Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Epistemologi Nasr Hamid Abu Zayd

Abstract: Al-Qur’an is the glorious holy book, and it is as main fource in islamic teaching, and nowadays it has been discussed with the interpretation of holy koran’s text or it is more famause as “hermeneutic”. Many orientalists and modern intellectuals who try to interprete with their different ways as their understanding. Nasr Hamid Abu Zayd applies his interpretation concept through the freedom of thinking to holy koran’s text, and he follows the opinion of mu’tazila’s teaching, which says that holy Koran (al-Qur’an) is the creature.
In his book with the title “Mafhun an-Nash”, there are confusing in thinking even he says that al-Qur’an is one culture’s product, until same of the Islamic intellectuals claim him as an apostate man. And his thinking is more influenced by westernists. That the interpretation method of Nasr Hamid Abu Zayd to the text of al-Qur’an is very confusing, and he also says that al-Qur’an text’s interpretation and the Bible. And Nasr Hamid Abu Zayd also refers to the orientalist who does the revision to understand about al-Qur’an as word of Allah. And he can places prophet Muhammad as the writer of al-Qur’an.
That’s why moslems and the interpreter is not only asked for understanding al-Qur’an contextually and it may not be only as tonished with the verse’s text. in understanding of al-Qur’an’s text which is according to Nasr Hamid Abu Zayd, it will be studied again critically
Keyword: Research, thinking, method, interpretation of text Koran, Nasr Hamid Abu Zayd.
Pendahuluan
Al-qur’an adalah kitab suci yang di turunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malakat Jibril. Dan sebagai pedoman hidup bagi kaum muslimin. Al-qur’an sendiri telah sedang dan akan selalu di tafsirkan, oleh karena itu dalam pandangan kaum muslimin tafsir Al-qur’an adalah suatu istlah yang sangat mapan dan akhir-akhir ini, banyak sekali di perbincangkan dengan istilah hermeneutik Al-qur’an(Quranic Hermeneutic) yang sering di gemakan oleh para orientalis atau para pemikir muslim modernis, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain.
Dari sekian banyak tokoh-tokoh tersebut sebagian besar memiliki berbagai bekal dan metodologi baru dan juga mencoba untuk mrndekati Al-qur’an dengan kacamata baru tersebut.[1]
Dalam tulisan ini, akan diuraikan salah satunya adalah dari tokoh-tokoh pemikir di atas yang tidak asing lagi dan sangat dikenal dengan isu kontroversialnya yang mengatakan bahwa Al-qur’an adalah produk budaya(cultural product),tokoh intelektual ini dari Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, dia adalah seorang profesor bahasa Arab dan studi Al-qur’an di Universitas Kairo Mesir, selain itu ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Leiden Belanda mula tahun 1995 sampai sekarang.[2]
Dalam tulisannya yang berjudul Mafhum al-nash menutnya adalah proyek yang paling utama adalah pendobrakan manipulasi pemahaman teks yang banyak terjadi dalam peradaban islam. Dan dalam pengamatannya para ulama’ terdahulu terlalu berlebihan dalam menyikapi teks, akhirnya tanpa sadar memunculkan pemahaman yang dekotomis antara teks dan realiatas.[3] Pertanyaannya kemudian, apakah pengertian teks dan bagaimana cara ia memahaminya? Tetapi ia mecoba memutarbalikkan teks dengan menggunakan alat metodologinya yang kemudian ia menyimpulkan Al-qur’an sebagai Al-Manhaj al-Saqafi, cultural product. Yang selanjutnya akan dibahas beikut ini.
Pembahasan
Sekilas tentang Tafsir Al-qur’an dan Hermeneutik
Tafsir secara etimologi berasal dari bahasa arab, Fassara, yang berarti menjelaskan, menyingkap, dan menampakkan atau menerangkan maknanya yang abstrak. Kata tafsr di sebutkan dalam Al-qur’an surat al-Furqan (25:33) yang berbunyi:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur #·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
Yang Artinya ;
Dan tidaklah datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan paling baik tafsirannya
Ayat tersebut menceritakan bahwa orang musyrik mekkah membantah dan sering menyakiti Rasullah dengan sikap-sikap yang mereka ragukanatas kenabiannya dan mereka menyebut bahwa Al-qur’an sebagai ”kebohongan yang diada adakan oleh Muhammad dan dia dibantu oleh kaum lain”.[4] Bahkan Al-qur’an di katakan sebagai dongeng belaka.
Secara terminologi tafsir adalah merujuk kepada ilmu yang dengan pemahaman terhadap Al-qur’an yang di turunkan kepada Rasullah, menjelaskan mengenai makna-makna kitab Allah dan penarikan hukum-hukum beserta hikmahnya di ketahui.[5]
Dan kata hermeneutik berasal dari bahasa yunani, hermeneuein yang berarti “ menafsirkan” kata ini sering di asosiasikan dengan hermes, seorang utusan dewa yunani kuno, yang bertugas menyampaikan pesan bagi manusia. Hermes tersebut di anggap sinonim dengan peran Rasullah saw yang menyampaikan pesan Allah. Karena itu, hermeneutik disinonimkan dengan tafsir, disini sudah jelas banyak sekali perbedaan hermeneutik dengan tafsir. Bahkan banyak sekali ketidak mungkinan jika mengaplikasikan hermeneutik kedalam tafsir Al-qur’an.
Dari sisi epistimologi hermeneutik bersumber pada akal semata-mata.jadi hermeneutk memuat dhan(dugaan), shakk(keraguan), mira(asumsi). Sedangkan tafsir dar sisi epistimologi bersumber dari wahyu Al-qur’an, karena itu tafsir Al-qur’an terikat dengan apa yang telah di sampaikan, dan di jelaskan oleh Rasullah.[6] Dan Allah berfirman dalam surat an-Nahl(16:44)
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcrã©3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ
Yang Artinya ;
Telah Kami turunkan kepadamu (Muhammad)kitab tersebut agar kamu jelaskan kepada umat manusia tentang apa yang Allah kepada mereka agar mereka memikirkan.[7]
Al-Qur’an dan Kontekstualitas dalam Sejarah
Pada hakikatnya al-Qur’an diturunkan adalah sebagai acuan moral yang universal dan sekaligus dijadikan sebagai pemecah masalah sosial yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Untuk itu al-Qur’an dikatagoris dan tematik, justru dihadirkan untuk menjawab berbagai problem actual yang dihadapi masyarakat yang sesuai dengan konteks dan dinamikanya. Al-Qur’an sendiri dalam al-isra’: 106, menegaskan bahwa memang kehadirannya secara berangsur-angsur, bagian perbagian agar manusia bisa menelaah dan bisa menerapkan dalam kehidupan yang dihadapinya. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa al-Qur’an iturunkan Allah persis ditengah-tengah masyarakat Arab jahiliyah, yang mana dalam kondisi tersebut bisa memperbaiki moralitasnya, dengan berdialog secara argumentatif untuk mengajak umat kepada jalan yang lebih baik. dan apakah pemahaman al-Qur’an pada zaman sekarang masih harus mengikuti pola pamahaman dan panalaran dengan apa yang dilakukan oleh para intelektual atau pemikiran pada zaman dahulu? Kita ketahui bahwa al-Qur’an diturunkan ditengah-tengah masyarakat Arab yang menggunakan bahasa Arab. Tetapi kendati pun tidak serta merta hanya untuk oaring-orang Arab (persial), melainkan untuk seluruh umat manusia dimuka bumi (universalitas)[8] sebagai respon intelektual atas prinsip universalitasnya agar tidak jatuh pada hal-hal yang bersifat kemutlakan (absolutisme).
Al-Qur’an sebagai misi universal dan juga sebagai Rahmat bagi seluruh alam, dan didalamnya mengandung berbagai dimensi dan corak sosialnya, baik masa lampau, kini, maupun mendatang. Umat islam tidak hanya dituntut untuk memahami al-Qur’an secara kontekstual (selaras dengan ruang, dan waktu manusia) tetapi juga profetif (melintasi batas ruang dan waktu sendiri) oleh karena itu, untuk memahami al-Qur’an, sseseorang tidak boleh hanya terpaku pada teks ayat, tetapi juga memahami kontekstual sosial dimana masyarakat berada. Dan berdasarkan pertimbangan sangat penting dalam menafsirkan al-Qur’an memenuhi kaidah dan metode yang telah disepakati oleh mufassir. Dengan demikian penafsiran kontekstual juga sangat diperluakan, mengingat al-Quran yang bukan hanya untuk berdialog pada masa sekarang.
Dan dibawa ini adalah nama-nama yang menjadi pelopor oientalis pada priode kedua seperti: Noldeka, (1836-1930), Goldzier (1850-1921), Hurgonce (1857-1936), dan lain-lain secara aktif mereka berupaya melenyapkan ayat-ayat al-Qur’an yang mengarah kepada tidak wajaran perilaku kaum yahudi, dan diantara pengikut aliran ini adalah Calder dan Wansbrough “ yang teori mereka menyebut bahwa al-Qur’an dan hadits merupakan produksi masyarakat yang telah dinisbatkan kepada Nabi arab, yang dilakuakan oleh orang yahudi untuk menepis al-Qur’an secara keji.[9]
Dari beberapa dewarsa terakhir ini, kedua kelompok tersebut menggunakan cara-cara yang adil dalam menyerang al-Qur’an yang dikemas melalui kontekstualisasi budaya, yang mana hasil tersebut dari sebuah kitab yang berlaku bagi semua ruang dan waktu.
Nasr Hamid juga terinspirasi oleh pemikiran tersebut bahwa kitab yang berkaitan dengan masyarakat diman ia diwahyukan pada sebuah gejalah yang merupakan produk masyarakat itu sendiri. Dan pendapat itu adalah bahwa kayakinan utama tentang al-Qur’an sebagai berikut, “ Jika teks al-Qur’an adalah risalah yang ditujukan orang arab pada abad ke-17, maka dibuat suatu cara yang secara spesifik berdasarkan sejarah dan bahasa orang arab dahulu. Jika demikian, maka al-Qur’an dibentuk dengan sesuai susunan manusia (a human setting). Dan ia merupakan “produk kebudayaan”.[10] dan ungkapan ini sering dipakai oleh Abu Zayd yang dinyatakan didepan Mahkamah kasasi Universitas kairo mesir yang mana Abu Zayd diklaim bahwa dinyatakan murtad.
Pada masa pembuktian moralitas dan superioritas teologi Barat seperti Bergtrasser, Jeffery dan banyak lagi para orientalis yang telah mencurahkan dan masuk dalam kehidupan, guna untuk menyingkap perubahan teks al-Qur’an, yang mereka samakan dan mereka temukan dalam kajian kitab injil. Dalam menyingkapi teks al-Qur’an maka, memprihatinkan mengenai cerita-cerita palsu yang dimasukkan kedalam teks melalui masyarakat umum.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bagaimana pandangan al-Qur’an terhadap tradisi yang berlaku dimasyarakat Arab, dan sudah dijelaskan dalam ayat-ayatnya. Yang dengan meang dengan melalui sikap al-Qur’an bisa erespon keberadaan tradisi dan analisis melalui pesan yang dikandunganya, dan juga membantu untuk menemukan model enkulturasi al-Qur’an terhadap terdapat tradisi Arab. Al-Qur’an yang diturunkan Allah merupan suatu tatanan aturan masyarakat dalam memahami makna dan didalamnya terdapat upaya bahwa al-Qur’an dalam membentuk formasi masyarakat yang sudah berbudaya.
Dan al-Qur’an juga melakukan suatu analis dan formasi melalui pesan Nabi muahammad. Guna untuk membangun tatanan masyarakat yang sudah berbudaya tanpa harus menghilangkan kebudayaanya. Dan disamping itu juga bisa menjadi karangka berfikir untuk menjadi kerangka berfikir untuk menjadi generasi Qur’ani, dan juga bisa memilah ajaran ajaran al-Qur’an yang fundamental dan instrumental. Dan kerangka berfikir ini bisa dijadikan ajaran pokok dalam masa kekinian. “ajaran fundamental yang dimaksud adalah ajaran pokok yang mempunyai nilai universal dari ajaran al-Qur’an yang biberlakukan kapan pun dan dimanapun, yang ajaran bersifat abadi dan ajaran instrumental adalah bentuk-bentuk yang memiliki keterkaitan adat istiadat yang sudah ada, yang dibangun yang menggunakan simbol budaya sebelumnya.[11] symbol budaya yang yang dimaksud adalah sebagai instrument dalam mengimplementasikan ajaran fundamental al-Qur’an dan yang dimaksud menggunakan sombol budaya adalah bahwa al-Qur’an merupakan sebagai bukti bahwa Tuhan melakukan pendekatan melalui sosial dan adat istiadat masyarakat arab.
Dan hal yang penting adalah kita melihat bagaimana respon masyarakat arab terhadap enkulturasi dalam ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Dari berbagai gambaran terhadap respon yang berbeda-beda dalam menanggapi risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad, diantaranya muncul terma-terma seperti muslim, mu’min, kafir, musyrik dan munafik yang semuanya itu merupakan dari berbagai respon dan ragam masyarakat arab jahiliyah. Istilah-istilah tersebut digunakan untuk mengetahui antara pemikiran dan penolakan masyarakat tersebut. Dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penerimaan dan penolakan adalah temukan melalui penelusuran respons masyarakat arab terhadap risalah al-Qur’an (wahyu).
Konsep al-Qur’an; Nasr Hamid Abu Zayd dan Mu’tazilah
Nasr hamid mengatakan bahwa peradaban Arab Islam adalah peradaban teks. Dalam tulisannya yang berjudul Mafhum al-Nash Dirasah fi Ulum Al-qur’an dan Naqd al-Khitab al-Dini di dalamnya mengupas persoalan teks dan kritikan, yang mana ia juga merujuk kepada pendapat mu’tazilah. Nasr hamid lebih cenderung menggunakan metode hermeneutik dalam menafsirkan Al-qur’an. Di samping itu ia adalah seorang hermeneut, maka tahap terpenting dalam melakukan kajian terhadap makna teks adalah menanalisis terhadap corak teks itu sendiri.[12]
Bagi kaum muslim, kritik teks terhadap Al-qur’an adalah sesuatu yang aneh tetapi, menurut Nasr Hamid adalah hal yang sudah biasa bahkan ia banyak menuls tentang kritik terhadap teks Al-qur’an, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible, dan studi juga sudah berkembang pesat di barat. Dr. Ernet C. Colwell, dari School of Theology Claremont menekuni studinya selama 30 tahun dan dia meulis buku yang berjudul “ Studies in Methodology in Textual Criticsm on the New Testatement”. Maka muncullah beberapa pertanyaan di antaranya, jika teks Bible sudah begitu banyak di kritisi, muncul pertannyaan dari para orientalis, mengapa teks Al-qur’an tidak bisa di perlakukan yang sama? Bukankah Al-qur’an juga sebuah “teks” ? apa bedanya dengan Bible?[13]
Banyak penarang Eropa, teks Al-qur’an tentang penciptaan sangat mirip dengan teks Bible, dan mereka senang menunjukkan dua teks secara pararel. Ide semacam iu adalah salah karena di dalamnya ada perbedaan-perbedaan yang nyata di antara keduannya.banyak sekali keterangan-keterangan yang tidak kita jumpai dalam Bible.
Menurut pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji Al-qur’an yang menayarankan perlunya da takankan soal aspek kesejarahan Al-qur’an, banyak orientalis yang menyarankan agar kaum muslimin melepaskan keyakinannya,bahwa Al-qur’an adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah). Bahkan untuk menjebol tembok keyakinan umat islam, Gerd R . Jeseph Puin membuktikan bahwa Al-qur’an memiliki aspek kesejarahan.
Di samping merujuk kepada sederet orientalis Laster menyatakan kegembiraannya bahwa dunia islam dan sejumlah orang telah melakukan ”revisi” terhadap paham tentang tentang teks al-qur’an sebagai kalam Allah. Dan itu termasuk yang dilakukan oleh Nasr Hamid, Muhammad Arkoun dll.
Dalam melakukan kajian terhadap al-qur’an, di samping merujuk pada pandapat-pendapat mu’tazilah, ia juga banyak menggunakan metode hermeneutik. Dan tujuan dari hermeneutik adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nila dalam Bible.Salah satu prinsip penting dalam hermeneutik untuk memahami satu teks adalah menganalsis kondisi pengarangdari teks tersebut.
Bapak hermeneutik modern, F.D.E Schleirmacher (1768-1834) merumuskan teori hermeneutikanya, dengan berdasarkan analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya.
Tentang al-Qur’an, disinilah Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai. penerima wahyu, pada posisi semacam pengarang al-qur’an. Ia menulis dalam bukunya Mafhum al-Nash, bahwa al-Qur’an diturunkan melalui malaikat kepada seorang manusia. Bahwa Muhammad sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Muhammad adalah buah dari produk masyarakatnya,dan beliau tumbuh dan berkembang di mekkah dan beliau juga seorang yatim yang didik dalam suku Bani Sa’ad.
Dan tentang konsep wahyu dan Muhammad, yang ditulis dalam buku Nasr Hamid: “kritik teks keagamaan” mereka memandang bahwa al-Qur’an –setidaknya sampaipada tingkat perkataan. Bukankah teks yang turun dari langit(surga) dalam bentuk kata-kata aktual, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dengan diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya”. Dari definisi di atas jelas bahwa Nabi Muhammad di posisikan sebagai pengarang al-Qur’an.
Para ulama’ dan cendekiawan muslim lainnya memikirkan tentang penyebaran pendapat tentang al-Qur’an yang nyeleneh ini, sebab pendapat ini membawa dampak yang serius dalam pemahaman konsep dasar al-Qur’an, sebagai mana yang di tulis dalam bukunya Mafhum al-Nash edisi indonesia. “bahwa pembongakaran kajan atas al-Qur’an semakin menarik dan merangasang perdebatan dan melahrkan konsep baru terhadap eksistensi al-Qur’an”. Memang Nasr Hamid mendobrak konsep dasar tentang al-Qur’an yang selama ini di yakini kaum muslim., bahwa al-Qur’an, baik makna maupun lafadznya adalah dari Allah. Nabi muhammad penerima wahyu hanya sekedar menyampaikan dan tidak mengapresiasikan atau mengolah wahyu dan beliau tidak menambah dan mengurangi apa yang di sampaikan kepada beliau. Meskipun interpretasinya di pengaruhi oleh sosial, budaya dan kejiwaannya karena beliau termasuk orang yang terjaga(ma’sum).
Allah berfirman dalam Surat an-Najm ayat: 3 :
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ
”Dan dia (Muhammad)tidak menyampaikan sesuatu, kecuali dari wahyu yang di wahyukan kepadanya”.(QS Al-najm:3)
Dan Allah berfrman dalam surat Fussilat: 6 :
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& ö/ä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur (#þqßJÉ)tGó$$sù Ïmøs9Î) çnrãÏÿøótGó$#ur 3 ×@÷ƒurur tûüÏ.ÎŽô³ßJù=Ïj9 ÇÏÈ
Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima wahyu (QS Fussilat: 6).
Dalam keyakinan kaum muslim Nabi Muhammad sebagai penyampai teks al-qur’an memang dalam bahasa arab dan beberpa di antaranya berbicara tentang kebudayaan ketika itu, tetapi al-qur’an tidak tunduk pada budaya justru sebaliknya al-qur’an merombak budaya arab dan membangun sesuatu yang baru. Tetapi pemahamaan ini berbeda dengan apa yang di pahami kaum musyrik waktu itu. Nasr Hamid mengecam keras metode tafsir kaum Ahlusunnah yang di dasarkan pada Sunnah Rasul, para Sahabat, Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. yang tafsir terseut didasarkan pada kuasa ulama’ kuno yang mengaitkan makna teks dan signifkansinya dengan masa keeasan, risalah dan masa turunnya wahyu. Mereka sumber-sumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari Rasullah, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu lalu merujuk pada pendapat tabi’in, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa. Dalam beberapa buku yang telah ditulisnya terdapat pujian terhadapnya. Ia di gambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis, progresif, dan sebagainya, sementara pengkritiknya di posisikan sebagai ortodoks, fundamentalis, dan sebagainya, seolah-olah ia adalah seorang “mujtahid” abad ke-21.
Dalam buku Mafhum al-Nash bahwa salah satu sayap penafsiran yang radikal yang menolak al-qur’an di dekati srcara dogmatis, idiologis sebagai sanggahannya “ bahwa pembongkaran atas konsep dan wahyu melalui metode analisis teks”.
Jika para ulama’ terdahulu (qudama’) dalam menafsirkan teks al-qur’an membangun ilmu-ilmu dan menciptakan istilah-istilah serta menggunakan seperangakat konsep yang efektif, tentu dengan sendirinya mencakup kemungkinan- kemungkianan dari pengetahuan yang mereka tentukan, lalu keunggulan apakah yang digunakan Nasr Hamid dalam mengkritik ilmi-ilmu al-Qur’an? Dalam menjawab pertannyaan ini maka akan dicermati dari berbagai pernyataan dan alat-alat konsipsionis yang digunakan oleh kritikus dengan berusaha menemukan kejelasan-kejelasan dalam membangun wacana sekaligus mencermati pernyataan-pernyataan tentang apa yang tidak dinyatakan dan tidak dikatakan.
Pluralitas Interpretasi Teks dan Kebebasan Berfikir
Sejak abad ke-17, Barat sebagai pengembangan sebuah studi pemikiran baru dalam hal dunia interpretasi teks, yang selanjutnya di kenal dengan hermeneutik. Spesifikasi ini lebih menitikberatkan pada bahan acuan atau rujukan barat yang berupa metode baru dalam menginterpretasikan teks. “mereka mencoba untuk mengorelasiakan warisan pemikiran barat yang ada di timur” dengan berupaya menemukan benang merah pemikran yang sesuai dengan paradigma pamikiran mereka yang notabene non muslim. Dan metode ini berfungsi juga menyelamatkan warisan pemikiran nenek moyang mereka. Dan di sinilah muncul beberapa warna interpretasi terhadap teks yang mana sama sekali berbeda dengan apa yang kita ketahui dari ilmu-ilmu tafsir, baik tafsir bil ma’tsur maupun tafsir bil ra’yi. Perbedaan metode serta sudut pandang yang menyebabkan ta’wil atas teks yang mereka lakukan jauh berseberangan dengan hasil penakwilan atau penafsiran para ulama’. Meskipun ada titik persamaan antara keduanya, misalnya dari sudut pandang bahasa, namun karena metode, orientasi dan konsep yang berlainan maka perbedaan interpretasi tidak dapat dihindarkan. [14]
Salah satu metode pendekatan yang menjadi tren masa kini mereka adalah dengan pendekatan sastra atau semantik. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd yang mengundang kontrofersi dari kalangan ulama’. Sebenarnya bukan karena aliran sastra atau metode semantiknya, tetapi yang dipermasalahkan adalah memperlakukan teks kitab suci yang tidak wajar. Bukankah gaya interpretasi juga banyak dilakukan oleh ulama’ seperti Abd Al-Qadir Al-Jurjani yang membagi isti’arah di dalam al-Qur’an tetapi itu tidak mengundang kontrofersi justru memperkaya khazanah ilmu pengetahuan dan intelektual kita. Menurut Abu Zayd, metode ini satu-satunya yang paling sesuain dengan obyek kajian teks kitab suci yang penuh dengan nilai sastra, dan diakui baik pada zaman pewahyuannya maupun sekarang ini.[15]
Sisi positif dan negatif yang dihasilkan dari interpretasi Nasr Hamid Abu Zayd
Secara obyektif, ada sisi yang patut diambil dari pemaparan Nasr Abu Zayd dalam beberapa bukunya, tetapi sayangnya banyak sisi negatifnya juga. Dia salah satu pemikir yang mempunyai kepedulian sosial, sehubungan dengan bidang yang digelutinya. Dia adalah sosok pemikir yang menghubungkan fenomena sosial dengan nash yang ada. Sehingga memungkinkan ada interpretasi lain yang lebih sesuai dengan konteks sosio-kultural di sekelillingnya.
Solusi pemikiran menurut Abu Zayd adalah selama ini seorang mujtahidn atau mustanbith hukum hanya memproyeksikan sebuah nash dengan metodologinya yang dianut, tanpa memperhatikan sisi realita ummat, sehingga apabila terdapat hasih perbedaan istinbath, maka mereka sibuk mempermasalahkan metodenya, bukan paya untuk aplikatifnya dalam menyikapi problematika yang muncul dalam fenomena ummat. Sebenarnya permasalahan yang lebih esensial adalah terletak pada kemaslahatan hasil ijtihad tersebut.
Dari uraian di atas terdapat nilai positif yang bisa diambil dari ide-ide pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd tetapi dipandang dari kelemahan-kelemahannya yang mana sudah termaktub dalam karya-karyanya seperti Mafhum An-Nash bahwa dia banyak terpengaruh oleh pemikiran Barat. Disamping itu, dia juga sering memasukkan kosa kata yang tidak sesuai dengan literatur pengetahuan islam yang membawa muatan-muatan tertentu. Contoh: kata ideologinya dalam tuduhannya terhadap Imam Syafi’i, yakni dalam menghujat Imam Syafi’I sebagai pembunuh pliralisme pemikiran dan keagamaan. Lebih jauh Nasr Hamid menghubungkan proses pewahyuan al-Qur,an yang tidak lepas dari asbab an-Nuzul dan keikitsertaan situasi masyarakat Arab. Dan ia berkesimpulan bahwa Nash diwahyukan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu bahkan, menyertakan nabi Muhammad dan para sahabat yang ikut andil dalam menentukan sebuah nash.
Dalam bukunya, Mafhum al-Nash banyak menggunakan pendekatan sastra sebagai sandaran awal atas interpretasi selanjutnya. Salah satu ciri dari kajiannya adalah mendahulukan piranti-piranti indrawi. Selanjutnya diarahkan pada metode pemahaman semantik dan baru akhirnya pada pemahaman teks secara terminologi. Kajian seperti ini cenderung terlalu subyektif dan tidak mengenal obyektifitas sebuah obyek kajian yang termasuk kitab suci dan menurut Nasr Hamid al-Qur’an sebagai obyek kajian berkedudukan sama dengan teks-teks lain ciptaan manusia.
Konsep khulq dalam al-Qur’an menurut Mu’tazilah
Meskipun telah dapat diasumsikan dengan pendekatan Nasr Hamid dalam kajian al-Quran yang bersentuhan dengan metodologi teks bible tetapi ia juga sepaham dengan aliran mu’tazilah. Sejak zaman klasik terjadi perdebatan antara dua kelompok, yaitu kelompok mu’tazilah dan kelompok Ahlussunnah wal Hadits yang mana kelompok mu’tazilah menganggap bahwa al-Qur’an adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah yang bersifat hadist, sedangkan Ahlussunnah berpendapat bahwa al-Qur’an sudah ada sejak zaman azali sehingga bersifat qadim.
Keauntetikan al-Qur’an juga menjadi pebahasan dari kalangan ahli-ahli al-Qur’an sehingga muncul bagaimana proses penurunan al-Qur’an itu sendiri. Konsep yang dirumuskan adalah al-Qur’an di turunkan atas dua fase: fase pertama al-Qur’an di turunkan secara sekaligus dari lauh mahfuzh ke langait dunia. Dan fase kedua adalah al-Qur’an di turunkan secara bertahap dari langit dunia ke bumi melalui Muhammad sebagai utusan Allah Pemikiran ini jelas menengahi masalah keqadiman dan kemakhlukan al-Qur’an.
Jika dicermati dari kosep al-Qur’an versi mu’tazilah ia lebih mengedepankan level filosofis tentang sifat kalam Allah dan mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah kala Allah dan ia sama sekali tidak berpendapat bahwa al-Qur’an adalah karya Muhammad atau prodak budaya. Tetapi mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an atau kalam Allah adalah diciptakan sebagai mana makhluk lainnya. Dan dalam pandangan mereka al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak qadim(hadits).
Al-Qadi Abd Al-Jabbar menjelaskan bahwa kalam atau firman Allah adalah bagian dari perbuatan(af’al) Allah yang mana Allah menciptakannya dalam bentuk jism dan hendak kontak dengan makhluknya, baik berupa perintah, larangan, maupun ancaman, maka itu merupakan perbuatan Allah yang tidak bisa dikatakan qadim,dan sebagian dari ni’mat dan ihsan yng senantiasa di berikan oleh Allah terhadap hamba-hambanya itu merupakan sesuatu yang tidak qadim (hadits). Dengan demikian merupakan kalam Allah yang otomatias adalah makhluk, karena merupakan bagian dar (af’al) Allah yang selalu d lakukan sesuai dengan kemaslahatan dan kebutuhan.
Dalam bukunya Dr. Ahmad Hijazi Al-Saqa’ yang berjudul Fakr Al-Din Al-Razi Khalq al-Qur’an bayna Al-mu’tazilah wa Ahlu Sunnah, dalam pandangan mu’tazilah masalah khulq al-Qur’an dengan menambahkan contoh kejadian yng di jelaskan dalam al-Qur’an setelah berlangsungnaya peristiwa tersebut. Seperti parang badar, pengaduan perempuan kepada Rasullah hal suaminya dan sebagainya.contoh tersebut membuktikan bahwa sahnya al-Qur’an itu hadits(baru) sebab bagaimana mungkin perang badar dan pengaduan perempuan sudah ada dalam zaman azali.[16] Konsep khulq al-Qur’an versi mu’tazilah memang ditempatkan pada konteks pebahasan sifat-sifat Allah (God’s attributs) daam masalah pebahasan sifat-sifat Allah yang dibahas dengan asl-al-Tauhid.pendapat mu’tazilah tentang al-Qur’an yang di kritik oleh Ahlu Sunnah. Dalam kitab Al-luma; imam Al-Ashari menyatakan: “ Jikalau al-Qur’an itu makhluk pasti tidak lepas dari 3 hal:
1. Allah mencipatakan al-Qur’an dalam dirinya, yang pertama ini tidak bisa di terima oleh akal, sebab dirinya bukan tempat (mahallun) untuk al-hawadits (hal-hal yang bersifat temporal).
2. Allah menciptakan secara independen (berdiri sendiri), yang kedua ja mustahil, sebab al-Qur’an adalah kalam Allah, dan kalam adalah sifat yng keberadaannya tida mungkin berdidi sendiri.
3. Allah menciptakan di luar diri-Nya, yang ketiga pun tidak mungkin, jka begitu berarti Allah menciptakan al-Qur’an dalam sebuah organ atau benda lain di luar dirinya.
Imam Ash’ari membagi al-Qur’an dalam dua bagian: Al-kalam al-lafdzi adalah (makhluk) dan Al-kalam al-ma’nawi adalah qadim.[17]
Ulama’ Ahlu Sunnah bersepakat pada pendapat mu’tazilah tentang makhluknya alQur’an tetapi yang dimaksud adalah dalam masalah bacaan (tilawah) yang mana imam ibn hanbal dan ibnu Taimiyah juga sepakat dengan pendapat tersebut.
Keazalian al-Qur’an menurut Ahlu Sunnah merujuk kapada al-kalam al-nafsi yang berwujud ide dan pengetahuan sebelum zaman azali sebelum di wahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Jadi segala peristiwa yang termaktub dalam al-Qur’an adaah sudah dalam pengetahuan Allah semenjak azali karena pengetahuan Allah qadim yang mana Allah mengetahui segala sesuatu yang belum maupun sudah terjadi, karena pengetahuan Allah tidak terbatas oleh waktu, maupun tempat.
Abu Zayd menyatakan tentang prinsipnya “ tahriru al-fikr atau kebebasan berfikir.” Dari sesuatu yang mmbelenggunya. Akal adalah karunia Allah,dan di fungsikan untuk berfikir sebagaimana fitrahnya, yang tidak terbelenggu oleh pengaruh-pengaruh eksternal, semacam kekuasaan dan dogma-dogma, sehingga objektivitas berfikir terjamin.Dia berpendapat bahwa pemikiran dunia timur telah dibatasi oleh dimensi eksternal, sehingga kebanyakan para pemikir dalam fenomena tersebut lebih dekat dengan faktor yang mempengaruhi dari pada objektifitas pemikirannya.Hal itu memang wajar terjadi,karena pemikiran mereka banyak dipengaruhi faktor eksternal tersebut, akibatnya pemikiran dunia timur tertinggal jauh dari pemikiran dunia barat. Menurutnya kita harus melepaskan atribut-atribut yang menadi penghalang tahrir al-fik (kebebasan berfikir).
Dr. Yahya Ismail Guru Besar Hadist Universitas Al-Azhar,mengtakan bahwa kita sebagai muslim harus memposisikan al-Qur’an sebagai wahyu Allah, sebelum melakukan suatu kajian, dan dari sini kita akan terhindar dari kesalahan dalam memahami alQur’an sebagai kitab suci.. dalam al-Qur’an kalau kita menemukan suatu keganjilan dalam memahami sebuah nash, yang perlu kita tinjau ulang adalah metode pemahaman kita terhadap alQur’an. Disisi lain kita harus menelaah hipotesis-hopotesis yang hanya kita terima dari media masa.Benarkah dunia barat bisa maju hanya dengan faham tahrir al-fikr saja,tanpa adanya upaya nyata yang mendukung ? dan apakah benar peradaban barat benar-benar tinggi.Amin rais sendiri,sebagai pengamat dunia barat mempertanyakan nilai kemajuan yang diyakini media masa di barat.tetapi disisi lain kita sadar bahwa kemajuan barat adalah dari hasil sentuhan-sentuhan intelektual pemikir muslim,seperti ibnu Rusyd, Ibnu sina dan nama pakar muslim pada zamannya. Dari beberapa pernyataan diatas,dapat disimpulkan bahwa tuduhan Abu Zayd dan orentalis lainnya terhadap peradaban timur sebenarnya kurang argumentatif, karena hanya menggoyahkan mental para pemikir islam yang ada.
Metode Interpretasi (Penafsiran) Nasr Hamid Abu Zayd
Untuk membaca ulang metodologi Abu Zayd dalam bukunya Mafhum Al-Nash yang mengundang polemik para cendekiawan muslim, karena didalamnya terdapat banyak “kerancuan-kerancuan” yang di kemas dalam bahasa yang membingungkan.
Dalam cara kita menyikapi teks (nash) kitab suci tidak sebagaimana teks-teks lain yang tidak aksiomatis.Artinya ketika memasuki interpretasi terhadap teks, kita tidak boleh mengklaim bahwa pemahaman kita sepenuhnya sesuai dengan kehendak teks itu, karena al-Qur’an memiliki kandungan yang sangat verbal, dan sulit(syumul).[18] Ketika kita membaca interpretasi Abu Zayd terhadap teks tersebut dengan tarnsparan maka kita merasa ada sesuatu yang “hilang” dalam proses interpretasi tersebut, yaitu kesadaran ilmiah terhadap teks al-Qur’an sebagai kitab suci, yang arti sebenarnya hanyalah Allah yang tahu.
Pada kondisi peradaban umat sekarang, menurut Abu Zayd telah terbelenggu oleh konsep-konsep aliran pemikiran stagnant .[19] langkah inilah yang menghambat kepada kesadaran ilmiah,setelah berhasil memenangkan idiologi yang dasyat, yaitu aliran-aliran yag memegang teguh status quo (al-fikr al-raj’i al-tsabiti)[20] Abu Zayd seakan-akan mengatakan bahwa konsep islam saat ini sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan zaman, Abu Zayd seolah-olah melupakan adanya Maqasid syari’ah dan berbagai kaidah ushuliyah yang telah di gariskan oleh para ulama’ sekaligus pakar keislaman yang jusrtu di tuduh sebagai pembawa aliran stagnant.
Tuduhan yang selanjutnya adalah mempertanyakan eksistensi konsep islam . menurutnya, kita terlena dengan konsep definisi yng belum jelas hakikatnya, untuk itu, Abu Zayd merumuskan dua tujuan pokok dalam interpretasi teksnya yaitu:
1. Menghubungkan kembali proyek pengkajian al-Qur’an dengan mata kajian semantik, sastra, dan kritik yang selama ini kajian al-Qur’an terlepas dari sudut pandang bahasa, yang terbatasi oleh ruang lingkup yang akademis, dengan melalui prose yang cukup panjang.
2. Mendefinisikan kembali islam dan hakekat formatnya secara metodologis tematis.[21] Kedua tujuan yang di rumuskan ini, juga menjadi bahan polemik kontrofersial. Sebagaimana yang dikatakan oleh Dr. Mustafa Syak’ah , bahwa tujuan pertama Abu Zayd memposisikan al-Qur’an bukan sebagai kitab suci dan petunjuk bagi umat manusia.tindakan Abu Zayd ini merupakan tindakan yang anarkis, yang jauh dari metode yang benar.dan dia berharap setelah menyelesaikan kajian sastra ini, banyak orang yang biasa mengambil pelajaran darinya.
Sedangkan pemahaman definitif tentang islam dan hakekatnya menurut Abu Zayd adalah tidak ada yang sesuai dengan “islam” yang sebenarnya.dan yang tepat menurutnya adalah islam tidak mempunyai definitif yang mapan. dari sini Abu Zayd telah menghujat seluruh pemahaman para pemikir islam dari dulu hingga sekarang, dalam menetapkan definitif islam yang baku dan diterima oleh semua pihak.
Dan kesalahan terbesar yang telah dilakukan oleh Abu Zayd adalah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah Manhaj Al- Tsaqafi (produk peradaban).
Yang dimaksudkan oleh Abu Zayd yang mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya atau peradaban “ ini sama dengan yang dipaparkan oleh Amin Al-Khuli dari buku al-Muwafaqat nya Imam as-Syatibi tapi masih bisa ditoleransi, sebab ia hanya mengatakan bahwa al-Qur’an diturunkan sesuai dengan kondisi intelektual orang Arab di Hijaz pada masa pewahyuan. Tetapi Abu Zayd tidak bisa dikatakan dengan memakai radaksi di atas yang sama, karena definisi peradaban atau budaya itu sendiri adalah hasil karya, cipta, dan rasa menusia”.
Umar Abdullah Kamil juga mengtakan bahwa Abu Zayd terpengaruh oleh paham mu’tazilah karena menganggap bahwa al-Qur’an itu adalah tasyakkala (terbentuk) dalam artian bahwa al-Qur’an itu adalah makhluk atau sesuatu yang hadits.
Tersebarnya Isu Akibat Dari Pemahamannya yang Diaggap Bertolak Belakang Dari Pemahaman Terdahulu:
Dr. Shabur Sharin, anggota komite Akreditasi Guru Besar di Al-Azhar Kairo, menilai terhadap karya ilmiah Nasr Hamid yang diajukan sebagai pertimbangan. Surat pernyataan yang sudah ajukan disetujui oleh semua anggota komite dan ditetapkan oleh Dewan Senat Universitas tersebut, telah menolak upaya pengangkatan Nasr Hamid sebagai professor di departemen Bahasa Arab Fakultas Sastra di Universitas Kairo. Dan pernyataan Nasr Hamid ditanggapi oleh Dr.Shabur Sharim dalam suratnya:
1. Dalam bukunya Al-Imam Al-Syafi’I wa Ta’sis Al-Ideologia Al-wasathiyah, bahwa dia menghujat Imam Syafi’i sebagai pembunuh pluralism pemikiran dan keagamaan yang berlebih-lebihan, disini Nasr Hamid mengajak kepad kebebasan berfikir dari segala bentuk kekuasaan tesk yang membelenggu.
2. Dari berbagai tulisannya, hingga bisa dikatakan bahwa semua karya yang diajukannya tidak mempunyai nilai ilmiah yang istimewa dalam contest peradaban islam disamping itu juga tidak bisa memberikan kelayakan gelar yang disandangnya sebagai professor.[22]
Pada tanggal 14 juni 1995, dua minggu setelah surat pernyataannya yang dikeluarkan oleh Universitas Kairo dia dinyatakan juga sebagai orang yang keluar dari agamanya atau murtad. karena itu, perkawinannya dibatalkan. Ia diharuskan bercerai dari istrinya (Dr. Ebtehal Yunis), karena seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati.
Pada 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut;
1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur’an seperti ‘arasy, malaikat, syaitan, jin, surga dan neraka adalah mitos belaka.
2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur’an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.
3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur’an adalah teks linguistik (nash lughawi) Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur’an adalah karangan beliau.
4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur’an (‘ulum al-Qur’an), adalah “tradisi reaktioner” serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari’ah adalah
faktor penyebab kemunduran Umat Islam.
5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.
6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.
7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur’an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.
8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.
9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas “teks-teks agama” [maksudnya: al-Qur’an dan Hadits]
10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.[23]
Semua yang kesalahan yang tertulis diatas bersumber dari teori Bara Johnson dan Peter Naslrept yang diikuti oleh Abu Zayd. Menurut teorinya cara memandang terhadap teks harus sejajar, baik yang bersumber dari manusia maupun Tuhan. Al-Qur’an pun yng datangnya dari yang Maha benar pun, layak dikritk. Dan teori yang seperti ini datangnya dari biasanya menggunakan dalil objektivitas dengan landasan filosofisnya.
Penutup
Dengan melihat penjelasan-penjelasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa al-Qur’an pada akhir-akhir ini sering kali ditafsirkan dari berbagai kalangan, dan biasanya istilah ini disebut hermeneutik al-Qur’an, yang sering digemakan oleh orientalis dan para pemikir muslim modernis, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain.bahkan mereka juga menyamakan antara teks al-Qur’an dengan teks Bible.
Didalam buku Nasr Hamid Abu Zayd yang berjudul Mafhum Al-Nash yang didalamnya banyak terdapat kerancuan-kerancuan yang mengundang polemik yang dikemas dengan bahasa yang membingungkan para cendekiawan muslim, disamping itu pula Abu Zayd memakai pendekatan sastra, dan teori semantik dalam memahami teks al-Qur’an.
Pada sandaran awal atas intrepretasinya adalah karena pemikirannya sudah terpengaruhi oleh pemikiran orang-orang Barat. Dan ia juga menganggap bahwa teks al-Qur’an dan Bible berstatus sama, Abu Zayd juga menempatkan Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu dan memposisikan beliau sebagai “pengarang” al-Qur’an. Dan ia menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukanlah penerima wahyu pasif tetapi juga mengolah redaksi al-Qur’an padahal, belau tidak menambah dan mengurangi apa yang telah diwahyukan oleh Allah, karena Nabi Muhammad terjaga dari segala kesalahan karena beliau (ma’sum). Dalam al-Qur’an (QS An-najm: 3)
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ
Dan dia (Muhammad) tidak menyampaikan wahyu kecuali dari wahyu yang diwayukan.
Disamping itu ia merujuk kepada pendapat-pendapat mu’tazilah, dan ia juga banyak menggunakan metode hermeneutik. Bahwa aliran mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk sebagaimana Allah menciptakan makhluk lainnya.sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas oleh Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa’ dalam bukunya bahwa pandangan mu’tazilah dalam masalah khalq al-Qur’an dengan menambahakan contoh-contoh kejadian dalam al-Qur’an setelah berlangsungnya peristiwa seperti perang badar, pengadu perempuan kepada Rasullah dan lain-lain.
Dalam interpretasi dan kebebasan berfikir Abu Zayd telah mengembangkan pemikiran barunya dalam interpretasi teks yang dikenal dengan hermeneutik, dan ini berkembang sejak abad ke-17. Spisifikasi ini merupakan metode interpretasi pemahaman teks yang menitikberatkan pada acuan orang Barat. Dilihat secara obyektif pemaparan Abu Zayd bisa diambil dari sisi positifnya dan disisi lain banyak juga sisi negatifnya. Abu Zayd adalah salah satu pemikir yang mempunyai kepedulian sosial, dia melihat fenomena disekelilingnya.
Bahakan ia bersemboyan Tahrir al-Fikr (kebebasan berfkir) dari rambu-rambu yang membelenggunya. Akal adalah merupakan karunia Allah, dan akal itu difungsikan untuk berfikir sebagaimana fitrahnya. Dan ia berpendapat bahwa, keterbelakangan pemikiran orang Timur adalah tidak mau melepaskan atribut-atribut yang menjadi penghalang Tahrir al-Fikr padahal salah satu penyebab kemajuan pemikiran-pemikiran Barat adalah hasil sentuhan-sentuhan intelektual pemikir muslim seperti Ibnu Rusyd, Ibn Sina dan lain-lain. Dalam merumuskan dua tujuan pokok dalam kajian interpretasinya adalah :
1. Menghubungkan kembali proyek pengakajian al-Qur’an ini dengan kajian semantik, sastra, kritik terhadap al-Qur’an yang terlepas dari sudut pandang bahasa dan tebatasi ruang lingkup akademis dengan proses yang cukup panjang.
2. Mendefinisikan kembali islam dan hakekat formatnya secara metodologi tematis.
Dan kesalahan terbesar yang dilakukan Abu Zayd adalah ketika dia menganggap bahwa al-Qur’an sebagai Manhaj al-Tsaqafi (produk kebudayaan ) yang secara jelas ia ungkapkan dalam bukunya Mafhum al-Nash sebagai berikut : “Sesungguhnya teks kitab suci dalam hakekat dan intinya adalah produk peradaban. Artinya, bahwa kitab sucu (al-Qur’an ) tersebut terbentuk oleh realitas dan peradaban yang berlangsung selama lebih dua puluh tahun.” Sehingga anggota komite yang ditetapkan oleh Dewan Senat Universitas Kairo Mesir bahwa pengangkatan Narsr Hamid Abu Zayd sebagai professor di Departemen Bahasa Arab, Fakultas Sastra Universitas Kairo ditolak atau dibatalkan karena pernyataanya yang ditanggapi oleh Dr. Shabur Syahin sebagai berikut :
1. Dalam bukunya Al-Imam Al-Syafi’I wa Ta’sis Al-Ideologia Al-wasathiyah, bahwa dia menghujat Imam Syafi’i sebagai pembunuh pluralism pemikiran dan keagamaan yang berlebih-lebihan, disini Nasr Hamid mengajak kepad kebebasan berfikir dari segala bentuk kekuasaan tesk yang membelenggu.
2. Dari berbagai tulisannya, hingga bisa dikatakan bahwa semua karya yang diajukannya tidak mempunyai nilai ilmiah yang istimewa dalam contest peradaban islam disamping itu juga tidak bisa memberikan kelayakan gelar yang disandangnya sebagai professor. Allah telah berfirman dalam Surat Fussilat( 41-42):
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ìø.Ïe%!$$Î/ $£Js9 öNèduä!%y` ( ¼çm¯RÎ)ur ë=»tGÅ39 ÖƒÌtã ÇÍÊÈ žw ÏmÏ?ù'tƒ ã@ÏÜ»t7ø9$# .`ÏB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Ÿwur ô`ÏB ¾ÏmÏÿù=yz ( ×@ƒÍ\s? ô`ÏiB AOŠÅ3ym 7ŠÏHxq ÇÍËÈ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari al-Qu’an itu datang kepada mereka, (mereka iu pasti akan celaka) dan sesugguhnya al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia.Yang tidak dating kepadanya (al-Qur’an ) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,yng di turunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[24]
Dari penjelasan ayat-ayat diatas cukup bisa menjawab semua keraguan terhadap al-Qur’an, dengan cara dan dalil apapun al-Qur’an tidak akan kehilangan fungsinya sebagai konsep-konsep Rabbani yang selalu eksis kapan pun dan di manapun. Yang sesuai dengan firman Allah dalam (QS Al-Hijr: 9):
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Dzikra (al-Qur’an ) dan sesungguhnya Kami pula yang menjaganya.
Perlu digaris bawahi bahwa Nasr Hamid sebagai professor bahasa Arab dan studi al-Qur’an dia menghususkan dalam upaya menginterpretasikan teks cenderung pada metodologi semantik yang di topang dari teori hermeneutiknya, karena upaya ini lebih banyak madharatnya dari pada mashlahatnya. Khususnya kepada para pemikir dan para cendekiawan muslim.
Tetapi disamping itu juga terdapat nilai positifnya yang mana kita bisa mengambil dan mengkaji ulang pemahaman teks al-Qur’an yang sesuai dengan penafsiran yang tidak bertolak belakang sumber-sumber agama islam. Wallahu a’lam…


[1]. Fakrudin Fais. hermeneutik al-Qur’an tema-tema kontroversial. El-SAQ.2005.hal: 98
[2] . ibid. Hal: 98
[3] . ibid. Hal: 98-99
[4] . Nasr Hamid Abu Zayd. Tekstualitas al-Qur’an kritik terhadap ulumu al-Qur’an.Lkis.1993. hal: 284
[5] . Muhammad b. Abdullah al- Zarkash. Al-Burhan fi ulum al-Qur’an. Ed.Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim. (kairo: Dar ‘ihya’ al-Turath al-‘Arabiyah, 1957), cet.1, hal: 13
[6] . Adnin Armas MA. Bundel islamia. Jakarta selatan. Kahairul bayan. 2004. Hal: 39
[7] . Surat 16:an-nahl: 44.
[8] . QS. An-nisa’. 4:79
[9] . Al-azmi. The History of the Qur’anic Text from Revelation To compilation.Jakarta. Gema insani : 2005.hal : 8
[10]. Ibid., hal : 9
[11] . Ali Shadiqin. Antropologi Al-Qur’an Model Diakletika Wahyu dan Budaya. Jakarta. Ar ruzz media.2008. hal: 114
[12] . Andian Husaini dan Henri salahudin. Lihat Bundel islamia. Jakarta selatan.khairul bayan. 2004.Hal: 33
[13].(onlin)http://www.muslimdelft.nl/titian-ilmu/ilmu-kalam-dan-aqidah/kisah-intelektual-nasr-hamid-abu-zayd diakses 28 januari 2009
[14]. Hakim Taufik dan M. Ainul Abied Shah. Islam Garda Depan. Bandung. Mizan. 2001. Hal:281
[15] . Ibid hal: 281
[16] . Dr. Nasr kitab mafhum.......hal 25
[17] . Andian Husaini dan Henri Salahudin. Lihat Bundel islamia edisi 1-6. Jakarta selatan. Khairul bayan. 2004.hal: 29
[18] . Hakim Taufik dan M. Ainul Abied Shah. Islam Garda Dapan. Badung. Mizan.2001. hal: 290
[19] . Nasr Hamid Abu Zayd. Lihat Mafhum Al-Nash. Op. Cit., ha: 12
[20] . ibid., hal: 10
[21] Ibid.,hal: 18-19
[22] . Hakim Taufik dan M. Ainul Abied Shah. Islam Garda Depan. Bandung. Mizan.2001. hal:295
[24] . surat Fussilat 41-42

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar