Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Pendidikan Islam Transformatif

Mengonstruksi Pendidikan Islam Transformatif

KRITIK utama terhadap pendidikan Islam saat ini adalah kecenderungannya
yang bersifat normatif. Mulai dari rumusan tujuan sampai isi bersifat
"melangit." Dalam pengertian, rumusan-rumusan itu cenderung bersifat
teosentris dan abstrak. Hal demikian bukannya tidak sah, tetapi cenderung
mengabaikan realitas nyata yang justru di situlah peserta didik hidup dan
berinteraksi. Sementara itu, metodologi yang dipakai untuk mendekati materi
agama cenderung bersifat indoktrinatif. Dalam konteks inilah diperlukan
rethinking terhadap pendidikan Islam. Pendidikan Islam harus senantiasa
dikaitkan dengan realitas historis manusia.
Tujuan Pendidikan Islam Transformatif (PIT) tidak hanya berorientasi
vertikal, yakni menjadikan anak didik beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, tetapi juga berorientasi horizontal, yakni bagaimana
keberimanan dan ketakwaan peserta didik mempunyai imbas kepada perilaku
sosial mereka di masyarakat. Hubungan manusia-Tuhan yang akan melahirkan
kesalehan pribadi, dalam perspektif PIT, harus melahirkan hubungan sosial
antarmanusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan. Dengan kata
lain, kesalehan individu harus mempunyai imbas kepada kesalehan sosial.

Titik tolak PIT berangkat dari semangat tauhid. Namun, makna tauhid di sini
tidak dipahami hanya dari sisi teologis an sich, yakni Allah Maha Esa,
kepada siapa semua bergantung. Tauhid dalam pengertian PIT, selain
mempunyai makna teologis seperti itu, juga mempunyai makna sosiologis,
yaitu kesatuan manusia (oneness of human beings). Dalam bahasa Farid Esack
(1997) tauhid adalah refleksi dari undivided God for undivided humanity.
Kesatuan manusia ini tidak dapat dicapai kecuali dengan menciptakan
masyarakat tanpa kelas (classless society). Yang dimaksud dengan masyarakat
tanpa kelas ini bukan mengacu kepada semangat sama rasa, sama karsa, tetapi
lebih pada konsep kesetaraan dan keadilan dalam hubungan antarmanusia.

Semangat utama pemahaman tauhid seperti itu adalah agar ada dialektika
antara aspek normatif dan sosiologis, antara teks dan konteks, teks dan
realitas. Inilah postulat dasar dan bangunan filosofi PIT. PIT berupaya
melakukan kontekstualisasi pendidikan agama dengan realitas historis
kehidupan peserta didik. Kontekstualisasi ini diperlukan agar pendidikan
tidak tercerabut dari akar sosialnya. Selain itu, agar pendidikan tidak
menghasilkan manusia-manusia yang pintar dan cerdas, tetapi cenderung
selfish dan egois, serta tidak peduli terhadap realitas sekitar. Bagi PIT,
kecerdasan otak harus diimbangi kepekaan hati nurani.

Kontekstualisasi pengajaran agama

Sesuai semangat PIT, pengajaran agama pun harus senantiasa dikontekskan
dengan realitas yang terjadi di sekitar kita. Mengajarkan teologi,
misalnya, dalam pandangan PIT tidak melulu mengulang-ulang teologi klasik
Islam seperti aliran jabariyah, qodariyah, maturidiyah, dan seterusnya yang
cenderung abstrak dan ahistoris. Pengetahuan teologi klasik itu penting,
tetapi lebih penting lagi adalah bagaimana menghadapkan teologi Islam
dengan persoalan kekinian yang lebih urgen dan mendesak. Bagaimanapun juga
harus diakui, tantangan dan zaman saat teologi klasik itu dirumuskan jauh
berbeda dengan tantangan dan realitas zaman kita kini.

Dalam perspektif PIT, pengajaran teologi Islam kini seharusnya diarahkan
untuk mengembangkan apa yang disebut Aloys Budi Purnomo (Kompas, 9/11/
2001) sebagai religious literacy (melek agama lain). Mengapa? Karena
persoalan inilah yang paling mendesak untuk segera dipecahkan. Betapa
karena perspektif yang sempit terhadap agama lain menjadikan agama sering
dijadikan alat propaganda dan provokasi untuk menyebar fitnah dan kebencian
antarsesama umat beragama.

Kasus Poso dan Maluku adalah contoh nyata akan hal ini. Perspektif yang
sempit, ditambah muatan-muatan politis-ekonomis, menyebabkan konflik
antarumat beragama menjadi kian rentan. Di sinilah diperlukan pengajaran
teologi yang inklusif dan memberikan pemahaman yang memadai terhadap agama
lain. Jika pengajaran teologi Islam hanya berkutat kepada teologi masa
lalu, maka akan sulit memberikan pencerahan kepada peserta didik tentang
agama lain. Harus diakui porsi pengajaran religious literacy masih amat
minim di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Alasan klasik yang
sering diungkapkan adalah, jangankan mempelajari agama lain, untuk
mempelajari agama sendiri saja masih belum cukup. Jika alasan ini terus
dipertahankan, sampai kapan pun religious literacy tidak akan bisa
diajarkan. Karena sulit mengukur batasan "mengetahui" atau "memahami" agama
sendiri.

Mengajarkan puasa pun tidak melulu bersifat normatif, tetapi juga bersifat
sosiologis. Puasa, dalam perspektif PIT, tidak hanya berarti menahan makan
dan minum mulai dari terbit fajar hingga terbenam Matahari. Puasa juga
merupakan latihan untuk bisa merasakan penderitaan orang lain, dan inilah
esensinya. Dengan bisa merasakan penderitaan orang lain, akan timbul rasa
empati dan keberpihakan terhadap mereka yang miskin dan tertindas. Demikian
juga dengan mengajarkan zakat. Zakat tidak diajarkan secara mekanis sebagai
karitas dari mereka yang punya kepada yang tidak punya. Pengajaran secara
mekanis ini tidak mempunyai kekuatan transformatif, karena yang kaya tetap
kaya dan yang miskin tetap miskin. Dalam perspektif PIT, zakat harus
diajarkan secara strukturalis. Zakat harus mempunyai kekuatan transformatif
dalam mengubah struktur sosial masyarakat ke arah yang lebih adil.

Dari indoktrinasi ke dialog

Semangat PIT untuk senantiasa mengontekskan pengajaran agama dengan
realitas sosial tidak bisa terwujud jika metode pembelajaran agama masih
bersifat indoktrinatif. Model pengajaran demikian menutup peluang bagi
adanya pendalaman dan komprehensi akan suatu persoalan. Model indoktrinatif
cenderung menekan peserta didik untuk berpikir eksklusif, simplistik, dan
tidak menghargai pluralitas pemikiran. Jika agama diajarkan dengan pola
ini, alih-alih untuk mengembangkan religious literacy, untuk melihat agama
sendiri secara kritis pun akan sulit.

Model indoktrinatif hampir sama dengan konsep pengetahuan sebagai makanan
(knowledge as food), seperti dikritik Sartre. Gagasan to know is to eat
adalah paralel dengan semangat indoktrinasi. Pengetahuan dalam model ini
harus diberikan kepada peserta didik. Ia tidak dilahirkan dari upaya
kreatif peserta didik sendiri. Secara implisit, model ini mengandaikan
peserta didik sebagai passive beings, atau obyek, bukan subyek.

Kebalikan dari model itu, metode yang dipakai PIT dalam pembelajaran agama
adalah metode dialogis. Dialog diperlukan agar ilmu agama yang diajarkan
mengalami proses refleksi bersama antara guru dan murid, dosen dan
mahasiswa. Proses inilah yang akan menjadikan peserta didik menjadi kreatif
dan kritis, sekaligus ada pendalaman dan komprehensi terhadap materi agama
yang diajarkan.

Proses pembelajaran dalam konteks PIT mengandaikan dua gerakan ganda: dari
realitas nyata ke arena pembelajaran, lalu kembali ke realitas nyata dengan
praksis baru. Tahap pertama, memakai istilah Paulo Freire dalam Cultural
Action for Freedom (1972), adalah tahap kodifikasi (codification), yakni
penelaahan beberapa aspek penting yang terjadi di realitas nyata peserta
didik. Fakta-fakta obyektif itu lalu dibawa ke arena pembelajaran untuk
dianalisis, dihadapkan pada teks normatif agama. Ini merupakan tahap
dekodifikasi (decodification), yaitu proses deskripsi dan interpretasi.
Tahap selanjutnya adalah praksis, tahap pengejawantahan ke realitas
kongkret. Tahap praksis ini dihasilkan dari proses kodifikasi dan
dekodifikasi. Diharapkan peserta didik sekeluarnya dari arena pembelajaran
mempunyai praksis baru di masyarakat.

Proses pembelajaran agama seperti itu bisa dilaksanakan bila peserta didik
tahu peran mereka sebagai subyek kreatif dalam pembelajaran. Untuk itulah
pendidikan Islam transformatif selalu menempatkan peserta didik sebagai
subyek dan active being. Mereka selalu dilibatkan dalam proses dekodifikasi
materi agama.

* M Agus Nuryatno, mahasiswa S3 Faculty of Education, McGill University,
Canada; staf pengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yoyakarta
Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar