Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Epistemologi Pendidikan Demokratis

1. Mukaddimah
Surat al-S}affat ayat 102 sampai 107 menjelasakan interaksi pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il. Ayat tersebut menjelaskan peristiwa penyembelihan Isma‘il yang mana interaksi dialogis penyembelihan antara Ibrahim dan Isma‘il itu tidak dijumpai pada ayat lain, meskipun pada surat Ibrahim. Ayat tersebut secara kronologis memuat penjelasan tentang mimpi Ibrahim menyembelih Isma‘il, Ibrahim mendialogkan mimpinya kepada Isma‘il, pelaksanaan penyembelihan dan diakhiri dengan keselamatan Isma‘il yang berarti kesuksesan misi Ibrahim.
Interaksi pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il terlihat pada peristiwa yang memerintahkan penyembelihan Isma‘il. Ibrahim sebagai seorang ayah meskipun meyakini perintah tersebut dari Allah, namun masih mengedepankan cara-cara dialogis kepada Isma‘il. Ibrahim menghindari otorisasi pendidikan pada materi yang menyangkut kesiapan emosional anak. Tampak sekali Ibrahim berusaha memahami kejiwaan anak.
Sikap Isma‘il menunjukkan kepatuhan terhadap orang tua, meskipun telah diberi kesempatan untuk menolak perintah yang ditawarkan itu. Prinsip pendidikan demokratis dikedepankan terhadap materi yang menyangkut hak hidup individu peserta didik. Gambaran interaksi pendidikan seperti itu tampaknya lebih menonjolkan sisi epistemologi dibanding dengan ontologi ataupun aksiologinya. Hal ini terjadi karena secara epistemologi kisah Ibrahim dan Isma’il ini menguraikan tata kerja ilmu pendidikan; meliputi darimana sumber pendidikan diperoleh, bagaimana cara memperolehnya dan bagaimana pula mengajarkannya.
 Epistemologi pendidikan anak dalam surat al-S}affat ayat 102-107 dihipotesakan sebagai berikut: a) Kitab suci sebagai sumber pendidikan dengan pendekatan epistemologi intuitif-demokratis. b) Humanisasi (memanusiakan manusia) sebagai tujuan pendidikan yang ingin dicapai dilakukan dengan metode dialogis. c) Sikap demokratis Ibrahim dipahami sebagai kompetensi pendidik. d) Sikap patuh Isma‘il dipahami sebagai kunci keberhasilan pendidikan. e) Materi pendidikan menyangkut realisasi keimanan.
2. Historisitas dan penafsiran ayat
 $¬Hssù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þ’ÎoTÎ) 3“u‘r& ’Îû ÏQ$uZyJø9$# þ’ÎoTr& y7çtr2øŒr& ö�ÝàR$$sù #sŒ$tB 2”t�s? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ã�tB÷sè? ( þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
102.  Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

a) “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim”. Yakni ketika Isma‘il tumbuh dewasa, mampu bepergian bersama Ibrahim, Ibrahim selalu mengawasinya ke mana saja ia pergi di daerah Faran. Ibrahim juga memberi perhatian penuh terhadap permasalahan yang dihadapinya. Menurut riwayat Ibn ‘Abbas bahwa mimpi para nabi termasuk wahyu. Pada ayat ini Ibrahim memberitahu Isma‘il tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Isma‘il yang masih kecil. Juga untuk melatih kesabaran, ketangguhan dan keteguhannya untuk patuh kepada Allah dan taat kepada orang tua.
Menurut al-Farra’ usia Isma‘il pada saat itu 13 tahun. Sedangkan menurut Ibn ‘Abbas yaitu menginjak usia pubertas (ih{tilam). 
Menurut ‘Izzah Darwazah kisah Ibrahim ini sedikit banyak telah dipahami, khususnya pada zaman nabi Muhammad saw sehingga melahirkan berbagai ulasan dan penjelasan. Akan tetapi yang lebih penting ialah ‘ibrah dari kisah tersebut, dimana Ibrahim  mengutamakan perintah penyembelihan yang disangkanya wahyu dari Allah. Perintah itu akhirnya dilaksanakan sebagai bukti kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah. Karena itu mereka berdua berhak mendapat pujian dan penghargaan dari Allah.
b) “Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!"
Menurut Muqatil, mimpi Ibrahim menyembelih Isma‘il selama 3 malam berturut-turut. Tentang mimpi ini, menurut Ka’b Ah}bar bahwa wahyu Allah datang kepada para rasul dalam keadaan terjaga dan tidur, karena para nabi meskipun tidur pada dasarnya hatinya tidak tidur.  
c) “ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
Menurut al-Sayyut}i pasrah dan patuh termasuk cerminan sabar tingkat tinggi.
Menurut Qutb mimpi untuk menyembelih Isma‘il hanya merupakan isyarat, bukan merupakan perintah yang sifatnya langsung dan jelas (s}arih}). Meskipun demikian Ibrahim menerimanya tanpa banyak bertanya, kenapa Allah memerintahkan harus menyembelih anak satu-satunya. Penerimaan Ibrahim atas perintah Allah ini dengan penuh kerelaan sepenuh hati.
!$£Jn=sù $yJn=ó™r& ¼ã&©#s?ur ÈûüÎ7yfù=Ï9 ÇÊÉÌÈ
103.  Tatkala keduanya Telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ).

a) “Tatkala keduanya Telah berserah diri”. Ibrahim menyerahkan dirinya kepada Allah, demikian pula anaknya Isma‘il, keduanya telah sepakat untuk melaksanakan perintah.  Percaya diri, taat, tenang, ridla dan pasrah dalam menjalankan perintah. Hal ini bukan berarti keberanian dan semangat belaka bagaikan pejuang ke medan perang yang mungkin hidup ataupun bahkan mati. Tetapi itu semua merupakan wujud kepasrahan murni dari kesadaran hati yang tulus dengan penuh tenang dan ridla dengan merasakan nikmatnya ketaatan. 
b) “dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya )”. Menurut Mujahid, Isma‘il (ketika akan disembelih) dalam keadaan sujud. 
   çm»oY÷ƒy‰»tRur br& ÞOŠÏdºt�ö/Î*¯»tƒ ÇÊÉÍÈ  ô‰s% |Mø%£‰|¹ !$tƒöä”�9$# 4 $¯RÎ) y7Ï9ºx‹x. “Ì“øgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÉÎÈ     
104.  Dan kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, 105.  Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

a) “Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu” dengan melaksanaknnya. Allah tidak menghendaki kecuali kepasrahan dan kepatuhan. 
b) “Sesungguhnya Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. Allah membalas mereka yang telah melakukan kebenaran dengan sepenuh hati. Mereka di angkat derajatnya karena ketangguhan dan kesabarannya menghadapi cobaan.  
žcÎ) #x‹»yd uqçlm; (#às¯»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÉÏÈ
106.  Sesungguhnya Ini benar-benar suatu ujian yang nyata.

“Yakni ujian (bala’) yang tidak disenangi (makruh) yaitu harus menyembelih anaknya.
çm»oY÷ƒy‰sùur ?xö/É‹Î/ 5OŠÏàtã ÇÊÉÐÈ
107.  Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.

a) Ketika Ibrahim telah yakin untuk melaksanakn perintah wajib menyembelih Isma‘il, dan dalam keadaan siap menyembelih, maka sebelum pIsau dihunjamkan ke leher Isma‘il Allah menggantinya dengan kibas.
b) Penafsiran ulama tentang “kami tebus anak itu”  maksudnya adalah Ish}aq (pendapat ‘Abbas bin Abd al-Mut{allib, Ibn ‘Abbas, Ka’b, Abi Hudhayl). Sedangkan pendapat masyhur maksudnya Isma’il (menurut Ibn ‘Umar, Ibn ‘Abbas, al-Sha’bi).
3. Analisa Epistemologi
a) Epistemologi intuitif-demokratis.
 Pendidikan Ibrahim terhadap Isma’il yang paling menonjol ialah masalah perintah penyembelihan (syariat berkurban). Perintah ini diperoleh Ibrahim dari Allah melalui intuisi, yakni suatu saat Ibrahim mimpi menyembelih Isma’il. Akhirnya mimpi itu diceritakan kepada Isma’il (surat al-S}affat ayat 102).
 Mimpi Ibrahim menyembelih Isma‘il terjadi selama tiga malam berturut-turut. Memang demikian wahyu Allah datang kepada para rasul dalam keadaan tidur, bahkan dalam keadaan terjaga. Para nabi meskipun tidur pada dasarnya hatinya tidak tidur.  Menurut Qutb mimpi untuk menyembelih Isma‘il hanya merupakan isyarat, bukan merupakan perintah yang sifatnya langsung dan jelas (s}arih}). Meskipun demikian Ibrahim menerimanya dengan penuh kerelaan dan sepenuh hati.
 Berdasarkan penjelasan di atas difahmi bahwa validitas intuisi sebagai saluran pengetahuan langsung dari Allah kepada rasul menjadi sebuah keniscayaan yang tidak terbantahkan oleh akal. Hanya saja dalam rangka proses sosialisasi kepada Isma’il, Ibrahim meberikan penawaran agar mempertimbangkannya. Sepertinya syariat korban ini tidak bersifat dogmatis-doktriner sebagaimana ajaran iman yang dilakukan Luqman kepada anaknya. Hal ini bisa jadi karena masalah korban menyangkut hak hidup pribadi Isma’il, sehingga perlu didengarkan pendapatnya. Di sinilah Ibrahim menunjukkan sikap demokrat dalam pendidikan syariat korban.
 Demokratisasi pendidikan tersebut berarti memberikan peluang rasio untuk ikut menentukan konsep syari’at korban. Seandainya Isma’il memilih untuk menolak perintah tersebut, berarti gagalah misi pembentukan syariat kurban, meskipun sudah diperintahkan oleh Allah kepada Ibrahim. Akan tetapi seakan naluri kemanusiaan Isma’il lebih dominan untuk menerima perintah tersebut daripada mengikuti pertimbangan rasionya. Demikian pula Ibrahim, meskipun perintah pengorbanan tersebut irrasional (tidak masuk akal), namun keyakinannya mengalahkan fikirannya.
b) Humanisasi dilakukan dengan metode dialogis.
 Pendidikan yang bertujuan memanusiakan manusia dilakukan  Ibrahim dengan metode dialogis. Dialog sebagai upaya untuk membuka jalur informasi antara pendidik dan anak didik. Pendidik dapat mengukur kemampuan anak didik melalui dialog. Dengan berdialog akan ditemukan kesamaan persepsi tentang visi dan misi pendidikan yang akan dilakukan. Metode dialogis membangun interaksi pendidikan menjadi harmonis.
 Pada ayat ini Ibrahim memberitahu Isma‘il tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh Isma‘il yang masih kecil. Untuk memahamkan misi pendidikan itulah Ibrahim mensosialisasikan melalui upaya dialog. Menurut Ibn Kathir cara dialog juga untuk melatih berargumentasi, kesabaran, ketangguhan dan keteguhannya untuk patuh kepada Allah dan taat kepada orang tua.
c) Sikap demokratis Ibrahim dipahami sebagai kompetensi pendidik.
 Sikap demokratis Ibrahim menunjukkan kedewasaan sang pendidik. Meskipun perintah menyembelih Isma‘il itu hanya melalui mimpi –yang mana menurut Muqatil mimpi itu selama 3 malam berturut-turut,  namun akhirnya Ibrahim berkeyakinan itu merupakan wahyu Allah yang harus dilaksanakan. Untuk tugas berat inilah Ibrahim berusaha memahami kejiwaan Isma‘il, bagaimana kesanggupannya menjalankan perintah Allah.
 Ibrahim telah meminimalisir sikap otoritatif (pemaksaan) dalam pendidikan, yaitu dengan memahami kesiapan mental Isma‘il. Hal itu terjadi karena Ibrahim berusaha memahami siapa dan bagaimana kesanggupan anak didik yang dihadapinya. Pada saat itu usia Isma‘il -menurut pendapat al-Farra’- masih 13 tahun, atau dalam istilah Ibn ‘Abbas menginjak usia pubertas (ih{tilam). 
 Demokratisasi Ibrahim dalam mendidik Isma‘il merupakan kearifan pendidik yang professional. Kearifan itu telah muncul karena mempertimbangkan sikap mental dan kejiwaan anak didik. Demikian halnya, kearifan disebabkan karena kematangan profesionalisme sang pendidik yang selalu yakin dengan keberhasilan pendidikan yang dilakukan.
d) Sikap patuh Isma‘il dipahami sebagai kunci keberhasilan pendidikan.
 Ibrahim telah menerapkan demokratisasi dalam pendidikan dengan meninggalkan sikap otoriter. Hal ini bagi Isma‘il berarti bentuk kebebasan yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Implikasinya Isma‘il menunjukkan sikap patuh dan tunduk atas perintah penyembelihan itu.
 Kebebasan memilih yang ditawarkan Ibrahim kepada Isma‘il, tidak membuat Isma‘il mengedepankan interest pribadinya untuk menyelamatkan diri dari maut. Sebaliknya, dengan bangga dan penuh rasa hormat mempersilahkan sang ayah untuk melasanakan perintah tersebut. Hal ini terjadi karena dalam diri Isma‘il terdapat keyakinan akan keberhasilan apa yang dilakukannya. Isama’il yakin akan dapat melampaui ujian itu, seraya mendapatkan kemenangan yang gemilang karena termasuk orang-orang yang sabar.
e) Materi pendidikan keimanan.
 Perintah penyembelihan sangat berhubungan dengan hak hidup pribadi Isma‘il. Untuk melaksanakan perintah itu tidak saja melibatkan kesiapan emosional, tetapi juga kemantapan spiritual (iman). Kesiapan emosional diekspresikan dengan bentuk ketegaran dan kesabaran dalam menerima materi perintah tersebut. Aspek spiritual merupakan keyakinan dasar untuk menopang ketegaran dan kesabaran yang didasarkan pada keimanan dan kepatuhan kepada Allah.
 Hal ini berarti dibalik materi penyembelihan, terdapat materi pendidikan terkait yaitu aspek keimanan dan emosional. Pada aspek keimanan secara implisit berarti uji kepatuhan terhadap perintah Allah sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Pada tahapan ini Isma‘il telah menunjukkan dedikasi yang tinggi dengan totalitas kesiapan emosioanalnya, sehingga lulus dari bahaya kematian.
f) Tujuan pendidikan Ibrahim untuk humanisasi .
 Pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il bertujuan untuk memanusiakan manusia dengan patuh kepada Allah. Pendidikan humanis ini berisi nilai-nilai keutamaan atau kebajikan yang dapat mengangkat kemuliaan manusia. Atau dalam bahasa lain adalah proses mengangkat derajat kemanusiaan manusia dengan nilai-nilai keutamaan atau kebajikan.
 Dalam kontek humanisasi, Ibrahim mengajarkan kepada Isma‘il bagaimana membangun harkat dan martabat manusia di sisi Allah. Tujuan ini direalisasikan  dengan membangun citra manusia yang taat kepada nilai-nilai kemanusiaan yang diperintahkan oleh Allah. Nilai kemanusiaan ditegakkan di atas sifat-sifat luhur budaya manusia dengan membebaskan diri dari sifat-sifat kebinatangan. Simbolisme mengorbankan binatang dipahami sebagai upaya untuk memanusiakan manusia melalui pendidikan.
 Pendidikan untuk memanusiakan manusia dalam arti menjadikan manusia itu lebih manusiawi dengan segala sifat kemanusiaannya, sehingga diharapkan menjadi manusia yang sehat lahir dan batin. Pendidikan menjadikan anak mampu mengembangkan potensi dirinya dan mampu memilih dan mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Upaya inilah yang terlihat dalam model pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il ini.
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, interaksi pendidikan Ibrahim terhadap Isma’il dapat disimpulkan sebagai berikut:
a) Kontruksi epistemologi pendidikan berkorban termasuk dalam katagori intutitif-demokratis. Yakni, pendidikan berkorban diperoleh Ibrahim melalui wahyu dengan pendekatan pengajaran demokratis. Rasio diberi peluang untuk mendialogkan tawaran atas perintah wahyu. Namun pada akhirnya keputusan hati nurani atas bimbingan hidayah lebih dominan daripada pertimbangan rasio.
b) Interaksi pendidikan terjadi dengan metode dialogis-demokratis, yakni pendidik memberi kesempatan anak didik untuk memberi konsep kebenaran materi yang diajarkan.
c) Pendidik memiliki kompetensi demokratis, bertujuan untuk menghindari interfensi hak hidup Isma’il secara otoritatip.
d) Etika patuh anak didik mendorong keberhasilan pendidikan. Sikap patuh Isma’il terjadi karena mampu memahami esensi pendidikan yang dikomunikasikan Ibrahim kepadanya.
e) Materi pendidikan Ibrahim terhadap Isma‘il menyangkut uji kepatuhan sebagai realisasi keimanan.
f) Uji kepatuhan keimanan bertujuan untuk pemberdayaan hidup yang humanis (memanusiakan manusia) yang dibangun melalui totalitas pengabdian kepada Allah.
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar