Lorem Ipsum

Jumat, 24 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

PENDEKATAN HERMENEUTIK DALAM PENAFSIRAN AL-QUR’AN DAN HADITS

I.         PENDAHULUAN
Dalam wacana studi agama kontemporer, fenomena keberagaman manusia dapat dilihat dari berbagai sudut pendekatan. Ia tidak lagi hanya dapat dilihat dari sudut dan semata-mata terkait dengan normativitas ajaran wahyu –meskipun fenomena ini sampai kapanpun adalah ciri khas daripada agama-agama yang ada- tetapi ia juga dapat dilihat dari sudut dan terkait erat dengan historisitas pemahaman dan interpretasi orang perorang atau kelompok perkelompok terhadap norma-norma ajaran agama yang dipeluknya, serta model-model amalan dan praktek-praktek ajaran agama yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Pada umumnya normativitas ajaran wahyu dibangun, diramu, dibakukan, dan ditelaah lewat pendekatan doktrinal-teologis, sedangkan historisitas keberagaman manusia ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan inter disipliner, baik lewat pendekatan filosofis, historis, psikologis, sosiologis, kultural, antropologis, maupun hermeneutik.[i]
Perubahan kehidupan masyarakat modern era teknologi dan informasi yang begitu cepat mengandaikan perlunya pengkajian ulang terhadap proses pembakuan hadis, tanpa perlu harus menghilangkan otentisitas spiritualitas Islam yang bersumber dari Qur;an dan al-Sunnah. Dalam literatur Barat, kajian ini biasanya disebut dengan hermeneutik. Formula yang menyatakan bahwa ajaran Islam adalah “shalih li kulli zaman wa makan”, sebenarnya lebih menunjukkan fleksibilitas dan elastisitas ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif) dan bukan ke belakang (regresif). Proses pembakuan ajaran Islam yang biasa disebut dinamisasi memang harus berjalan bersama-sama, seiring dengan derap perubahan masyarakat dengan barbagai tantangannya masing-masing.
Ajaran Islam bukan seperti patokan matematis yang kaku, ahistoris, dan kering. Dunia spiritualitas keagamaan menghendaki sikap yang lentur tapi kenyal. Namun, ungkapan terakhir ini tidak dapat dipahami dengan baik kalau kita tidak begitu peduli kepada sejarah gerakan pengumpulan, pembukuan, dan pembakuan hadis yang berjalan pada abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah. Bersikap kritis dan mempelajari proses perkembangan dan pertumbuhan gerakan pengumpulan dan periwayatan hadis bukan sama sekali untuk melepaskan sendi-sendi keislaman, tapi justru untuk memberi ruang gerak yang lentur –dinamis, memberi ruang gerak yang lebih luas terhadap pertumbuhan Islam di masa yang akan datang, dimana tantangan zamannya akan semakin bertambah kompleks.[ii]
II.      PENDEKATAN HERMENEUTIK
Pemikiran keagamaan pada dataran low tradition, yakni pada dataran realitas historis yang kongkrit, sangat terkait dan langsung bersentuhan dengan berbagai bentuk pemikiran yang lain. Sebutlah pemikiran politik, pemikiran ekonomi, pemikiran sosial budaya, pemikiran strategi pertahanan dan keamanan, dan seterusnya. Pemikiran keagamaan pada wilayah high tradition, yakni pada dataran konsep, teori-teori, yang bersifat kognitif skematis, barangkali memang agak berbeda dari corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain, semata-mata karena adanya kategori “sakralitas” yang dikatkan dengan keberadaan Kitab Suci.
Jika kita memahami pemikiran keislaman pada dataran low treadition –bukan pada dataran high tradition- maka sesungguhnya ia sama saja seperti corak pemikiran – pemikiran manusia yang lain. Ia tidak bisa terlepas sama sekali dari keterkaitannya dengan “bahasa” dan “sejarah”. Bahasa terkait dengan konvensi, kontrak sosial, adat istiadat dan akar budaya setempat yang secara berkesinambungan telah berjalan berabad-abad; sedangkan sejarah terkait dengan persoalan kapan, di mana, dan siapa (kapan terjadi, abad berapa, di mana terjadi, dalam situasi politik dan sosial yang seperti apa, standar ekonomi yang bagaimana, tingkat kemajuan ilmu dan teknologi sejauh mana, serta siapa para pelaku dan aktornya, dan seterusnya).[iii]
Pemikiran keagamaan dan keislaman khususnya –lebih-lebih pada dataran low tradition- ternyata tidak begitu saja jatuh dari langit dan tidak pula muncul dalam ruangan hampa kebudayaan dan kekosongan dari berbagai peristiwa sejarah yang melingkarinya. Pemikiran keagamaan pada umumnya dan pemikiran keislaman pada khususnya berkembang beserta pandangan dunia (nadhariyyah al-‘alam) yang hidup mengitarinya. Sedangkan pandangan dunia suatu komunitas atau suatu bangsa itu sendiri juga selalu terkait dengan gerak perubahan sejarah dan budaya (prahistoris, historis, agraris, industrial, dan post-industrial). Setiap tahapan perkembangan budaya ternyata berpengaruh pada corak pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman yang berkembang di suatu tempat tertentu. Sebagai produk sejarah manusia biasa, ia tidak terlepas dari gerak perubahan sejarah sosial budaya yang mengitarinya. Di sini lalu muncul persoalan relevansi yang selalu mengintip dari belakang tabir percaturan pemikiran keagamaan dan pemikiran keislaman kontemporer.[iv]
Dengan memahami sebaik dan secermat mungkin keterkaitan antara ketiga komponen eksistensi manusia, yakni keterpautan antara bahasa, pemikiran, dan sejarah, sekaligus dalam hubungannya dengan nilai-nilai etis yang hendak diraih, maka akan dimungkinkan pengembangan pemikiran Islam. Keterputusan hubungan antara ketiganya, yakni putusnya hubungan antara pemikiran (keislaman), budaya dan sejarah yang melatarbelakanginya (sejarah penetapan hukum-hukum agama, sejarah terbentuknya pranata sosial Islam, bahkan sejarah sosial-politik dan perkembangan kontemporer pemikiran Islam, dan sebagainya) hampir-hampir dapat dipastikan akan terbentuk proses pensakralan pemikiran keagamaan. Pemikiran keislaman yang terlepas dari historisitasnya menjadi tidak boleh diperdebatkan ulang, tidak boleh dirubah, atau diperbaiki.[v] Pendekatan model hermeneutik terkait dengan tiga aspek dari teks, yaitu konteks dimana teks itu ditulis, komposisi grammatikal (tata bahasa) dari teks, dan keseluruhan teks dan pandangan dunianya.[vi]
Meminjam teori Fazlur Rahman, penafsiran Al-Qur’an (teks keagamaan) terdiri dari dua gerakan ganda,dari situasi sekarang ke masa Al-Qur’an diturunkan, dan kembali lagi ke masa kini. Al-Qur’an adalah respon Ilahi melalui ingatan dan pikiran Nabi, kepada situasi moral-sosial Arab pada masa Nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat dagang makkah pada masanya. Yang pertama dari dua gerakan di atas terdiri dari dua langkah; pertama, orang harus memahami arti atau makna dari sesuatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan Al-Qur’an tersebut merupakan jawabannya. Sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam sinaran situasi makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga-lembaga, bahkan kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah harus dilakukan. Kedua, adalah menggeneralisasikan jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio-historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Gerakan yang kedua, harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasi sekarang. Artinya ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan (embodied) dalam konteks sosio-historis yang kongkrit di masa sekarang. Ini memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mngimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.[vii]
Tugas pokok hermeneutik ialah bagaimana menafsirkan sebuah teks klasik atau teks yang asing sama sekali menjadi milik kita yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda.[viii] Proses pemahaman dan penafsiran ini tidak dengan metode induksi dan tidak pula deduksi, melainkan dengan metode alternatif yang disebut abduksi, yaitu menjelaskan data berdasarkan asumsi dan analogi penalaran serta hipotesa-hipotesa yang memiliki berbagai kemungkinan kebenaran. Di sini, prakonsepsi dan pra disposisi seorang penafsir dalam memahami teks memiliki peran yang besar dalam membangun makna. Dalam tradisi hermeneutika, sebuah teks menawarkan berbagai kemungkinan untuk ditafsirkan berdasarkan sudut pandang serta teori yang hendak dipilihnya. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan rekonstruksi makna seobyektif mungkin sebagaimana yang dikehendaki pengarang. Dengan kata lain, sebagaimana dalam metodologi ilmu pada umumnya, hermeneutika berusaha menemukan gambaran dari sebuah bangunan makna yang benar yang terjadi dalam sejarah yang dihadirkan kepada kita oleh teks.[ix]

III.   SISTEM PERIWAYATAN HADIS
Dalam periwayatan hadis Nabi, berlaku dua macam cara, yaitu periwayatan dengan lafal dan periwayatan dengan makna. Dalam prakteknya periwayatan hadis berdasarkan lafal jumlahnya relatif lebih kecil dibandingkan periwayatan hadis berdasarkan makna. Bahkan mayoritas hadis diriwayatkan berdasarkan makna dengan persyaratan harus memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan mendalam tentang bahasa Arab dengan segala cabangnya, pengetahuan tentang tema dan konteks hadis yang diriwayatkan, dan tujuan Nabi bersabda serta pengetahuan tentang syari’at agama.[x]
Pada awalnya orang menerima hadis secara lisan, sehungga ketika mereka menyampaikan hadis itu, mereka hanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan hadis, redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalah persepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadis berkembang sesuai penafsiran orang yang meriwayatkannya.
Sikap penerimaan ulama terhadap hadis berbeda-beda. Abu hanifah (81-150 H), seorang ulama yang berasal dari Kufah, mempergunakan hadis-hadis yang berstandar mursal dan munqathi’ karena menurutnya sedikit sekali hadis-hadis yang berstandar marfu’. Sedangkan hadis-hadis mursal dan munqthi’ banyak menggunakan akal dan qiyas dalam perumusannya.[xi] Sementara Imam Malik (94-179 H), ulama dari Madinah, mengembangkan periwayatan dan pemahaman hadis yang lain. Di kota Madinah berkumpul sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar dan tokoh-tokoh tabi’un yang lain. Hadis-hadis dari sahabat terdekat Nabi inilah yang dijadikan patokan berhujjah oleh Imam Malik. Karena tingkat kepercayaan merekalah, disamping tingkat kedekatannya kepada Nabi, maka Imam Malik hanya mau mengambil hadis dari mereka.[xii]
Imam Syafi’i (150-204 H) adalah ulama penerima dan pembela hadis mengenai hukum yang paling gigih sebagai suatu dasar hukum. Ia mencari hadis di Makkah dan Madinah, serta mempelajari kitab Muwattha’ Imam Malik. Untuk mengantisipasi perkembangan dan pemekaran pemikiran politik hukum dan kalam pada saat itu, dirasakan perlunya penyusunan pokok-pokok ajaran Islam yang standar dan seragam, yang dapat dijadikan pedoman oleh umat Islam pada saat itu dan untuk generasi berikutnya. Untuk menjaga integritas kaum muslimin secara keseluruhan –yang saat itu sudah terpecah-pecah menjadi Khawarij, Murji’ah, Jahmiyah dan lain-lain- langkah Imam Syafi’i untuk menyatukan ummat dengan bersandar pada otoritas hadis memang sangat diperlukan. Ajaran Ahl al-Sunnah wal Jama’ah yang semula hanya berorientasi kepada politik, akhirnya merembes dan menyebar merasuki wilayah hukum dan teologi.[xiii] Dari paparan di atas dapat dibuat rekonstruksi kembali mengapa muncul hadis-hadis yang cenderung membela aliran “tengah” yaitu Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dan mengecilnya arti penting kelompok lain, seperti Mu’tazilah. Orang yang datang belakangan tidak sempat lagi bertanya apakah pernah ada kelompok Mu’tazilah, Syi’ah dan lain-lain kelompok pada saat Nabi Muhammad masih ada.[xiv]
Ulama di belakang hari lebih suka menerima hadis sebagai apa adanya, seperti yang tertulis dalam kitab induk hadis sebagai produk jadi. Hadis yang terumuskan dari sunnah yang hidup saat itu mempunyai harga mati yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Pada gilirannya, orang sulit membedakan mana hadis-hadis yang bersifat mutlak –yang terbebas dari ikatan ruang dan waktu- yang berkaitan dengan akidah dan ibadah, dan hadis-hadis yang bersifat nisbi –yang terikat ruang dan waktu- yang menyangkut bidang muamalat, pergaulan hidup, adat kebiasaan, yang lebih mencerminkan suatu tradisi atau sunnah yang hidup pada suatu fase penggal sejarah tertentu.[xv]

IV.   PEMAHAMAN HADIS
Secara garis besar, tipologi pemahaman ulama dan ummat Islam terhadap hadis diklasifikasikan menjadi dua bagian. Yang pertama adalah tipologi pemahaman yang mempercayai hadis sebagai sumber daripada ajaran Islam tanpa mempedulikan proses panjang sejarah pengumpulan hadis dan proses pembentukan ortodoksi. Barangkali tipe pemikirannya yang oleh ilmuwan sosial dikategorikan sebagai tipe pemikiran yang ahistoris (tidak mengenal sejarah tumbuhnya hadis dari sunnah yang hidup pada saat itu). Tipe ini biasa juga disebut tekstualis. Yang kedua adalah golongan yang mempercayai hadis sebagai sumber ajaran kedua daripada ajaran agama Islam, tetapi dengan kritis-historis melihat dan mempertimbangkan asal-usul (asbab al-wurud) hadis tersebut. Mereka memahami hadis secara kontekstual.[xvi] Tipe pemahaman yang kedua ini tidak begitu popular karena pemahaman ini tenggelam dalam pelukan kekuatan Ahl al-Sunnah wal jama’ah yang lebih suka memahami hadis secara tekstual. Pemahaman secara tekstual ini diperlukan oleh Ahl al-Sunnah wal jama’ah karena dorongan untuk menjaga dan mempertahankan ekuilibrium kekuatan ajaran ortodok.[xvii]
Para pemerhati sejarah agama Islam sangat memahami kedudukan sentral Nabi Muhammad sebagai makhluk historis (yamsyuna fi al-aswaq) (al-Furqan, 25 : 20) yang selalu berhadapan dengan beberapa pilihan tata nilai yang bersifat pluralistik. Bahkan jika ditilik secara lebih tajam, ayat-ayat al-Qur’an yang mengilhami manusia muslim untuk berperilaku dan bertindak di muka bumi, menurut Prof Arkoun, adalah bersifat zamkaniy (zaman dan makan), yakni selalu melibatkan dimensi historisitas ruang dan waktu.[xviii] Asbab wurud al-Hadis tidak lain dan tidak bukan adalah dimensi historis hadis, dimana fundamental values selalu ada di belakangnya. Demikian juga dengan Asbab al-nuzul al-Qur’an merupakan dimensi historisitas al-Qur’an. Untuk faktor keteladanan  yang bersifat historis-empiris dalam diskursus keberagamaan Islam pada khususnya memang lebih diutamakan daripada konsepsi teo-filosofis yang transendental.
Konsep Asbab al-nuzul dan asbab al-wurud mempunyai kaitan yang erat dengan konsep lain yang juga amat penting, yaitu nasikh mansukh, berkenaan dengan sumber-sumber pengambilan ajaran agama, baik al-Qur’an maupun al-sunnah. Dalam konsep Asbab al-nuzul, asbab al-wurud dan nasikh mansukh terkandung adanya kesadaran historis di kalangan ahli hukum Islam. Adalah kesadaran historis ini, menurut Hodgson, yang menjadi salah satu tumpuan harapan bahwa Islam akan mampu lebih baik dalam menjawab tantangan zaman di masa depan. Kata Hodgson :
“Tetapi barangkali modal potensial terbesar Islam yang paling hebat ialah kesadaran historisnya yang jelas, yang sejak dari semula mempunyai tempat begitu besar dalam dialognya. Sebab kesediaan mengikuti dengan sungguh-sungguh bahwa tradisi agama terbentuk dalam waktu, dan selalu mempunyai dimensi historis, membuat agama itu mampu menampung ilham baru apapun ke dalam realita dari warisan dan dari titik tolak mulanya yang sangat kreatif, yang dapat terjadi lewat penelitian ilmiah atau pengalaman rohani baru.”[xix]
Pendekatan historis ini tidaklah berarti relativisasi total ajaran agama dan sifat yang memandang sebagai tidak lebih daripada produk pengalaman sejarah belaka. Tetapi hendak mencari pemahaman yang benar atas sebuah teks yang hadir pada kita. Persoalannya adalah bagaimana menangkap makna / pesan inti yang universal itu, yang tidak tergantung kepada konteks, juga tidak kepada sebab khusus dari sebab al-nuzul / al-wurud munculnya suatu ajaran atau hukum.
Yang menjadi persoalan juga adalah bagaimana kita mempersepsi suatu ungkapan linguistik untuk dapat melakuklan generalisasi tinggi dari makna immediatenya ke makna universalnya. Berkaitan dengan ini, penting sekali memahami penegasan dalam kitab suci bahwa Allah tidak mengutus seorang rasulpun kecuali dengan bahasa kaumnya (Ibrahim, 14:4). Bahasa termasuk kategori historis, dan kesadaran kebahasaan akan dengan sendirinya menyangkut kesadaran historis.[xx] Masalah kebahasaan mungkin akan ternyata tidak terbatas hanya kepada segi linguistiknya semata, tetapi juga kulturalnya.


Catatan Kaki:

[i] M. Amin Abdullah, ‘Kata Pengantar’ buku Studi Agama, Normatitivas atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hal. V.
[ii] Ibid, hal. 310.
[iii] M. Amin Abdullah, Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Keislaman, dalam Hamin Ilyas dan Muhammad Azhar (ed), Pengembangan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah, Purifikasi dan Dinamisasi, Yogyakarta, LPPI, 2000, hal. 4-5.
[iv] Ibid., hal. 5.
[v] Ibid., hal. 6.
[vi] Amina Wadud Muhsin, Qur’an and Women, Kuala Lumpur, Penerbit fajar Bakti, 1992, hal. 3.
[vii] Fazlur rahman, Islam dan Modernitas Tentang Transformasi Intelektual, Bandung, Penerbit Pustaka, 1985, hal. 7-8.
[viii] Richard E. Palmer, ‘Hermeneutics’ dikutip dalam Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta, yayasan Paramadina, 1996, hal. 17.
[ix] Ibid., hal. 18.
[x] Muhammad Thahir al-Jawabi, Juhud al-Muhaddisin fi Naqd Matn al-Hadis al-Nabawi al-Syarif, tt, Muassasat al-Karim ibn Abdullah, 1986, hal. 226
[xi] M. Rasyid Ridla, Muqaddimah al-Kitab Miftah Kunuz al-Sunnah, Beirut, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabiy, 1983, hal.10.
[xii] Ibid.
[xiii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 312
[xiv] Ibid., hal. 313.
[xv] Ibid., hal. 314-315.
[xvi] M. Quraish Shihab, ‘Kata pengantar’ dalam Muhammad Ghazali, Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan kontekstual, Bandung, Penerbit Mizan, 1989, hal. 8-9.
[xvii] Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 315.
[xviii] M. Arkoun, “al-Fikr al-Islamiy Qira’atun Ilmiyatun” dikutip dalam Amin Abdullah, Studi Agama, Op. Cit., hal. 64.
[xix] Marshal GS. Hodgson, The Venture of Islam, dikutip dalam Nurcholish Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta, yayasan Paramadina, 1994, hal. 35-36
[xx] Ibid., hal. 37.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar