang, kondisi kesejarahan, serta seting sosial 1000 tahun yang lalu. Dalam menghargai dan membanggakan turâts Ulumul Qur`an, harus cukup tersedia kesadaran bahwa Ulumul Qur`an bukan al-Qur`an itu sendiri. Berbeda dengan al-Qur`an, Ulumul Qur`an tidak memiliki sifat qaddâsah. Pola relasi dan interaksi dengan Ulumul Qur`an, dengan begitu, harus dibangun dalam kerangka yang rasional dan objektif.
b. Seperti kata Hassan Hanafi, ada yang luput dari turâts kita yaitu pembahasan tentang manusia dan sejarah. Padahal wahyu (al-Qur`an) sendiri yang merupakan sumber utama turâts serta pengarah terkuat perilaku keseharian umat ini sangat menonjolkan manusia dan menjadikannya sebagai tema pembahasan tersendiri. Dalam hal ini tidak terkecuali turâts Ulumul Qur`an.
Dengan mempertimbangan sekurangnya dua hal penting di atas maka tindakan mewarisi turâts haruslah dimaknai tidak sekadar menerimanya begitu saja tanpa tindakan elaboratif mengiringinya. Sekurangnya dua langkah elaboratif dapat dilakukan dengan: Pertama, menambahkan muatan atau pembahasan baru terhadap muatan atau pembahasan turâts Ulumul Qur`an. Muatan dan pembahasan baru itu tentu saja dalam rangka mengayomi tuntutan kekinian yang jelas berbeda dengan tuntutan 1000 tahun yang lalu dengan penekanan pada unsur humanitas dan sejarahnya; dua unsur yang, seperti kata Hanafi, luput dari turâts kita. Tawaran-tawaran baru hermeneutis dapat masuk di sini. Atau kedua, mengembangkan dan mengisi muatan atau pembahasan turâts Ulumul Qur`an dengan pengembangan-pengembangan yang dapat merespon persoalan-persoalan kekinian. Upaya kedua ini percaya bahwa muatan dan pembahasan lama masih mampu mengayomi persoalan kekinian selama muatan dan pembahasan itu diberi pengembangan, pemaknaan dan pendekatan baru sejalan dengan tuntutan kekinian. Jadi yang diperlukan hanya pengembangan dan pemaknaan ulang, bukan konten baru yang berasal dari “luar”. Langkah kedua inilah yang akan dilakukan dalam makalah ini pada pembahasan berikutnya.
3. Mengembangkan
Proyek pengembangan turâts bisa saja dilakukan di bawah proyek ihyâ` al-turâts (revitalisasi turâts). Sampai titik ini dua term menarik dipetakan secara jelas; taqlîd dan taqâlîd. Yang pertama, sebagaimana dikatakan Zaki Naguib Mahmud, adalah tindakan seseorang atau sekelompok masyarakat meniru orang atau kelompok lain. Seorang anak meniru bahasa dan tulisan orang tuanya, atau sekelompok masyarakat tertentu meniru gaya pakaian kelompok masyarakat lainnya. Tindakan tiru-meniru inilah taqlîd.
Kita terima bahasa dari orang tua dan lingkungan kita, tetapi kita mempunyai cara tersendiri dalam pengucapan, pemilihan kata dan redaksi yang kita suka. Seorang anak kecil menulis sesuai apa yang disuruh, tetapi ia mempunyai cara tersendiri dalam menorehkan pensil, memilih gaya tulisan dan cepat-lambatnya menulis. Seseorang mengikuti gaya pakaian orang lain, tetapi bisa saja ia menambahkan kreasi baru, memilih bahan pakaian, mengadakan modifikasi-modifikasi seperlunya sesuai seleranya. Cara tersendiri dalam pengucapan, pemilihan kata dan redaksi yang disuka; cara tersendiri dalam menorehkan pensil, memilih gaya tulisan dan cepat-lambatnya menulis; menambahkan kreasi baru, memilih bahan pakaian, mengadakan modifikasi-midifikasi seperlunya sesuai seleranya, itulah taqâlîd.
Pada taqâlîd masih terdapat unsur taqlîd. Tapi tidak sebaliknya. Ibaratnya kurang-lebih seperti ini: Dua orang berada di perpustakaan, yang dihadapi keduanya sama; kitab turâts. Yang satu membaca kitab turâts untuk menghafalnya di luar kepala. Keluar dari perpustakaan seakan semua isi kitab telah pindah ke otaknya. Disampaikannya hafalannya itu ke khalayak persis seperti yang tertulis dalam lembar-lembar kitab turâts itu tanpa peduli apakah yang disampaikannya itu sejalan dengan kebutuhan mereka atau tidak. Sedang yang satu lagi masuk ke perpustakaan bukan untuk menghafal turâts yang dibacanya, melainkan untuk mencari tahu bagaimana ulama-ulama terdahulu merespon persoalan yang timbul di masanya dan bagaimana memformulasikannya dalam tulisan yang kemudian menjadi turâts bagi generasi berikutnya itu. Bukan wujud formal turâts yang ia cari tetapi ruh turâts yang ingin ia tangkap. Bukan taqlîd yang ia kejar melainkan semangat taqâlîd yang ia buru.
Merujuk pada pengibaratan di atas, pengembangkan turâts atau ihyâ` turâts mestinya merujuk pada upaya penggalian taqâlîd turâts bukan men-taqlîd-nya, dengan alasan seperti yang dikemukakan Hassan Hanafi di atas.
Bertalian dengan turâts Ulumul Qur`an, berikut penulis akan memberi contoh pengembangan muatan (pembahasan) turâts Ulumul Qur`an dengan pengembangan-pengembangan yang dinilai dapat merespon persoalan-persoalan kekinian. Dalam hal ini pembahasan Ulumul Qur`an yang akan dikembangkan adalah Asbâb al-Nuzûl dan Nasakh (Nâsikh-Mansûkh).

Mengembangkan Konsep Asbâb al-Nuzûl
Para ulama Ulumul Qur`an memiliki perhatian tinggi terhadap Asbâb al-Nuzûl. Mereka menyadari pentingnya ilmu ini dalam menafsirkan al-Qur`an. Di antara mereka ada yang membahasnya secara tersendiri seperti ‘Alî al-Madînî, al-Wâhidî dalam kitab Asbâb al-Nuzûl dan al-Suyûthî dalam Lubâb al-Manqûl fî Asbâb al-Nuzûl. Dalam mengetahui Sabab al-Nuzûl para ulama berpedoman pada riwayat dari Nabi Saw. atau dari para sahabat. Al-Wâhidî berkata: “Tidak boleh berbicara tentang Asbâb Nuzûl Kitâb (al-Qur`an) kecuali (diperoleh) dengan jalan riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan melihat sebab-sebab (turunnya wahyu).” Begitu hati-hatinya para ulama sehingga mereka tidak berani berkata sesuatu pun tentang Asbâb al-Nuzûl tanpa adanya riwayat yang tegas dan jelas. Al-Wâhidî pernah mengkitik ulama sezamannya yang terlalu mudah meriwayatkan Sabab al-Nuzûl. Ia bahkan menuding mereka telah mengada-ada dan berdusta. Ia berkata: “Adapun sekarang setiap orang mencipta (mengada-ada) sesuatu, membuat cerita bohong dan dusta; (padahal dengan begitu ia) menjemuskan diri dalam kejahilan tanpa berpikir tentang ancaman bagi orang yang jahil akan Sabab Nuzûl.”
Sabab al-Nuzûl memiliki dua bentuk: Pertama, suatu peristiwa terjadi kemudian ayat al-Qur`an turun berkenaan dengan peristiwa itu. Contohnya seperti laporan Ibn ‘Abbâs bahwa ketika ayat “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat” turun, Nabi Saw. naik ke bukit Shafa lalu berseru: “Bagaimana pendapat kalian jika aku mengabarkan kepada kalian bahwa seekor kuda akan keluar dari kaki bukit ini, apakah kalian akan membenarkanku?” Mereka berkata: “Kami belum pernah melihatmu berbohong.” Kemudian beliau bersabda lagi: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian; di hadapanku ada azab yang pedih.” Ketika itu Abû Lahab berkata: “Binasalah kau! Untuk inikah kau mengumpulkan kami?” Kemudian Abû Lahab pergi lalu turunlah surat al-Lahab.
Kedua, Rasulullah Saw. ditanya tentang sesuatu lalu turun ayat menjelaskan hukumnya. Seperti Q.S. al-Mujâdilah/58: 1-2 yang turun merespon pertanyaan Khuwaylah bint Tsa’labah yang di-zhihâr suaminya, Aws bin al-Shâmit. Dari sini Sabab al-Nuzûl dapat didefinisikan sebagai kejadian atau pertanyaan yang tentangnya ayat al-Qur`an turun saat kejadian atau pertanyaan itu terjadi.
Pengetahuan tentang Sabab al-Nuzûl amat berguna di antaranya dalam menjelaskan hikmah yang mendorong lahirnya sebuah hukum serta dalam menunjukkan kemaslahatan yang senantiasa dijaga oleh syarak dalam menyelesaikan berbagai persoalan umat. Selain itu, banyak ayat yang makna-maknanya baru bisa dipahami dan kesamaran-kesamaran yang menyelimutinya baru tersingkap setelah sang penafsir mengetahui Sabab Nuzûl-nya.
Demikian—sambil mengulang yang sudah jelas—para ulama Ulumul Qur`an memiliki perhatian terhadap Asbâb al-Nuzûl dan menyadari betapa pentingnya ilmu ini dalam upaya memahami al-Qur`an. Hemat penulis, urgensi pengetahuan tentang Asbâb al-Nuzûl dalam kegiatan menafsirkan al-Qur`an akan tetap dirasakan sampai kapan pun selama kegiatan tersebut berlangsung. Lalu apa makna Asbâb al-Nuzûl dalam konteks kekinian? Hassan Hanafi menjelaskannya dalam poin-poin berikut:
a. Wahyu dan Realita
Asbâb al-Nuzûl bermakna bahwa wahyu tidak mendikte realita melainkan mengayomi tuntutannya dan mengungkapkan apa yang diinginkannya. Waktu itu bangsa Arab sedang mencari sebuah konsep yang sanggup mengungkapkan cita-cita mereka, sebuah ideologi yang sanggup mempersatukan kabilah-kabilahnya, serta seorang tokoh yang sanggup memimpin dan mewujudkan cita-cita mereka. Agama Yahudi dan Nasrani penyebarannya terbatas dan tidak mampu mengungkapkan realitas Arab kecuali dalam batas yang amat kecil. Orang-orang Yahudi hidup dengan menutup dan membatasi diri. Bagaimana bisa mereka mempersatukan kabilah-kabilah Arab. Sedang orang-orang Nasrani hidup sebagai orang-orang suci yang menarik diri dari perseteruan-perseteruan antar kabilah Arab. Maka bagaimana bisa mereka menjadi pemimpin kabilah-kabilah Arab. Sementara itu para hunafâ`, semua kalangan menghormatinya. Mereka adalah para penganut ajaran Ibrahim, kakek bangsa Arab. Lalu Islam datang menyebarkan hanafiyah-samhah; millah Ibrahim yang hanîf dalam bentuknya yang menyeluruh. Yaitu Islam yang menjadi arus utama dalam kesadaran bangsa Arab.
Dari sini dapat diambil pengertian bahwa realita mempunyai supremasi atas pemikiran (awlawiyah al-wâqi’ ‘alâ al-fikr), dan bahwa Islam adalah agama yang realistis (dîn wâqi’î), bukan hanya dalam bidang hukumnya saja tetapi juga ajaran asasinya. Ini berarti bahwa Islam merupakan tuntutan realita; realitalah yang memanggil dan menuntutnya. Islam tidak datang untuk memaksa atau memerkosa realita. Inilah yang sering terlupakan dalam kehidupan kekinian ketika bermacam pemikiran atau paham dipaksakan lewat kekuasaan dan perangkatnya. Padahal transformasi sosial tidak bisa berjalan dengan cara memaksakan pemikiran atau paham kepada khalayak, melainkan dengan jalan mengungkap realita mereka lalu menuangkannya dalam sebuah konsep; mendata apa saja persoalan yang mereka hadapi lalu memformulasikannya dalam sebuah teori; dan menyingkap apa saja harapan mereka lalu mengemasnya dalam sebuah ideologi seperti dilakukan Islam dulu.
b. Teks dan Kemaslahatan
Asbâb al-Nuzûl juga bermakna bahwa realita dapat diketahui (kandungan dan tuntutannya) oleh seseorang dengan fithrahnya kemudian yang lain dapat menyepakati dan membenarkannya. Dengan fithrahnya ‘Umar mengetahui realitas kaum Muslim dan kemaslahatan mereka. Dengan kecerdasannya ‘Umar menyadari bahaya khamar bagi akal dan kehidupan masyarakat, lalu wahyu turun mengharamkannya. ‘Umar menyadari bahayanya perbauran di jalan-jalan umum, maka turunlah ayat hijab. Dengan fithrahnya ‘Umar tahu kapan perdamaian harus dilaksanakan, kapan perang harus ditempuh, kapan perjanjian harus disepakati dan kapan ia dibatalkan, kapan kepemilikan pribadi dijalankan dan kapan ia digugurkan, kapan hukum pidana diterapkan dan kapan ia ditangguhkan. Dari ‘Umar keluar fikih ‘Abdullâh bin Mas’ûd. Darinya fikih Imam Malik dibangun dan dari Imam Malik dasar umum ijtihad diketahui, yaitu mashâlih mursalah.
Dengan fithrah dan kecerdasan kita, kita dapat menangkap dan mengetahui muatan serta tuntutan realita di mana kita bergumul di dalamnya, lalu melahirkan konsep-solutif bagi bermacam persoalan yang ada di dalamnya seperti dulu wahyu melakukannya.
c. Bicara dan Bertindak Sesuai Tuntutan Realita
Asbâb al-Nuzûl bermakna bahwa kita memilih dari wahyu apa yang dapat memecahkan persoalan riil yang kita hadapi. Setiap upaya menafsirkan wahyu secara keseluruhan bertentangan dengan cara penurunan wahyu itu sendiri yang bertahap. Memang al-Qur`an mengandung solusi bagi banyak persoalan. Namun dalam penerapannya kita hanya mengambil bagian tertentu darinya yang secara nyata memberi solusi bagi persoalan riil yang kita hadapi. Jika tidak demikian, maka khalayak akan disuguhi tentang berbagai hal tapi mereka tidak mendapatkan satu hal pun. Memang al-Qur`an mencakup segala sesuatu dan memberi jalan keluar bagi persoalan-persoalan yang muncul kapan pun. Namun ini tidak berarti kita menampilkannya secara keseluruhan seraya memuji-muji dan mengagung-agungkannya. Ibarat sebuah kamus, kita tidak dituntut menghafal semua isi kamus melainkan mengambil kata-kata tertentu yang kita perlukan dalam keadaan-keadaan atau even-even tertentu.
Tetapi yang terjadi sekarang adalah semua isi kandungan al-Qur`an disebar-luas begitu rupa; baik yang diperlukan maupun yang tidak. Alih-alih memberi jalan keluar bagi persoalan riil di ranah realita, ayat-ayat kerap kali dijadikan alat menutup-nutupi apa yang terjadi di tataran realita atau dijadikan pelipur lara masyarakat dengan segala persoalan, derita dan kesulitan yang mereka hadapi. Dulu ulama fikih disebut Ahl al-Tanzîl karena upaya mereka mengistinbath hukum yang memenuhi kemaslahatan umat. Di atas jalan merekalah kita harus melangkah.

Mengembangkan Konsep Nasakh
Nasakh dimaknai sebagai pembatalan pengamalan hukum syarak oleh dalil yang datang belakangan yang menunjukkan bahwa hukum syarak terdahulu itu dibatalkan; secara tegas atau implisit, secara keseluruhan atau sebagian karena tuntutan kemaslahatan.
Pertanyaannya, adakah nasakh dengan pengertian seperti di atas dalam al-Qur`an? Al-Qur`an diturunkan untuk diamalkan; perintah-perintahnya dijalankan, larangan-larangannya dijauhi dan aturan-aturannya dipatuhi. Inilah aturan dasar dalam bersikap dan berinteraksi dengan al-Qur`an yang harus dipedomani setiap Muslim. Dari sini, seperti ditegaskan Yûsuf al-Qaradhâwî, menyebut adanya nasakh pada ayat al-Qur`an tanpa argumen dan bukti yang meyakinkan merupakan sebuah kesalahan fatal.
Satu hal penting dicatat di sini bahwa kaum salaf (para sahabat, tâbi’in dan atbâ’ tâbi’în) menggunakan kata nasakh dalam pengertian yang lebih umum dari pengertian yang digunakan oleh generasi sesudah mereka. Dalam hal ini, demikian al-Qaradhâwî, yang harus kita pedomani adalah makna kata nasakh yang berkembang pada masa turunnya al-Qur`an, bukan makna-makna yang berkembang sesudah itu. Makna nasakh yang dimaksud oleh kaum salaf (mutaqaddimin), seperti ditunjukkan al-Syâthibî, lebih umum dari makna yang dimaksud oleh kaum sesudahnya dari kalangan ulama ushul. Ulama mutaqaddimin menggunakan kata nasakh untuk taqyîd al-muthlaq, takhshîsh al-‘âm, bayân al-mubham wa al-mujmal. Pembatalan hukum syarak oleh hukum baru, bagi kaum mutaqaddimin, hanya salah satu bagian dari pengertian nasakh.
Sekurangnya ada dua ayat yang sering dijadikan pegangan tentang adanya nasakh dalam al-Qur`an:
QS. al-Baqarah/2: 106:
              •     
Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

Dan QS al-Nahl/16: 101:
   •               
Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja.”

Tapi relevankah dua ayat ini dijadikan dalil adanya nasakh dalam al-Qur`an? Tentang ayat pertama, Muhammad Rasyîd Ridhâ—sebagaimana dikutip Muhammad al-Ghazâlî dalam Kayfa Nata’âmal ma’ al-Qur`an—pertama-tama menjelaskan bahwa ayat-ayat al-Qur`an terbagi dua: taklîfiyah (ayat-ayat tentang hukum) dan takwîniyah (ayat-ayat tentang peristiwa semesta). Nah, yang dimaksud oleh QS al-Baqarah/2: 106 adalah ayat-ayat takwîniyah, bukan ayat-ayat taklîfiyah. Dalam hal ini yang dimaksud takwîniyah adalah mukjizat-mukjizat penguat dakwah para nabi.
Sedangkan ayat kedua (QS al-Nahl/16: 101), yang sering ditunjuk sebagai bantahan atas tuduhan bahwa Muhammad menetapkan sebuah hukum lalu membatalkannya, maka pertama-tama harus dicatat bahwa ayat ini berada dalam surat Makiyah (turun pada periode Mekah). Lalu, mana hukum yang dituduh oleh kaum musyrik bahwa ia ditetapkan oleh Muhammad lalu dibatalkannya? Sewaktu di Mekah pernahkah orang-orang musyrik berkata: “Muhammad menetapkan hukum syarak lalu membatalkannya.” Baik dalam sejarah turunnnya al-Qur`an maupun dalam sejarah hukum Islam tidak ada keterangan bahwa di Mekah pernah turun ayat hukum lalu dibatalkan oleh ayat lainnya. Perode Mekah bukan periode pembentukan hukum syarak.
Tidak ada dalam al-Qur`an hukum yang dibatalkan. Yang terjadi adalah beberapa ayat dilihat sepintas lalu dengan tergesa-gesa dihukumi bahwa ayat ini di-nasakh/me-nasakh ayat itu. QS al-Anfâl/8: 66 ditunjuk sebagai me-nasakh ayat sebelumnya yang menyuruh satu orang Mukmin melawan sepuluh kafir. Padahal hubungan antara keduanya adalah rukhshah-‘azîmah yang berbeda dengan hubungan nâsikh-mansûkh. Ayat pedang dinilai me-nasakh 120 ayat dakwah. Maka muncullah keyakinan bahwa yang berkewajiban menunaikan tugas tablîgh adalah pedang. Menutup pembahasan ini, Muhammad al-Ghazâlî menegaskan:
Tidak ada dalam al-Qur`an ayat yang dapat dikatakan bahwa ia tidak diamalkan (hukumnya) lalu dinyatakan kematiannya. Setiap ayat dapat difungsikan. Seorang bijak tahu kapan sebuah ayat diberlakukan. Dengan demikian ayat-ayat al-Qur`an dapat difungsikan sesuai kondisi objektif masyarakat dengan hikmah dan maw’izhah hasanah.

Demikian, pengembangan dan pemaknaan-pemaknaan serupa ini, dalam hemat penulis, dapat pula diberlakukan terhadap cabang-cabang Ulumul Qur`an lainnya seperti Makiyah-Madaniyah dan Muhkam-Mutasyâbih.

Penutup
Kiranya dapat terlihat arah baru studi Ulumul Qur`an yang dikehendaki penulis. Bahwa di antara dua opsi (menambahkan muatan baru terhadap muatan turâts Ulumul Qur`an, atau mengembangkan dan mengisi muatan turâts Ulumul Qur`an yang sudah ada), penulis—setidaknya dalam tulisan ini—memilih yang kedua tanpa sedikit pun menafikan kemungkinan bagi opsi yang pertama.

Daftar Pustaka
Al-Bukhârî, Shahih al-Bukhârî, dalam CD Mawsû’ah al-Hadîts al-Syarîf.
Al-Ghazâlî, Muhammad, Kayfa Na’âmal ma’ al-Qur`ân, Mansoura: Dâr al-Wafâ`, cet. III, 1992.
Hanafi, Hassan, al-Dîn wa al-Tsawrah fî Mishr (al-Yamîn wa al-Yasâr fî al-Fikr al-Dînî), Kairo: Maktabah Madbûlî, tt.
———-, al-Turâts wa al-Tajdîd, Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Beirut: al-Mua`assasah al-Jâmi’ah li al-Dirâsât wa al-Nasyr wa al-Tawzî’, cet. IV, 1992.
———-, Dirâsât Islâmiyah, Kairo: Maktabah Anglo al-Mishriyah, cet. I, 1981.
———-, Humûm al-Fikr wa al-Wathan (al-Turâts wa al-‘Ashr wa al-Hadâtsah), Kairo: Dâr Qubâ` lî al-Thibâ’ah wa al-Nasy wa al-Tawzî’, vol. 1, cet. II, 1998.
———-, Muqaddimah fî ’Ilm al-Istighrab, Kairo: al-Dâr al-Faniyah, 1991.
Hidayat, Komaruddin, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, cet. II, 2004.
Ibn Katsîr, Ismâ’îl bin ‘Umar, Tafsîr al-Qur`ân al-’Azhîm, Beirut: Dâr al-Fikr, 1401 H.
Khallâf, ‘Abdul Wahhâb, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islâmiyah, cet. VIII, 1968.
Mahmud, Zaki Naguib, Ru`yah Islamiyah, Kairo: Dâr al-Syurûq, cet. II, 1993.
Al-Qaradhâwî, Yûsuf, Kayfa Nata’âmal ma’a al-Qur`ân, Kairo: Dâr al-Syurûq: cet. V, 2006.
Al-Qaththân, Manâ`, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur`ân, Riyadh: Mansyûrât al-‘Ashr al-Hadîts, cet. III, 1973.
Saenong, Ilham B., Hermeneutika Pembebasan; Metodologi Tafsir Al-Qur`an Menurut Hassan Hanafi, Jakarta: Teraju, cet. I, 2002.
Shalih, ‘Ali Himat Ahmad, Fath al-Rahman fî ‘Ulum al-Qur`an, Kairo: Fak. Ushuluddin Univ. Al-Azhar, cet. I, 1993.
Al-Syâthibî, Abû Ishâq, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî’ah, Kairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyah, 2003.
Al-Wâhidî, Abû al-Hasan ‘Ali, Asbâb al-Nuzûl, Kairo: al-Maktabah al-Tawfîqiyah, tt.
Wijaya, Aksin, Arab Baru Studi Ulum al-Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2009.
Al-Zarkasyî, Muhammad bin Bahâdir, al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur`an, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1391 H
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar