Lorem Ipsum

Jumat, 31 Desember 2010 | By: EurikA AlfianA

Epistemologi Syafi`i (Kritik Sakralitas Teks)

MEMBONGKAR EPISTEMOLOGI SYAFI’I
MELALUI KRITIK SAKRALITAS TEKS

Selayang Pandang Hermeneutika dan Kitab Suci
Berbicara mengenai teks, sesungguhnya berkenaan dengan hakikat al-Qur’an. Nasr berpendapat, Al-Quran diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW memasuki ruang sejarah yang kompleks, dan menjadi subjek untuk aturan-aturan baik secara sosiologis maupun historis. Sebab, walau agama dan semua teks sebelum dan sesudah islam datang tidak dilahirkan begitu saja di atas kertas kosong pada zamannya, Harun Yahya pernah mengatakan tidak ada yang kebetulan di dunia ini, semuanya mempunyai proses dan metamorfosis yang kompleks, tumbuh dan berkembang.
Begitulah al-Qur’an memuat pergulatan, baik dalam tataran budaya, ekonomi, politik, aqidah maupun historis, yang mewarnai dunia pemikiran agama menjadi berciri khas tertentu.
Abu Zaid membagi masa teks menjadi dua, pertama, ketika teks menjadi wahyu, ketika otoritas tunggal ada di tangan Nabi Muhammad SAW dalam menginterpretasi dari teks agama; dan kedua, ketika teks menjadi pemahaman kemanusiaan. Ternyata dalam tipologi ini, Nasr tidak sendirian. Muhammad Arkoun membagi dua masa pergulatan teks al-Qur’an, wahyu dalam wilayah tuhan yang masih sakral dengan nilai-nilai ketuhanannya yang disebut sebagai Ummul kitab, kitab langit yang sempurna, wahyu yang bersifat abadi, tidak terikat waktu serta mengandung kebenaran yang tertinggi Namun Arkoun menilai, kebenaran absolut ini berada di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu seperti itu diamankan dalam lawh mahfudz dan tetap bersama dengan tuhan sendiri
Fase kedua adalah wahyu dalam konteks manusiawi, dalam bahasa Arkoun “edisi dunia”, dengan diutusnya nabi Muhammad Saw sebagai penyambung lidah dari kehendak tuhan dengan sunnahnya. Menurut Arkoun, hanya dalam peringkat inilah kebenaran versi manusia bisa ditemukan, karena pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Hal ini lebih menekankan dampak pada tumbuhnya hubungan simetris antara sisi ketuhanan yang sangat manusiawi dan nilai kemanusiaan yang bersifat Ilahiyyah, seperti dua sisi mata uang yang menjadi satu dalam kepingan yang berharga, dan sangat wajar rumusan yang ditawarkan oleh Schleiermacher tentang penafsiran yang baik adalah pembaca/penafsir (manusia) menjelma menjadi pengarang (Tuhan) ketika menafsirkan teks tersebut. Ekstrim memang kedengarannya. Tapi menurut penulis, itulah sinergitas yang tinggi, agar tercapai maksud yang dikehendaki oleh pengarang dan secara sadar penafsir menanggalkan subjektivitasnya beralih pada universalitas humanis Tuhan.
Hal ini senada dengan Dilthey dan Nasr Hamid yang berpendapat bahwa kalam ilahi terwujud dalam bahasa manusia. Jika tidak, kalam ilahi itu tidak akan dimengerti. Jika tuhan berbicara dengan bahasa tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Karena Tuhan ingin berkomunikasi dengan manusia, bahasa Tuhan mesti berubah menjadi manusiawi. Penekanan muslim yang terlalu berlebihan pada dimensi ilahi (divine dimension) menurut Nasr adalah salah satu penyebab pemikiran islam itu stagnan.
Nasr Hamid Abu Zaid dan teman–temannya (Arkoun, Dilthey, Schleiermacher) meyakini al-Qur’an dibentuk oleh situasi sosial, di dalam sebuah ruang kontestasi ideologis, di saat subjek-subjek bebas (individu, kelompok, dan klas-klas tertentu) berebut satu sama lainnya untuk tujuan politik dan ekonomi. Untuk itu ia menyatakan al-Qur’an adalah produk budaya. Berangkat dari sini, pemahaman yang benar menurutnya adalah dengan cara mensituasikannya di dalam sebuah konteks dominasi Quraisy dengan coba mempertemukan ta’wil dalam islam dan hermeneutika, yang menurutnya merupakan kecenderungan yang juga ada dalam tradisi islam, sebuah penafsiran yang tidak baru tapi cukup relevan untuk dibilang baru dengan suatu gaya berfikir dan gaya analisa bahasa seperti yang ditulis oleh H.G Gadamer, bahasa merupakan modus operandi, cara kita berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini. Karena, menurut Gadamer, kita tak mungkin berbuat apa-apa tanpa menggunakan bahasa, dan hermeneutika-lah cara baru bergaul dengan bahasa.yang berfungsi untuk menjelmakan kebudayaan manusia itu.
Proyek hermeneutika ini adalah upaya dinamisasi nilai-nilai al-Quran yang dipakai sepanjang zaman dengan menajamkan mata pisau pemikirannya dalam konteks bahasa yang juga mengaitkan histiografi yang memenuhi sosio–historis sebagai sebuah produk zaman. Bagi Nasr al-Qur’an banyak mengandung metafor sehingga penafsiran terhadapnya beragam. Dialektika pengarang (baca: tuhan) dengan penafsir dan menyesuaikannya dengan realita kehidupan adalah suatu gerak simultan dan sinergis dalam menyampaikan maksud asli pengarang. Hal ini bisa disandingkan dengan hermeneutik Schleiermarcher yang berpijak pada prinsip dasar bahwa teks merupakan ekspresi perangkat linguistik yang mentransformasikan ide pengarang kepada pembaca.
Di sini bahasa bukan saja menjadi alat untuk mencapai pemahaman, tapi sudah menjadi bagian penting dalam pencapaian kehendak Tuhan melalui linguistik sakral tersebut. Apakah secara gramatikal-skriptual sudah cukup untuk memahami maksud pengarang? Walaupun sebenarnya bahasa bukanlah satu hal baru, karena bahasalah setiap orang menemukan dirinya sendiri dalam dunia yang berubah terus menerus ini. Gadamer menilai bahasa atau teks tidak boleh dipikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Bahasa harus kita pikirkan sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologis) di dalam dirinya, artinya susunan bahasa dari ucapan dan tulisan tidak boleh langsung dipercayai sebagai sesuatu defenisi yang baku, Karena kata–kata mempunyai maksud dan tujuan tertentu yang berkeliling di sekitar tempat dan waktu walaupun kita sudah terbiasa memakai bahasa dengan makna konvensional. Gadamer menggambarkan, “mengerti” berarti mengerti melalui bahasa, dan hermeneutika yang ditawarakan ini adalah cara baru bergaul dengan bahasa teks.
Arti atau makna bukan sekadar isyarat yang dibawa oleh suatu bahasa. Bahasa dapat menunjukkan dan menyembunyikan, memantulkan sekaligus membiaskan makna dan nuansa, ada orang yang mengatakan ‘tidak’ namun tidak bermakna pengingkaran, atau mengatakan ‘ya’ tetapi bukan yang sebenarnya. Di sini hermeneutika dimaksudkan sebagai proses menelaah isi dan maksud yang mengejawantah dari sebuah teks sampai pada maknanya yang terdalam dan laten. Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermenutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya itu seperti al-Qur’an, veda , Upanishad, dan lainnya adalah karya yang mendapat inspirasi Ilahi. Untuk itulah Nasr coba mengasah mata pisau hermeneutika untuk melihat ke dalam tektualitas nasihat-nasihat hukum (Fiqh) Syafi’i dalam proses keberagamaan umat islam yang berlangsung hingga dewasa ini. Ijtihad Syafii terhadap teks agama (al-Qur’an, hadist, ijma’) dinilai sebagai refleksi moderat-eklektik terhadap pemikiran dua gurunya, Imam malik dan Abu hanifah, antara tradisionalis dan rasionalis yang berusaha ditengarainya dengan meletakkan dasar-dasar ushul fiqh terutama dengan metode qiyas sebagai andalan.

Membaca Ulang Epistem Syafi’i dalam Arabismenya
Pemikiran hukum islam sekarang tak kurang dari sumbangsih arabisme Qurays Syafi’i yang menilai kata-kata yang ada dalam al-Quran adalah bahasa arab tanpa ada kata non arab di dalamnya, karena bahasa arablah yang luas polanya, sesuai perkataannya:

Orang yang berpendapat bahwa dalam al-Qur’an terdapat kata-kata non arab, dan pendapat itu diterima, mungkin ia melihat dalam al-Qur’an ada kata-kata tertentu yang tidak diketahui oleh sebagian orang arab. Bahasa arab adalah bahasa yang paling luas polanya, paling kaya perbendaharaan katanya. Sejauh yang kami ketahui tidak ada manusia selain nabi yang menguasai seluruh cabang-cabangnya, namun tak ada sesuatu yang asing dari kata-kata arab itu yang tidak dapat diketahui. Pengetahuan tentang bahasa bagi orang arab laksana pengetahuan mengenai sunnah bagi ahli fiqh. Kita tidak menemukan seseorangpun yang mampu menguasai secara keseluruhan sunnah tanpa satu bagianpun yang terlewat .

Di sini Syafi’i tampak ingin mempertahankan bahasa arab sebagai bahasa orisinal yang dimiliki bangsa arab, serta menolak adanya unsur serapan dari akulturasi filologis tersebut. Penulis menilai sikap arabisme Syafi’i itu tidak menjadi masalah karena sifat primordialisme Qurays sangat kental. Menurut Philip K Hitti mereka merasa terhina jika harus keluar dari keanggotaan sukunya sendiri, dan bangsa arab yang ditempatkan nabi dalam suku Qurays itu berdomisili di belahan arab bagian utara yang sangat ortodok dibanding arab selatan yang penduduknya sudah heterogen. Tentu hal ini juga berimplikasi pada pemikiran peradaban. Tapi disayangkan, ketika Syafi’i menganggap keluasan bahasa arab hanya nabi yang mengetahui cabang-cabangnya, yang diucapkannya melalui sunnah, sunnah mengental menjadi bahasa kedua dari al-Qur’an inilah yang dipertanyakan oleh Nasr Hamid Abu Zaid: apakah al-Quran dan sunnah dalam pandangan Syafi’i, satu atau dua teks? Watt mencatat, sunnah-sunnah yang dikumpulkan oleh para imam dalam Kutubusittah menjadi kanon melalui tangan Syafi’i hingga dewasa ini, hadits yang sah menurut syarat dan ketentuan sanad, sah diikuti dan menjadi hukum konvensional. Jadi saat ini kita hanya mengenal permasalahan pada tataran fiqhiyyah saja tanpa mau meninjau sisi ushulnya, sisi epistemnya.
Bahasa Arab adalah cermin peradaban, ketika bangsa arab melakukan ekspansi ke wilayah Bizantium, Persia dan daerah luar arab lainnya, timbul kewajiban mensosialisasikan pelajaran ilmu bahasa arab, termasuk bacaan dalam salat dan problematika dialek al-Qur’an. Karena al-Qur’an dilahirkan di tengah budaya, tentulah budaya tersebut mendapat percikan sedikit banyaknya dari budaya yang ada di sekitarnya. Menurut Hitti, kita bisa membedakan antara Arab Utara yang lebih tradisional-ortodok dalam kesukuan meliputi daerah Hijaz, dan Arab Selatan yang heterogen dan mayoritas pedagang, lebih kota dan sudah mengalami akulturasi peradaban, meliputi Saba, Hadramaut dan Persia. Di sini Nasr tampaknya amat menyayangkan Syafi’i yang tetap bersikukuh dalam arabismenya.
Kesimpulan dalam skripsi peneliti di atas, bermaksud mengalihkan kritik Nasr seharusnya pada Imam Abu Hanifah, tidaklah cukup memadai dan beralasan. Karena peneliti tampaknya hanya melihat kasus Syafi’i secara sektoral saja, mengenai pembacaan surat al Fatihah dalam salat. Sikap Syafi’i ini hanya dapat dipahami dengan konteks pertarungannya di bidang fiqh dengan Imam Abu Hanifah. Karena berbeda etnis, mereka menghasilkan hukum yang berbeda. Abu Hanifah membolehkan bacaan salat dengan bahasa Persi. Ketika Syafi’i menjauhi ilmu kalam, Abu Hanifah malah mempunyai perhatian mendalam tarhadap ilmu ini, bahkan memiliki andil dengan risalahnya yang berjudul al-fiqh al-akbar. Nasr menilai, perbedaan konsep asy-Syafi’i dan Abu Hanifah mengenai struktur teks memengaruhi konsep mereka mengenai prosedur yang dapat digunakan menarik makna. Ringkasnya Syafi’i melihat al kitab dengan berbagai cara mampu memecahkan setiap permasalahan atau peristiwa yang telah terjadi atau mungkin terjadi di saat ini atau di masa depan. Justru pendapat inilah yang berbahaya menurut Nasr. Karena prinsip ini ternyata menguasai sejarah intelektual dan pemikiran kita yang berlangsung hingga saat ini dalam wacana keagamaan dengan segala tendensi dan dan aliran-alirannya.
Nasr menekankan, prinsip inilah yang mengubah akal arab menjadi akal penurut, stagnan dan perannya terbatas pada menakwil teks dan menurunkan pengertian-pengertian saja, baik yang disyariatkan maupun tidak, dari al-Qur’an itu.
Ketimpangan-ketimpangan lain juga coba dimunculkan oleh nasr dalam prinsip qiyas Syafi’i yang dinilai memperluas lapangan rasio dengan qiyas tersebut tetapi sekaligus menyempitkannya. Terbukti dengan penolakan Syafi’i terhadap istihsan Abu Hanifah dan juga prinsip masalih al mursalah Imam malik, sifat eklektik-moderat Syafi’i dinilai mereduksi penggunaan akal. Sementara Imam Ali berkata: al kitab tidak berbicara, yang berbicara adalah manusianya. Artinya, Imam Ali tidak menafikan al-Qur’an harus dibedah dengan akal manusia. Bukankah al-Qur’an itu pedoman bagi orang yang mau berfikir?
Dalam biografinya, oleh Navid Kermani, Nasr mengatakan, Al-Quran adalah karya keagamaan, kitab petunjuk seperti yang pernah dikatakan Abduh. Tapi bagaimana kita bisa mencapai petunjuk itu? Bagaimana kita seharusnya memahami teks? Agar petunjuk tersebut dapat diraih, kita harus menafsirkannya, al-Quran adalah pesan tuhan yang mempunyai kode dan ‘Saluran’, yakni berupa bahasa arab, untuk meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari sekedar disiplin filologi, analisis ini menempatkan al-Quran sebagai teks poetik yang terstruktur, oleh karenanya, al-Quran tidak masuk pada teks puisi, sebaliknya ia tetap sebagi teks keagamaan yang yang banyak memiliki fungsi.
Dalam skripsinya peneliti tidak melihat adanya sisi epistem yang coba dibongkar oleh Nasr tentang pemahaman teks agama yang dikelola oleh Syafi’i menjadi suatu hukum, dengan menyamaratakan al-Quran dan sunnah sebagai kumpulan bahasa yang hanya dikuasai oleh nabi, yang semuanya adalah teks suci yang berada dalam satu kesatuan tetapi tetap saja terpisah dan berjalan sendiri-sendiri sebagai sumber hukum, terbukti dengan tidak bisanya sunnah menasakh al-Quran.
Akhirnya pengagungan teks yang dianggap sakral hendaknya tidak mematikan telaah pikir yang dinamis dalam pertumbuhan peradaban di era ini.

Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO

0 komentar:

Posting Komentar