Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Epistemologi Pendidikan Anak

Epistemologi Pendidikan Anak
Abastrak
Problem epistemologi pendidikan anak merupakan permasalahan urgen yang perlu dipertegas dalam mengurai “kegagalan pendidikan”. Epistemologi lebih penting dari pada sekedar ontologi ataupun aksiologi, karena epistemologi menjadi sarana memperbincangkan bagaimana pendidikan dilakukan. Sedangkan hakekat pendidikan dan untuk apa dilakukan telah terkonstruk secara establish melalui telaah ontologi dan aksiologi. Kenapa harus dengan tawaran qur’ani? Hal ini disebabkan pendekatan epistemologi pendidikan anak secara Barat-centris hanya memiliki kontribusi pada peningkatan rasionalitas yang tidak diimbangi dengan kultur moralitas anak didik yang mengakibatkan “dekadensi moral”. Secara historis, al-Qur’an telah mendata fakta interaksi pendidikan anak dari berbagai kurun sejarah masa lampau yang dinarasikan melalui contoh teladan para nabi dan rasul beserta orang saleh. Fakta historis pendidikan anak ini sangat relevan didekati dengan perspektif epistemologi.
Kata kunci: epistemologi, pendidikan anak, qur’ani.
A.    Pendahuluan
Pendidikan anak bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat empiris, tetapi juga bersifat filosofis, mengingat ungsur pokok manusia secara dasar terdiri dari jasmani (fisik) dan ruhani (non fisik). Hal ini memiliki signifikansi terhadap pendidikan anak dimana dalam prakteknya memerlukan landasan teori yang dibangun atas dasar empirik, dengan tidak menegasikan fakta non-empirik yang dapat didekati dari kajian filosofis, di antaranya aspek epistemologi.
Epistemologi (Nazariyat al-Ma’rifah) merupakan suatu cabang filasafat yang membahas tentang seluk beluk ilmu. Menurut  Mulyadhi Kartanegara setidaknya mencakup dua hal yaitu;  teori dan isi ilmu, serta metodologi.[1] Hal ini berimplikasi pada proses perolehan pengetahuan yang benar. Sebagaimana disampaikan oleh ‘Ali Shari’ati bahwa pengetahuan yang benar tidak bisa lahir kecuali dari cara berfikir yang benar, sedangkan cara berfikir yang benar itu hanya bisa muncul dari metode berfikir yang benar.”[2]
Relefansinya, persoalan metodologi adalah sesuatu yang sangat penting. Bahkan menurut Hasan Hanafi, “metodologi menyebabkan hidup matinya filsafat dan pemikiran.”[3] Dalam kontek ini menurut Baqir Sadr, “siapa yang tidak menguasai metodologi tidak mampu mengembangkan pengetahuannya.”[4]
B.     Realitas pendidikan anak
Pada tataran praktis pendidikan anak dilihat sebagai bagian dari tanggung jawab orang tua, masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini, dimulai dari lingkup terkecil yaitu orang tua. Sejak kelahiran seorang anak, setiap orang tua berharap anaknya sukses  dalam kehidupannya. Pemahaman bahwa keberhasilan dan kesuksesan anak dapat diraih dan ditentukan oleh aspek pendidikan membuat semakin kuat keinginan orang tua untuk mensekolahkan anak.
Alasan kesibukan, keterbatasan waktu dan kemampuan orang tua terkadang menjadi faktor mendasar untuk memasukkan anak pada lembaga pendidikan. Ditambah  kurangnya pegetahuan tentang perkembangan anak dan sumber belajar di rumah yang tidak memadai. Adanya tuntutan lembaga pendidikan setingkat di atasnya juga mendorong orang tua untuk mensekolahkan anak.
Begitu tinggi harapan orang tua terhadap lembaga pendidikan, lembaga pendidikan terkadang tidak lagi mempertimbangkan faktor-faktor kejiwaan anak didik.[5] Akibatnya anak dituntut untuk menguasai sejumlah kompetensi tertentu yang terkadang tidak sesuai dengan kemampuan anak. Ironisnya, hal ini biasanya terjadi tanpa disadari oleh orang tua dan penyelenggara pendidikan.
Aspek lain menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi di era globalisasi dewasa ini hampir menjadikan dunia tidak ada batas antar wilayah dan negara. Hal ini berdampak masuknya budaya dan informasi dari negara lain ke dalam budaya lokal sangat mudah, bahkan tidak dapat dihindarkan. Baik melalui telivisi,[6] internet maupun media lainya.
Krisis moralitas anak juga dengan mudah dapat diketahui melalui layanan informasi, pemberitaan dan surat kabar. Krisis moral ini terlihat dari dua aspek. Pertama: krisis moral yang dilakukan oleh anak sehingga memposisikan anak sebagai subyek kejahatan.[7] Kedua: krisis moral terhadap anak yang dilakukan orang, sehingga menjadikan anak sebagai obyek tindak kejahatan.[8]
Pada dimensi pelaksanaan pendidikan dasar di Indonesia oleh pemerintah, baru saja komitmen pemerintah dinilai E dari rentangan nilai A-F mendudukkan Indonesia pada peringkat 10 dibawah India dan di atas Nepal dari 15 negara di Asia. Indikator yang digunakan pada penilaian tersebut adalah: kelengkapan pendidikan dasar, kebijakan pemerintah untuk pendidikan gratis, kualitas input, kesetaraan gender dan kesetaraan faktor pendukung pendidikan secara keseluruhan.[9]
Permasalahan lain pada tingkat pendidikan formal, pendidikan semestinya menyediakan lingkungan yang kondusif untuk memberdayakan siswa belajar, bukan sekedar tempat untuk mentransfer ilmu dari guru kepada murid. Artinya pendidikan merupakan masyarakat belajar, yang menjadikan semua proses, dan komponen lingkungan menjadi sumber belajar. Murid semestinya dilibatkan aktif mencari dan membentuk dirinya sendiri, bukan semata-mata disiapkan orang lain. Dengan dimikian pendidikan merupakan pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia. Pada kenyataannya, pendidik adalah totalitas subyek dan peserta didik sebagai fokus obyek pendidikan. Hal ini jelas mengakibatkan pamasungan kreativitas murid. Namun, untuk mengubah secara drastis sistem pendidikan yang sudah berjalan puluhan tahun itu bukan pekerjaan mudah.
Pada aspek kurikulum yang sarat muatan tampaknya tidak hanya menyulitkan murid, tetapi juga bagi sebagian guru. Guru memberi banyak materi dan tugas kepada murid, karena tuntutan harus menyelesaikan kurikulum. Belum lagi tugas-tugas administratif guru, seperti membuat program satuan pengajaran, rencana pengajaran, program semester dan program tahunan, dan sebagainya.
Berbagai fenomena ini secara langsung maupun tidak, mulai dari problem tanggung jawab pendidikan anak di lingkungan rumah tangga, fakta empirik moralitas anak sampai pada pendidikan formal di sekolah, mengindikasikan adanya “krisis pendidikan anak”. Ditambah pengaruh negatif globalisasi dan kecanggihan teknologi akibat moderenisasi, semakin mengkonsdisikan kehidupan anak dalam kekhawatiran dekadensi moral.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi permasalah pendidikan tersebut, namun belum memberikan jalan keluar yang cukup berarti. Usaha itu di antaranya terdapat dua kecenderungan, yang secara mendasar ingin mengubah cara pandang tentang pengelolaan pendidikan melalui sekolah/ madrasah. Kecenderungan pertama disebut dengan gerakan sekolah-sekolah sukses, bertujuan menemukan manajemen sekolah yang unggul. Sedangkan gerakan kedua terfokus pada inovasi dan pengembangan strategi pembelajaran.
            Pada lokus pertama, misalnya gerakan yang dilakukan di lingkungan Depag menyangkut status madrasah. Menurut Husni Rahim pembenahan madrasah harus diawali dengan tekad untuk mewujudkan madrasah sebagai “sekolah unggulan” yang mampu memadukan kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman dan taqwa. Nilai plus madrasah terletak pada pendidikan keimanan yang menekankan kepekaan hati dan ketajaman akal. [10]
 Dalam sistem pendidikan nasional, lembaga madrasah diakui dalam jalur pendidikan sekolah. Hal ini berarti menghapus kesenjangan antara lembaga pendidikan sekolah dengan lembaga pendidikan madrasah sebagaimana terjadi pada masa lalu. Dengan demikian madrasah menggunakan kurikulum yang sama dengan sekolah.
            Transformasi lembaga pendidikan Islam tersebut membuka peluang untuk menemukan penyelenggaraan pendidikan unggulan. Riilnya terjadi trend baru dalam mengelola madrasah/sekolah dengan spesifikasi sekolah model, unggulan, favorit, plus, percontohan dan sebagainya, sehingga dapat menarik peserta didik lebih banyak lagi.
            Model seperti di atas dalam level pendidikan dasar dapat dijumpai di kota-kota tertentu. Misalnya MIN I dan SDI Sabilillah di Malang, SD Ciputra, SD Al-Hikmah dan SD Bina Insan Mulia di Surabaya, SD Al-Azhar di Jakarta. Bahkan pendidikan pra-sekolahpun banyak dijumpai dengan model dan standar tersebut, misalnya di wilayah kota Malang terdapat TK Harapan Bunda, TK Anak Sholeh, TK Al-Kautsar. Di lingkungan Surabaya seperti Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KBTK) Ya Bunayya Hidayatullah, TK Al-Hikmah, dan TK Pembina.
            Kecenderungan pengembangan pada lokus kedua terlihat dalam aspek inovasi strategi pendidikan. Dalam hal ini contoh inovasi yang dilakukan oleh Depdiknas dan Depag selama beberapa dekade terakhir, seperti Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), Guru Pamong, Sekolah Persiapan Pembangunan, Sekolah kecil, Sistem Pengajaran Modul, Sistem Belajar jarak jauh. Bahkan inovasi yang terakhir diterapkan adalah model Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang dalam proses KBM-nya didukung oleh penerapan Contectual Teaching & Learning (CTL), Quantum Learning, dan Active Learning. Namun model-model inovasi seperti ini banyak yang tidak bertahan lama dan hilang, tenggelam begitu saja.
Problematika pendidikan anak dengan solusi yang sudah dilakukan pada lokus-lokus tersebut, masih menyisakan kemungkinan untuk mencari solusi lainya. Yaitu dari aspek bangunan keilmuan pendidikan anak. Hal ini dimaksudkan dengan cara mengkritisi kembali masalah pendidikan anak, dengan menggali, menafsirkan, mengembangkan dan memeperbaharui konsep-konsep yang telah ada. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi berbagai stereotype pendidikan anak, agar khusunya pendidikan Islam lebih solid ditengah gencarnya arus perubahan globalisasi dan modernisasi.
C.    Problem epistemologi pendidikan anak
Aspek epistemologi dalam kerangka pendidikan, menyediakan ruang untuk memperdebatkan persoalan filosofis yang tidak dapat dijawab oleh wilayah ilmu,[11] karena sifat ilmu menjunjung sakralitas nilai-nilai ilmiah dengan mendasarkan pada wilayah fisik-empirik. Perdebatan dalam wilayah epistemologi pendidikan menurut Muhaimin menyangkut “pengembangan potensi dasar manusia (fitrah), pewarisan budaya, dan interaksi antara potensi dan budaya. Pada tataran praktis juga memperdebatkan masalah kurikulum pendidikan, metode, pendidik dan anak didik.”[12]
Pertanyaan epistemologis di atas mengarah pada upaya pengembangan pendidikan berkaitan dengan persoalan konsep dasar dan sekaligus metodologinya. Oleh karena itu pada kontek yang lebih umum, jika subtansi pendidikan Islam merupakan paradigma ilmu -menurut Abdul Munir Mulkhan- maka “problem epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga merupakan problem pendidikan Islam.”[13]
            Di antara problem pendidikan Islam ini, dapat ditemukan pada fariasi konsep pendidikan yang diajukan oleh para ulama dengan istilah tarbiyah,[14] ta’lim dan ta’dib.[15] Istilah-istilah tersebut tentunya tidak muncul dari ranah kosong, akan tetapi memiliki akar filosofis dan implikasi praktis dalam pendidikan. Problem ini menegaskan kembali hakekat pendidikan; apakah sekedar proses pendewasaan,  pemindahan pengetahuan (transfer of knowledge), atau penanaman nilai, ataupun lainnya.
            Aspek problem metodologi pendidikan anak, telah menjadi perhatian para ulama sejak awal. Hal ini terbukti dengan munculnya pemikir-pemikir pendidikan. Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan khazanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan.[16] Hanya saja menyisakan keprihatinan, karya-karya fenomenal tersebut tidak banyak ditemukan lagi.
            Karya-karya tersebut pada dasarnya berada dalam satu arus pemikiran yang sama. Intinya, betapa permasalahan mendasar pendidikan anak perlu dirumuskan dalam disiplin ilmu. Namun demikian diperlukan rumusan yang jelas dan terinci mengenai bangunan keilmuan pendidikan anak tersebut. Tampaknya para pemikir pendidikan di atas memberikan gagasan-gagasan awal yang perlu dikembangkan dalam kajian lebih lanjut. Finalnya terbuka arah penelusuran untuk mengembangkan epistemologi pendidikan anak perspektif al-Qur’an.
D.    Tawaran epistemologi pendidikan qur’ani
            Otentisitas al-Qur’an sebagai kitab suci tentu tidak menyisakan ruang untuk diperdebatkan. Akan tetapi al-Qur’an sebagai sumber segala ilmu,[17] yang memuat dimensi epistemologis bagi pendidikan anak, hal ini perlu ditemukan dan dikembangkan. Pendidikan Islam dengan karakteristik agama, menjadikan dasar-dasar agama sebagai landasan pendidikan,[18] utamanya al-Qur’an.
            Telah banyak jasa para mufassir untuk menguraikan kehendak ilahi pada teks-teks suci, dengan berbagai corak pendekatan dan aliran penafsiran yang mereka lakukan.[19] Akan tetapi produk-produk  penafsiran tersebut tidak menafikan sebagai produk sejarah yang tidak dapat mengelak sepenuhnya dari tuntutan ruang dan waktu saat pertama kali dimunculkan.[20] Dari sini terlihat bahwa al-Qur’an didekatai dari perspektif sejarah.
            Tidak ada garansi bahwa teks-teks dokumenter khazanah intelektual mufassir tersebut sebagai turunan teks suci, identik dan menyuarakan secara utuh apa yang seharusnya.[21] Apalagi, semua wacana yang terekam dalam teks dokumenter warisan masa lalu itu tidak mungkin mewadahi dan memperbincangkan problematika yang terjadi saat ini ditengah masyarakat Islam.[22] Oleh karenanya, tekstualitas sejarah ditarik pada makna kontektual dengan tidak meninggalkan ungsur kesejarahan.
            Berdasar pada urain tersebut, maka pemaknaan terhadap nilai sejarah dalam al-Qur’an, di antaranya kisah-kisah yang dapat didekati dengan perspektif pendidikan anak, menjadi sebuah keniscayaan untuk dikaji. Kisah-kisah dimaksud dengan spesifikasi interaksi orang tua dan anak semisal Luqman dan anaknya, Nabi Nuh dan Kan’an, Nabi Ibrahim dan Isma’il, Nabi Ya’kub dan Yusuf, Maryam dan Isa.
            Kisah-kisah interaksi pendidikan pada tokoh sejarah yang dinarasikan dalam teks Al-Qur’an ini tidaklah sama dengan teks sejarah konvensional. Sebab makna-makna sejarah yang direkam al-Qur’an tidak lain untuk pelajaran dan contoh bagi umat Islam. Karenanya harus dikeluarkan dari domain sejarah untuk menemukan pelajaran (‘ibrah)  dalam kontek pendidikan. Sebab sejatinya historisitas itu sendiri bukanlah tujuan utama dari kisah-kisah al-Qur’an.[23]
Berdasarkan tinjauan filosofis pendidikan anak yang selama ini berkembang, begitu kuat tesis yang dijadikan pedoman bahwa otorisasi pendidikan anak hanya terfokus pada lingkungan sang pendidik (aliran empirisme). Anti tesis berikutnya menegaskan bahwa  pendidikan tidaklah manjur untuk mengubah heriditas dan ketentuan kodrati (aliran naturalisme). Kemudian memunculkan aliran konvergensi; sebuah sintesa antara kedua aliran filsafat pendidikan tersebut dimana didalamnya mungkin termasuk pendidikan anak dalam al-Qur’an.
            Pada kajian ini diperoleh gambaran awal bahwa kisah-kisah pendidikan anak yang dinarasikan oleh al-Qur’an, secara filosofis memuat fariabel-fariabel unsur baku pembentuk pendidikan. Di antaranya (1) pendidik dengan segala  kompetensinya; (2) peserta didik dengan etika akademiknya; (3) materi pendidikan dengan tujuannya; (4) metode pendidikan dengan efektifitasnya, (5) lingkungan pendidikan dengan pengaruhnya, dan (6) kontruksi epistemologi dengan cara kerjanya. Unsur dasar tersebut selama ini lazimnya diposisikan sebagai perpaduan antara faktor teoritis dan praktis yang memunculkan keyakinan akan kegiatan pendidikan terhadap manusia, oleh manusia, bertujuan mengembangkan hakekat kemanusiaan.
            Telaah awal juga menunjukkan, bahwa Luqman Hakim merupakan profil pendidik anak yang sukses. Kesuksesannya terletak pada idealitas prinsip pendidikan yang diterapkan kepada anaknya. Yaitu pengembangan pendidikan anak yang bertumpu pada kekuatan intelektual, emosional dan spiritual untuk terbentuknya potensi iman, Islam dan ihsan. Keteladanannya sebagai pendidik ditandai dengan kompetensi sikap bijaksana (hikmah). Demikian pula harmonisasi dalam interaksi pendidikan ditunjukkan dengan metode yang humanis dan dialogis (mauizah).
Pendidikan yang diterapkan oleh Luqman Hakim pada anaknya meliputi empat hal. Pertama: pendidikan keimanan (aqidah). Pendidikan inilah yang pertama kali dilakukan Luqman kepada anaknya untuk menanamkan keyakinan bahwa Allah sebagai Dzat Yang Maha Esa yang harus disembah dan melarang perbuatan syirik.
Kedua: pendidikan syari’ah (ibadah). Ruang lingkup syari’ah meliputi interaksi vertikal seorang hamba dengan Allah yang direalisasikan  melalui ibadah, dan interaksi horizontal yang dilakukan dengan sesama manusia (muamalah). Dalam hal ibadah ini Luqman mengajarakan salat kepada anaknya, lalu diperintahkan untuk membiasakan sikap baik terhadap keluarga terdekat.
Ketiga: pendidikan akhlak. Dalam bidang akhlak, pendidikan yang mula-mula dilakukan Luqman kepada anaknya adalah dengan memperkenalkan etika baik terhadap kedua orang tua. Prinsip berbakti ini dengan cara melakukan segala yang diperintahnya, dan menjauhi segala larangannya selama dalam batas tidak melanggar syari’at Islam.
Keempat : Pendidikan sosial. Setelah anak dikenalkan konsep akhlak kepada tuhannya melalui jalan ibadah, dan berbakti kepada kedua orang tuanya, berikutnya diajarkan padanya akhlak dalam kontek kemasyarakatan mencakup etika pergaulan (bertemu), berbicara dan berjalan. Empat prinsip dasar pendidikan Luqman Hakim kepada anaknya tersebut memenuhi target untuk membentuk insan kamil yang terdiri dari kesempurnaan aqidah, syariah dan akhlak (Iman, Islam dan Ihsan).
F.      Teoritical mapping pendidikan anak
Penelitian terdahulu tentang epistemologi pendidikan anak dalam Al-Qur'an belum ditemukan. Adapun penelitian tentang pendidikan anak banyak ditemukan, baik dalam bentuk Library Research ataupun Field Research. Liberaray Research dilakukkan oleh pakar pendidikan Islam dan didokumentasikan dalam buku yang diterbitkan. Sedangkan Field Research dilakukan oleh Mahasiswa pada tingkat S-2 dan S-3 berupa laporan penelitian. Berikut ini beberapa hasil penelitian berhubungan dengan pendidikan anak.
Cholid Abri dalam bukunya tentang Wasiat Dan Mutiara Hikmah Luqman Al-Hakim menyimpulkan dalam dua bagian. Pertama wasiat dan mutiara hikmah Luqman meliputi larangan mempersekutukan Allah dan larangan bersikap sombong dalam bertutur kata dan berprilaku. Kedua meliputi perintah mendirikan salat, amar ma’ruf nahi mungkar, bersabar, melunakkan suara dan sederhana dalam berjalan.[24] [25]
            Penelitian (Field Research) pada tingkat disertasi dilakukan oleh Choirul Bashor. Kesimpulan yang diajukan: pengetahuan dan pengalaman para pengasuh mempengaruhi perilaku anak asuh. Ungkapan klasik pendidikan patut dikemukakan,  bahwa anak adalah cermin keluarga, keluarga adalah tempat mengasuh dan mendidik anak yang pertama dan utama.[26]
            Penelitian semisal diatas dilakukan oleh Asiah Hamzah. Hasil penelitan ini menyimpulkan: pengasuhan anak dipengaruhi oleh budaya asal ibu, pengasuhan anak merupakan produk budaya etnik ibu dan pengasuhan anak merupakan hasil interaksi budaya antara ibu dengan masyarakat tempat ibu berada.[27]
            Penelitian dalam bentuk buku yang diterbitkan, diantaranya dilakukan oleh Al-Husain Abd Al-Majid Hasyim. Pembahasan pendidikan anak dikaji pada pokok pikiran berikut: pertama memposisikan kedudukan dan hak anak menurut Islam. kedua memelihara kehidupan dan perkembangan anak. Ketiga pengaruh pemberian makanan terhadap perkembangan fisik, akal pikiran dan pendidikan. Keempat pendidikan anak menurut Islam. [28]
            Muhammad Sa’id Mursi mengemukakan terobosan mendidik anak dalam Islam. Tema besar yang dikembangkan adalah pertama: pendidikan anak wujud tanggung jawab orang tua. Kedua: bagaimana berinteraksi dengan anak; dengan mengenali karakteristiknya, mengenali kebutuhannya, memahami pertanyaannya, memahami rangsangan dan motivasinya. Ketiga: menjaga kesehatan anak; dengan menjauhkan dari nutrisi yang buruk, mengatasi gangguan kesehatan dan gangguan psikis. [29]
            Sadik Sama’an meninjau karakteristik kejiwaan anak dengan pendekatan bakat (almauhibah). Proses pembahasannya berangkat dari asumsi adanya karakteristik bakat yang cemerlang pada anak. Pembahasan dikembangkan pada tinjauan upaya menemukan bakat, menumbuhkan dan memahami hambatan-hambatanya. Pada fokusnya membahas anak berbakat di rumah dan peran sekolah terhadap pengembangan bakat.[30]
            Djawad Dahlan membahas pendidikan keimanan di rumah tangga bagi anak usia 0-5 tahun (balita). Kesimpulan yang dihasilkan, 1) pentingnya pendidikan agama bagi anak usia 0-5 tahun yang disesuaikan dengan perkembangan biologis dan psikologis anak. 2) Tujuan pendidikan keimanan terintegrasikan dengan materi keimanan yang tampak dalam berbagai kecakapan, seperti  hafalan berbagai do’a, ayat Al-Qur’an, bacaan shalat, dan kecakapan bersopan santun terhadap orang tua dan anggota keluarga. Alat pendidikan keimanan diusahakan melalui pencipataan suasana kehidupan religius di rumah.[31]
            Zakiah Daradjat melanjutkan tema Dahlan diatas, yaitu tentang Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 tahun. Menurutnya, pembinaan keimanan yang tangguh seharusnya dimulai dalam keluarga, sejak anak lahir bahkan  sebelum lahir sampai akhir masa remaja. Apabila pendidikan terabaikan di dalam keluarga, terutama sampai akhir masa kanak-kanak (12 tahun), akan sulitlah bagi anak menghadapi perubahan cepat pada dirinya, sehingga tidak jarang membawa kegoncangan emosi. Untuk mendidik dan membekali anak dengan keimanan yang teguh, dan kuat diperlukan pemahaman tentang pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaan serta kepribadian anak. [32]
            Dalam hal penelitian terdahulu tentang pendidikan anak dari dimensi manajemen, kebijakan, dan inovasi pengajaran, maka ada beberapa tesis dari hasil Field Risearch yang perlu dikemukakan. Penelitian Zainul Malik mencermati Problematik Pengelolaan Sekolah Kecil: Studi Kasus di Sekolah Dasar Al-Thahiriyah Gresik. Beberapa hasil temuanya diantaranya bahwa SD tersebut mengaplikasikan manajemen modern dengan proses merencanakan, mengorganisasikan, memimpin dan mengendalikan. Usaha ini diimbangi dengan peningkatan SDM meliputi ketenagaan, dana dan sarana prasarana.[33]
            M. Basri Mustofa dalam tesisnya menyimpulkan bahwa pendidikan harus dapat melestarikan dan mengembangkan potensi-potensi kebaikan (akhlak) yang dibawa peserta didik sejak lahir di usia dini, sebagaimana yang dilakukan Kelompok Bermain dan Kanak-Kanak (KBTK) Ya Bunayya Hidayatullah. Untuk melestarikan dan mengembangkan potensi-potensi kebaikan tersebut, KBTK menentukan kurikulum dengan menggunakan metode-metode  yang tepat sesuai dengan perkembangan dan kemampuan anak didik.[34]
            Masalah implementasi kurikulum berbasis kompetensi dalam bidang studi pendidikan agama di SD diteliti oleh Rahmatul Ula. Kesimpulannya diantaranya bahwa dampak positif pelaksanaan KBK sangat dirasakan oleh para guru PAI maupun siswa. Hal ini terlihat pada siswa dalam hal aktif bertanya, rasa ingin tahu yang sangat tinggi terhadap masalah-masalah agama, semangat ukhuwah, dan meningkatkan sikap keagamaan siswa. Kompetensi siswa  untuk mengamalkan ajaran Islam lebih menonjol  daripada sekedar pemahaman teori.[35]
            Penelitian tentang pengembangan kurikulum juga dilakukan oleh Zakariah. Pengembangan disini dilakukan dengan memodifikasi antara kurikulum Diknas dan kurikulum khas Al-Hikmah dengan menerapkan metode pengajaran yang mengacu pada tiga ranah kognitif, afektif dan psikomotor secara berimbang. Pengembangan kurikulum mencakup aspek tujuan, materi, metode dan evaluasi. Hasil pengembangan kurikulum tersebut diaplikasikan dalam sistem full day school yang tetap mengacu pada integreted curriculum dan integreted activity.[36]
            Dalam hal proses belajar, Mahfud Anwari meneliti pengaruh pembelajaran Quantum Teaching terhadap prestasi belajar siswa di SD Al-Hikmah Surabaya. Kesimpulannya: pembelajaran Quantum Teaching menekankan tumbuhnya motivasi belajar siswa dalam pembelajaran. Salah satu caranya adalah mendayagunakan bermcam-macam interaksi sehingga para siswa dapat berkolaborasi dengan temannya untuk memikirkan pelajaran yang dihadapi, dan dalam penerapannya juga memperhatikan modalitas Visual, Audio dan Kinestetik siswa.[37]
            Berdasarkan uraian diatas, maka hasil penelitian terdahulu tersebut dapat dipetakan bahwa; 1) penelitian tentang konsep pendidikan anak yang dilakukan oleh para pakar/ peneliti pendidikan bersifat umum, dengan menggunakan berbagai pendekatan diantaranya psikologi, bakat, kejiwaan dan agama. 2) Penelitian tentang strategi, inovasi dan penerapan manajemen pendidikan banyak dilakukan dalam model Field Research. 3) Tidak ditemukan penelitian menyangkut epistemologi  pendidikan anak dalam Al-Qur’an.
E.     Penutup
             Epsitemologi pendidikan Barat tampaknya memberi prioritas perkembangan anak didik pada aspek kekuatan intelektual dibanding dengan kesadaran moral. Akibatnya, “dekadensi moral anak” terjadi sebagai ekses dari intelektualitas yang tidak diimbangi dengan moralitas. Indikasi kemerosotan moral itu memposisikan anak sebagai subyek kejahatan dan sekaligus obyek tindak kejahatan.
            Epistemologi pendidikan al-Qur’an menggambarkan proses pendidikan yang harmonis, dialogis, penuh dengan uswah (teladan) dan mempertimbangkan emosional serta rasional anak didik. Pendidikan anak diarahkan pada kekokohan akidah sebagai landasan kehidupan, dilanjutkan dengan penguatan ibadah sebagai realisasi atas akidah, serta kesalehan sosial sebagai standar kesalehan ibadah. Pembinaan akidah, ibadah dan akhlak ini representasi dari epistemologi pendidikan anak qur’ani.

===============



[1]Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.
[2]‘Ali Shari’ati, Humanisme antara Islam dan Madzab Barat, ter. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka Hidayah, 1992), 28.
[3] Hasan Hanafi, Dirasat Falsafiyah (Kairo: Maktabat Al-Misriyah, tt), 261.
[4] Baqir Sadr,  Falsafatuna,  ter. Nur Mufid (Bandung: Mizan, 1999), 25.
[5] Misalnya pendidikan di Taman Kanak-kanak. Meskipun TK semestinya tempat untuk bermain dan bersuka ria, pada praktiknya anak-anak TK diajari menulis, membaca dan berhitung secara berlebihan. Meskipun Depdiknas melarangnya, namun guru TK tetap mengajarkannya. Alasannya, SD/MI hanya mau menerima anak TK yang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung. Ditambah lagi dengan adanya model full day school, semakin  membatasi masa kanak-kanak.
[6] Pengaruh globalisasi dan kemajuan ilmu serta teknologi ini dalam dunia anak dapat dijumpai pada berbagai sajian tayangan program televisi yang didominasi dari produk impor. Dalam hal Film kartun sederetan judul faforit yang digemari anak misalnya: Tele Tubbis, Crayon Shincan, Doraemon, Ninja Hatori, Hamtaro, Popeyee, Scooby doo, Dragon Ball, ataupun film laga anak seperti Boboho dan Sakalaka boom bom.
[7] Sebagai subjek kriminal berbagai kasus yang ditulis oleh wartawan dalam surat kabar seperti; Anak membunuh ayah kandungnya (Jawa Pos, 27 Februari 2004), Anak SD tawur 1 tewas (Jawa Pos, 29 Maret 2004), Anak jadi pedagang seks komersial (Jawa Pos, 9 Februari 2004), dan sindikat cilik perdagangan narkoba (Jawa Pos, 27 Juli 2005).
[8] Sebagai objek kriminal seperti kasus Anak ingusan diperkosa, Siswa MTs mengaku  disodomi, ABG jadi korban trafficking, demikian halnya akibat korban penculikan dan pembunuhan. Untuk data kekerasan terhadap anak ini lihat Irwanto et. al., Perdagangan Anak di Indonesia (Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional, 2001), 9.
[9] Hasil yang memprihatinkan tersebut  berdasarkan penilain Asian South Pacific Bureau of Adult Education dan Global Campaig for Education. Jawa Pos, 14 Juli 2005, 10.
[10] Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Logos,  2001), 142.
[11] Di antaranya berhubungan dengan permasalahan karakteristik anak cerdas yang didasarkan pada keseimbangan antara kompetensi intelegensia (Intelegensia Quotient /IQ), kecerdasan emosi (Emotional Quotient/EQ), dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ). Anak yang dilahirkan dengan IQ tinggi (karena faktor keturunan), memerlukan dukungan faktor lingkungan agar memiliki EQ dan SQ. Lihat Ali Nugraha et. al., Kiat Merangsang Kecerdasan Anak (Jakarta : Puspa Swara, 2003), 2.
[12] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah, Madarasah dan Perguruan Tinggi  ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), 66.
[13] Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah (Yogyakarta: SIPRES, 1993), 213.
[14] Penggunaan istilah tarbiyah ini di antaranya didukung oleh Abd Rahman Al-Nahlawi, Miqdad Yaljan, dan Mahmud Sayyid Sultan. Lihat  Abd Rahman Al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha  fi-Al-Bait wa al-Mujtama’ (Mesir:Dar al-Fikr, 1988),  12. Miqdad Yaljan,  Jawanib al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1987), 11. Mahmud Sayyid Sultan, Mafahim Tarbiyah Fi al-Islam (Dar al-Ma’arif, tt) , 132.
[15] Istilah ta’dib diajukan oleh Naquib Al-‘Attas. Lihat Naquib Al-‘Attas, Konsep Pendidikan Islam  (Bandung: Mizan, 1996), 66.
[16] Di antaranya yang relevan dengan pendidikan anak; adab al-Mua’alimin (Muhammad Ibn Sahnun wafat 256 H), Ta’lim al-Sibyan wa ahkam al-Mu’alimin (Al-Qabisi w. 403 H), ayyuha al-Walad (Al-Ghazali w. 505 H), Ta’lim al-Muta’allim (Al-Zanuji w. 591 H), Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar Al-Haitami w. 947 H), Siyasat al-Sibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani w. 395 H), Tadkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim fi adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (Ibn Jama’ah w. 733), Jami’ Jawami’ Al-Ihtisar (al-Maghrawi w. 902 H). Lihat Ahmad Fuad al-Ahwani, al-Tarbiyah Fi al-Islam ( tp. Dar al-Ma’arif: tt), 55-56, Abd al-Ghani ‘Abud, al-Fikr al-Tarbawi Ind al-Ghazali, (Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982) 45.
[17] Dapat dilihat pada justifikasi ayat-ayat berikut: Kitab (Al-Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (Al-Qur’an, 2:2). Tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan (Al-Quran, 6: 38).
[18] Menurut Al-Nahlawi Al-Qur’an,  dan al-Sunnah sebagai asas pokok pendidikan Islam. Darajat menambahkan dengan asas ijtihad, dan Hasan Langgulung menambahkan dengan qaul sahabat, masalih al-Mursalah dan urf. Lihat Al-Nahlawi, Usul al-Tarbiyah, 28, Zakiyah Darajat,  Filsafat Pendidikan Islam  (Jakarta: Bulan Bintang, 1991),  17, Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980), 189.
[19] Mustafa Al-Sawi al-Juwaini membagi aliran (madrasah) ahli tafsir menjadi tiga, yaitu aliran dengan pendekatan bahasa (al-Madrasah al-Lughawiyah), aliran dengan pendekatan akal (Al-Madrasah Al-Aqliyah), dan aliran dengn pendekatan hadith (Madrast al-Tafsir bi al-Ma’thur. Lihat Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manahij fi al-Tafsir (Iskandariyah: Dar al-Ma’rif, tt), 45.
[20] Hal ini sesui dengan kaedah al-Ibrah bi Khusus al-Sabab La bi ‘Umum al-Lafz.
[21] Oleh karenanya dilakukan berbagai tawaran pendekatan baru dalam membaca Al-Qur’an, seperti yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid dengan Mafhum al-Nas,dan  Muhammad A. Khalaf Allah dengan Al-Fann al-Qasasi  fi al-Qur’an al-Karim. Disampin Hasan Hanafi dengan Al-Turath wa Al-Tajdid-nya dan Muhammad Arkoun dengan Naqd al-‘Aql al-Islami.
[22] Al-Ibrah bi ‘Umum Al-Sabab la bi Khusus Al-Lafz.
[23] Hal ini dapat dilihat pada ayat berikut:
ôs)s9 šc%x. Îû öNÎhÅÁ|Ás% ×ouŽö9Ïã Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# 3 $tB tb%x. $ZVƒÏtn 2uŽtIøÿム`Å6»s9ur t,ƒÏóÁs? Ï%©!$# tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿ@ÅÁøÿs?ur Èe@à2 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 tbqãZÏB÷sムÇÊÊÊÈ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. Al-Qur’an, 12 : 111.
[24] Cholid Abri, Wasiat dan mutiara Hikmah Luqman AL-Hakim (Surabaya: Risalah Gusti, 1995).111.

[26] Choirul Bashor, “Pola Asuh Dan Pola Emosi Anak Balita Yang Ditinggal Kerja Ibu Di Luar Daerah: Studi Etno Metodologi dan Interaksi Simbolik pada Pengasuhan Anak Balita”, dalam Kontruksi Ilmu-Imu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial PPS Unair Surabaya, ed. Haris Supratno (Surabaya: Unesa University Press, 2003), 989.
[27] Asiah Hamzah,  “Pola Asuh Anak Pada Etnik Jawa Migran Dan Etnik Mandar”, Ibid., 1000.
[28]  Al-Husain Abd Al- Majid Hasyim et.al., Pendidikan Anak Menurut Islam: Sebuah Pendekakatan Praktis, ter. Abdullah Mahadi (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), xiii.
[29] Muhammad Sa’id Mursi, Melahirkan anak Masya Allah: sebuah terobosan baru dunia pendidikan anak,  ter. Ali Yahya. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998), 5-63.
[30] Sadik Sama’an, Anak-Anak Yang Cemerlang, ter. Zakiah Daradjat ( Jakarta: Bulan Bintang, 1980), 6.
[31] Djawad Dahlan, “Pendidikan Keimanan di rumah tangga bagi anak usia 0-5 tahun (balita)”, dalam Pendidikan Agama Dalam Keluarga,  ed. Ahmad Tafsir (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), 65-96.
[32] Zakiah Daradjat, “Pendidikan Agama dalam Keluarga bagi Anak Usia 6-12 tahun”, Ibid., 97-116.
[33] Zainul Malik, “Problematik Pengelolaan Sekolah Kecil: Studi Kasus di Sekolah Dasar Al-Thahiriyah Gresik”, dalam Antologi Kajian Islam seri 8 (PPS Sunan Ampel press: 2005), 182-184.
[34] M. Bahri Mustofa, “Pengenmbangan Potensi Anak Prasekolah: Studi Metode Pengajarajan Akhlak di Kelompok Bermain dan Taman Kanak-Kanak (KBTK) Ya Bunayya Hidayatullah Surabaya”, Ibid., 189-189.
[35] Rohmatul Ula, “ Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi Dalam Bidang Studi Pendidikan Agama Islam: Studi Deskriptif terhadap Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi di SDN Pucang I Sidoarjo”, Ibid., 194.
[36] Zakariah, “ Pengembangan Kurikulum Pendidikan Islam (Studi Kasus di SDI Al-Hikmah Surabaya)”, Ontologi Kajian Islam Seri 5 (PPS IAIN Sunan Ampel Press: 2003), 155.
[37] Mahfud Anwari, “ Pengaruh Pembelajaran Quantum Teaching Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SD Al-Hikmah Surabaya’, Ibid., Seri 8, 199.


Literatur

‘Abud, Abd al-Ghani. al-Fikr al-Tarbawi Ind al-Ghazali.. Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1982.
Abri, Cholid. Wasiat dan mutiara Hikmah Luqman AL-Hakim. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Al-‘Attas, Naquib. Konsep Pendidikan Islam . Bandung: Mizan, 1996.
al-Ahwani, Ahmad Fuad. al-Tarbiyah Fi al-Islam.  tp. Dar al-Ma’arif: tt.
al-Juwaini, Mustafa al-Sawi. Manahij fi al-Tafsir. Iskandariyah: Dar al-Ma’rif. tt. 
Al-Nahlawi, Abd Rahman. Usul al-Tarbiyah a-Islamiyah wa asalibiha  fi-Al-Bait wa al-Mujtama’. Mesir:Dar al-Fikr, 1988.  
Darajat,  Zakiyah.  Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta: Bulan Bintang, 1991.  
Hanafi, Hasan. Dirasat Falsafiyah. Kairo: Maktabat Al-Misriyah, Tt.
Hasyim , Al-Husain Abd Al- Majid.  et.al. Pendidikan Anak Menurut Islam: Sebuah Pendekakatan Praktis. ter. Abdullah Mahadi. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994. 
Irwanto, et. al. Perdagangan Anak di Indonesia. Jakarta: Organisasi Perburuhan Internasional, 2001. 
Kartanegara, Mulyadhi. Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam. Bandung: Mizan. 2002.
Langgulung, Hasan. Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam.. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980.
Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam: di Sekolah. Madarasah dan Perguruan Tinggi .  Jakarta: Raja Grafindo Persada,2005. 
Mulkhan, Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRES, 1993. 
Mursi, Muhammad Sa’id. Melahirkan anak Masya Allah: sebuah terobosan baru dunia pendidikan anak.  ter. Ali Yahya. Jakarta: Cendekia Sentra Muslim, 1998. 
Nugraha, Ali et. al.. Kiat Merangsang Kecerdasan Anak. Jakarta : Puspa Swara, 2003.
Permono, Saichul Hadi, ed. Antologi Kajian Islam seri 5 dan 8. PPS Sunan Ampel press: 2005.  184.
Rahim, Husni. Arah Baru Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logos,  2001. 
Sadr,  Baqir.  Falsafatuna.  ter. Nur Mufid. Bandung: Mizan, 1999.
Sama’an, Sadik. Anak-Anak Yang Cemerlang. ter. Zakiah Daradjat.  Jakarta: Bulan Bintang, 1980. 
Shari’ati, Ali. Humanisme antara Islam dan Madzab Barat. ter. Afif Muhammad. Bandung: Pustaka Hidayah. 1992.
Sultan, Mahmud Sayyid. Mafahim Tarbiyah Fi al-Islam. Dar al-Ma’arif. tt .
Supratno, Haris, ed. Kontruksi Ilmu-Imu Sosial: Kumpulan Ringkasan Disertasi Program Studi Ilmu-Ilmu Sosial PPS Unair Surabaya. Unesa University Press. 2003.
Tafsir, Ahmad, ed. Pendidikan Agama Dalam Keluarga. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. 
Yaljan, Miqdad.  Jawanib al-Tarbiyah al-Islamiyah al-Asasiyah. Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1987.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar